Berita  

Petisi Minta WFH Lagi Ramai Dukungan, Tentu Saja Ditolak Asosiasi Pengusaha

petisi-minta-wfh-lagi-ramai-dukungan,-tentu-saja-ditolak-asosiasi-pengusaha

Sampai 9 Januari 2023 pukul 15.00 WIB, ada lebih dari 22.000 orang yang menandatangi petisi berjudul ‘Kembalikan WFH Sebab Jalanan Lebih Macet, Polusi, dan Bikin Tidak Produktif.’ Dalam petisi ini, Riwaty Sidabutar menuliskan, setelah dua tahun bisa kerja dari rumah, ketika harus kembali ke kantor, justru membuatnya tambah stress.

Dia menjelaskan jarak pulang pergi setiap hari ke kantor bisa menempuh 40 kilometer. “Belum lagi kalau hujan. Bisa-bisa, saya terjebak kemacetan lama sekali, satu jam bahkan menggunakan sepeda motor,” tulis Riwaty dalam petisi di Change.org. “WFO juga belum tentu membuat kita lebih produktif.”


Dia berharap kebijakan wajib Work From Office (WFO) 100 persen agar dikaji ulang. Pilihan untuk bekerja di rumah bukan hal yang buruk.

Menanggapi petisi tersebut, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, menyerahkan keputusan WFH atau WFO pada masing-masing perusahaan. “Ya nanti kami pikirkan ya. Work From Home itu [kewenangan] masing-masing pemberi kerjaan, masing-masing pemilik gedung,” kata Heru, dikutip dari Detik.

Sejauh ini, Heru belum berencana menerbitkan aturan terkait penguatan penerapan WFH. Adapun kebijakan WFH bisa disesuaikan dengan kondisi di lapangan, termasuk misal cuaca sedang ekstrem. Namun ini pun bentuknya himbauan saja.

“Silakan masing-masing klaster terdampak, seperti kemarin di Kapten Tendean, Buncit, kantor sekitar sana silakan saja ambil kebijakan masing-masing,” katanya.

Paska penurunan kasus Covid-19 dan pencabutan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, mengatakan kebijakan WFH 100 persen sulit diterapkan. Salah satu musababnya, perekonomian saat ini sudah mulai bangkit.

Sebelumnya, penerapan WFH lantaran tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan di banyak sektor di kantor. “Pekerjaan seperti di industri, itu sambung-menyambung antara satu dan yang lainnya, dari orang ke orang, divisi ke divisi. Mayoritas enggak bisa WFH,” ujar Nurjaman, dikutip dari Kompas.

Sementara Wakil Ketua Perhimpunan Manajemen Sumberdaya Manusia (PMSM) Indonesia, Bambang Yapri, beranggapan beberapa perusahaan atau industri memungkinkan pekerjanya untuk WFH. Perusahaan ini terutama yang mampu beradaptasi dengan teknologi. Meski lagi-lagi, beberapa perusahaan akan kesulitan menerapkan kebijakan WFH, seperti di bidang manufaktur dan jasa.

Pola kerja hibrida bakal menjadi salah satu alternatif. Dari survei yang Bambang lakukan di masa pandemi, mayoritas pekerja mempertimbangkan pola kerja ini. Ada fleksibilitas untuk bekerja di rumah atau di kantor.

Bagi pekerja yang lebih senang bekerja di kantor, beberapa alasannya seperti rumah yang tidak kondusif. Tidak mudah juga mengelola waktu antara bekerja dan menjaga anak serta mengelola keluarga. Sarana prasana pendukung kerja di rumah juga tidak selalu memadai.

“Kini kecenderungan mungkin tidak akan bisa 100 persen WFH atau WFO, tetapi hibrida. Ada fungsi-fungsi yang bisa kerja dari rumah, ya dikelola secara WFH. Ada yang harus hadir ke kantor, tetap WFO. Jadi, tinggal bagaimana perusahaan mengelola pekerjaan karyawan dengan budayanya,” katanya.

Dua pengamat dari UGM turut menanggapi petisi ini. Dari sisi kemacetan, Pengamat Transportasi UGM, Prof. Ahmad Munawar, menganggap WFH bukan solusi mengatasi kemacetan transportasi di Jakarta.

Solusi kemacetan lebih kepada penyediaan fasilitas umum yang memadai. Perlu juga upaya mengurangi penggunaan mobil pribadi untuk kegiatan sehari-hari. Prof. Ahmad mengatakan apabila penggunaan angkutan umum di Jakarta merupakan yang terbaik di Indonesia.

Adapun untuk kebijakan WFH, dosen UGM ini menilai sebaiknya tidak diterapkan sama rata di semua sektor. Namun menyesuaikan dengan jenis pekerjaan dan kondisi pegawai. Terlebih melihat pengalaman mengajar secara WFH selama pandemi, ada potensi kurang efektif dalam pembelajaran.

“Harus dilihat, kalau bisa efisien dan efektif WFH ya silakan, tapi kalau tidak ya kerja di kantor,” Prof. Ahmad, dikutip dari laman resmi UGM.

Pengamat Tata Rancang Kota sekaligus Ketua Pusat Studi Transportasi (PUSTRAL) UGM, Ikaputra, juga mengatakan apabila penyebab kemacetan lebih kepada penggunaan kendaraan. Masih banyak yang menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum.

Meski apabila merujuk pada petisi, adanya permintaan untuk mengembalikan WFH cukup logis. Banyak pekerja kantoran yang merasakan manfaat atau dampak baiknya. Namun, dalam penerapan WFH, akan ada potensi sektor-sektor usaha yang tidak produktif ke depannya.

“Perlu dipahami, ada banyak sektor termasuk transportasi yang tidak bergerak dan tidak produktif terutama yang bekerjanya harus bertatap muka dan memanfaatkan mobilitas, bukan kantoran. Ketika tidak bergerak, di rumah saja, ada banyak orang yang tidak mendapatkan penghasilan,” kata Dosen Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM ini.

Ikaputra menganggap poin utamanya bukan pada WFH atau WFO, namun lebih kepada penggunaan sistem komunikasi yang memudahkan orang-orang berkegiatan dalam berbagai aspek kehidupan. “Bukan WFH atau WFO tapi pengelolaan tentang komunikasi online atau offline ini yang lebih penting, semuanya harus jadi opsi,” katanya.