Berita  

Perppu Cipta Kerja Bakal Digugat, Pesangon Lebih Kecil hingga Kontrak Tak Dibatasi

perppu-cipta-kerja-bakal-digugat,-pesangon-lebih-kecil-hingga-kontrak-tak-dibatasi

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2022, pada 30 Desember lalu. Beleid itu dijuluki Perppu Cipta Kerja, dan telah diteken Presiden Joko Widodo. Salah satu pasal yang disorot negatif dari perppu itu terkait potensi penghilangan libur dua hari dalam sepekan. Aturan kontroversial ini tertuang dalam pasal 79 ayat 2 huruf b. Pasal tersebut menjabarkan dua jenis istirahat. Pertama istirahat antara jam kerja minimal setengah jam setelah bekerja selama 4 jam secara terus-menerus. Waktu istirahat ini bukan termasuk dalam jam kerja.

Aturan istirahat kedua berupa, “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu,” tertulis dalam pasal tersebut. Selain pasal tersebut, aturan mengenai outsourcing dan besaran pesangon disorot negatif oleh berbagai pihak.


Hanya selang beberapa hari setelah perppu disahkan, sejumlah organisasi serikat buruh mengumumkan rencana untuk menggugat peraturan anyar tersebut ke Mahkamah Konstitusi, seperti yang dulu dialami Omnibus Law, lantaran pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan masih merugikan buruh. KSPI, organisasi yang dipimpin Said Iqbal, menyebut siap mengambil langkah hukum.

Presiden Joko Widodo mengakui bila perppu ini akan kembali memicu pro-kontra, khususnya dari kalangan pekerja. Namun dia memilih bersikap santai menghadapinya. “Dalam setiap kebijakan, dalam setiap keluarnya sebuah regulasi ada pro dan kontra. Tapi semua bisa kita jelaskan,” ujar Jokowi saat ditemui wartawan di Jakarta, pada 2 Januari 2022.

Joko Widodo mengatakan apabila pemerintah menerbitan aturan ini lantaran keadaan dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Meski situasi perekonomian di Indonesia saat ini terlihat normal, sebenarnya masih ada ancaman-ancaman ketidakpastian global.

Aturan lain yang menarik perhatian publik juga terkait besaran pesangon. Untuk karyawan yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), besaran pesangon maksimal 9 kali upah. Ketentuan besaran pesangon masuk dalam dalam Pasal 156 ayat (1) Perppu Cipta Kerja. Besaran itu jauh lebih kecil dari standar yang dipakai dalam aturan ketenagakerjaan lama.

Peraturan lain, dalam pasal 88F Perppu Cipta Kerja mengatur apabila formula upah minimum bisa berubah, menjadi lebih kecil dari yang ditetapkan kepala daerah. “Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat 2,” bunyi pasal tersebut.

Adapun perhitungan upah minimum mempertimbangkan variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Untuk Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan upah minimum diatur dalam peraturan pemerintah.

Kembali ke perkara penghapusan libur dua hari, pasal dalam perppu cipta kerja ini dianggap bertolak belakang dengan kebijakan libur pekerja dalam Pasal 79 Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut pekerja diberikan waktu istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) membantah adanya penghapusan hari libur buruh dalam Perppu Cipta Kerja. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri, mengatakan pasal 79 Perppu Cipta Kerja tidak hanya untuk yang 6 jam kerja, namun juga untuk yang 5 hari kerja.

“Sehingga jika perusahaan menggunakan waktu kerja 5 hari dalam seminggu, otomatis libur dalam 1 minggunya 2 hari, jadi dengan demikian tidak perlu diatur dalam perppu,” kata Indah, dikutip dari CNN Indonesia.

Merespon terbitnya Perppu ini, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) tegas menolaknya. Ketua Umum KSPSI, Jumhur Hidayat, mengatakan aturan ini sebagai akal-akalan oligarki. Penerapannya berpotensi memperburuk kehidupan para buruh.

“Perppu tentang UU Cipta Kerja adalah akal-akalan oligarki, agar substansi UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun, segera bisa dijalankan tanpa perlu memberi kesempatan pada rakyat untuk berpartisipasi,” kata Jumhur, dikutip dari Tribun, Senin (2/1/2023).

Jumhur juga melihat dengan adanya aturan ini, Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara yang memerintah berdasarkan hukum. “Ini bukan negara rule of law tapi rule by law, di mana aturan hukumnya dibuat dengan cara barbarian,” katanya. “Perppu itu bagi kaum buruh akan lebih buruk dan karenanya wajib ditolak.”

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menganggap penerbitan Perppu bukan dalam keadaan genting yang memaksa. Seharusnya penerbitan aturan ini bukan menjadi alat kekuasaan presiden, meski kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship). Penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada presiden.

“Selain itu, perlu adanya penjelasan secara ilmiah dengan menggunakan berbagai medium pemerintah secara partisipatif yang meluas menyentuh tiap-tiap lapisan masyarakat, bilamana ada gejala akan menghadapi situasi genting dan memaksa. Artinya, tidak menjadi tafsir subjektif presiden beserta kabinet saja.” kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referandum dalam keterangan pers yang diterima VICE.

LBH Jakarta, merespons isi Perppu Cipta Kerja, menganggap tidak terdapat alasan genting dan mendesak terkait situasi perekonomian, yang bisa menjustifikasi terbitnya aturan yang memperlemah posisi tawar para pekerja.

“LBH Jakarta mendesak Presiden RI untuk menarik kembali Perppu No. 2 Tahun 2022,” tandas Citra.

LBH Jakarta juga berpendapat apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI perlu mendengar penjelasan Perppu Cipta Kerja dan berpihak pada rakyat.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat lantaran tidak adanya proses partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan UU tersebut. Adanya perppu ini dianggap tidak menghiraukan isi putusan MK.

“Melanjutkan praktik buruk legislasi. Paling tidak publik dapat melihat dan membaca isi draf Perppu a quo, kenyataannya publik sulit mengakses Perppu a quo bahkan pada Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan kebiasaan buruk yang berulang dalam proses legislasi Indonesia,” katanya.