Berita  

Kadang Jadi Sumber Bocornya Aib, Ingatlah Fitur ‘Close Friend’ IG Tak Menandakan Kedekatan

kadang-jadi-sumber-bocornya-aib,-ingatlah-fitur-‘close-friend’-ig-tak-menandakan-kedekatan

Aku sebetulnya enggak terlalu aktif menggunakan media sosial, khususnya Instagram. Selain karena tak ada hal menarik untuk dibagikan, aku cenderung membuka aplikasi cuma untuk melihat-lihat foto dan video orang-orang yang aku ikuti. Jika sudah bosan nge-scroll linimasa dan laman “explore”, aku biasanya menonton InstaStory satu per satu sampai ujung — meski tak jarang juga aku melewatinya.

Suatu ketika, ada postingan yang mengganjal pikiran saat melihatnya. Enggak ada yang aneh dari InstaStory itu, hanyalah foto kenalan bersama pasangannya. Yang bikin aku terheran-heran adalah orang itu memasukkanku ke daftar “Close Friend” di Instagram. Padahal seingatku, kami enggak pernah ngobrol sekali pun. Kami saling mengikuti akun satu sama lain murni karena pernah menjadi sukarelawan di sebuah acara.


Sejujurnya, aku enggak begitu peduli siapa saja yang menjadikanku “close friend” mereka. Tapi kalau diperhatikan, kebanyakan dari mereka cukup sering berinteraksi denganku, seperti teman satu kampus atau nonton konser. Aku pribadi hanya memilih orang-orang yang mengenal siapa diriku dan seperti apa tabiatku dalam daftar tersebut. Karena itulah aku mengira semua orang berpikiran seperti ini saat menentukan siapa saja yang boleh melihat sisi terdalam mereka.

Fitur yang diluncurkan pada 2018 memungkinkan pengguna untuk berbagi konten pada orang-orang terpilih saja, sehingga tak sembarang follower bisa mengakses postingan rahasia tersebut. Mereka yang tak masuk daftar takkan pernah menyadari keberadaan Story yang dihiasi lingkaran hijau.

Tinggal di masyarakat yang haus akan aib orang lain, tak mengherankan jika kamu merasa lebih nyaman membagikan rutinitas sehari-hari atau momen spesial ke Close Friend. Perasaan tentunya juga lebih tenang ketika mencurahkan isi hati kepada segelintir orang. Mereka bisa siapa saja: sahabat, sepupu, cees di sekolah atau kantor, atau bahkan sohib internet yang belum pernah ketemuan di dunia nyata.

Terlepas dari kedekatanmu dengan mereka, yang terpenting orang-orang ini mampu menjaga rahasia dan takkan menjadikanmu bahan gosip. Kamu yakin mereka bukan tipe yang akan menilai dirimu dari postingan medsos semata. Meski InstaStory kamu cuma foto menginap di rumah sahabat, ada kalanya kamu risih mengetahui momen paling intim dalam hidupmu disaksikan orang random.

Terkadang ada situasi yang mengharuskan Muhammad Fadhil, 22 tahun, mengikuti akun Instagram setiap orang yang dia kenal di lingkungan rumah dan sekolah, walau mungkin mereka kurang akrab dan enggak punya kesamaan.

“Kadang kita merasa di Instagram harus follow orang-orang yang kita tahu — orang-orang di sekitar kita kayak teman sekelas atau rekan kerja,” tutur pemuda yang tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, saat ngobrol bersama VICE. “Tapi sebenarnya kita enggak konek… bukan dalam urusan sekolah atau pekerjaan. Cuma untuk urusan interest, kita enggak searah dan sepemikiran.”

Fadhil ingin mengekspresikan diri lebih lepas, tapi enggak mau dianggap “overshare” oleh mereka. Dia merasa canggung dalam mengungkapkan pikiran atau membicarakan sesuatu di hadapan orang yang tak tahu seperti apa dia sebenarnya. Karena itulah dia memperlihatkan sosok aslinya kepada sejumlah orang saja — mereka-mereka yang membuatnya nyaman dan enggak akan mempermasalahkan postingannya.

“Yang aku masukkin ke close friend itu, tuh, orang-orang yang aku rasa enggak bakal bikin canggung kalau mereka tahu tentang keluh kesahku atau pun hal-hal lainnya,” ujar Fadhil. Bisa jadi mereka kenalan dari internet dan sering ngobrol lewat DM. Selama masih sepemikiran, dia enggak peduli mereka teman dekat di dunia nyata atau bukan.

Mahasiswa jurusan komunikasi itu menegaskan dia tetap menjadi dirinya sendiri di postingan publik. Sebagai seorang sinefil, dia sering membuat ulasan singkat dan merekomendasikan film-film yang telah ditonton di InstaStory. Terkadang dia juga mengunggah meme yang relate dengan kehidupannya. Hanya saja, Fadhil memandang ada hal-hal yang tak bisa ditampakkan ke semua orang.

“Aku ingin semua orang menganggapku baik-baik saja, tapi ada kalanya aku ingin didengar sama mereka,” kata Fadhil. “Mereka enggak perlu menanggapi curhatan. Aku cuma ingin mereka tahu.”

Meski dia masa bodoh ada yang merespons atau enggak, Fadhil tetap senang kalau orang-orang di close friend membalas InstaStory-nya dan menceritakan hal serupa. Dari situ, mereka bisa ngobrolin perjuangan masing-masing dan tak lagi merasa sendirian.

Seperti Fadhil dan kebanyakan pengguna Instagram lain, Sunny Damayanti merasa tak semua orang perlu melihat kesehariannya. Terkadang dia ingin share InstaStory ke orang tertentu, meski postingannya mungkin sebatas urusan pekerjaan. Enggak ada hal spesifik yang berusaha ia tutup-tutupi.

“Buatku, definisi ‘close friend’ di Instagram jadi semacam fitur saja. Fitur yang ngasih kebebasan mau membagikan Story ke siapa,” ucap perempuan 26 tahun yang berprofesi sebagai copywriter. “Mereka enggak mesti close friend di dunia nyata.”

“Ada orang-orang yang memang pengen aku masukkin saja, dan aku enggak masalah berbagi konten sama mereka.”

Sahabat karib Sunny di dunia nyata otomatis masuk close friend, tapi dia oke-oke saja kalau beberapa orang di lingkaran pertemanan bisa melihat postingan rahasianya. Saat memilih siapa saja yang berhak dijadikan close friend, dia memastikan pembawaan mereka enggak negatif. Dia enggak mau orang meninggalkan komentar gaje pada InstaStory-nya, atau justru menghakimi postingan yang diunggah ke Close Friend.

Sunny cenderung berhati-hati dalam menampilkan diri di media sosial. Dia hanya memposting hal-hal yang sudah orang ketahui tentangnya, dan ogah membagikan apa pun yang menurutnya tak pantas dilihat orang lain. Tapi tetap saja, rasanya menyebalkan jika ada yang membalas InstaStory dengan nada meledek atau terkesan menyepelekan.

Kedua contoh ini menunjukkan makna teman dekat, setidaknya di Instagram, sudah bergeser jauh dari esensi utamanya: hubungan yang terjalin melalui komunikasi intens, memiliki kedekatan emosional yang mendalam dan diwarnai dengan keintiman. Sekarang keakraban tak lagi menentukan seberapa layak seseorang menjadi “sahabat” online, melainkan sikap mereka selama berinteraksi atau menanggapi konten kita di medsos.

Itu sebabnya, muncul beberapa kasus yang masuk kategori aib pribadi, atau malah pelanggaran hukum yang akhirnya diketahui publik lewat fitur close friend. Media-media gosip di Indonesia sudah kerap merangkum kasus macam itu.

Harus diakui, orang yang akur dengan kita tak selamanya sebaik yang kita kira. Mereka-mereka yang asyik dan seru di dunia nyata bisa jadi sangat menjengkelkan di jagat maya. Kamu pastinya enggak mau menerima nasihat yang tak diinginkan di saat kamu menjadi dirimu apa adanya. Atau malah curhatanmu diumbar ke platform lain, padahal niatnya cuma untuk close friend saja. Bukankah melelahkan harus selalu menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain?



Sekalipun problematis, aku merasa tetap butuh fitur serupa close friend saat menggunakan medsos. Dibesarkan dengan pola asuh otoriter, aku sulit lepas dari bayang-bayang orang tua bahkan setelah beranjak dewasa. Apa pun yang aku lakukan, lambat laun ayah ibu pasti akan mengetahuinya. Aku akhirnya berhati-hati dalam bertindak karena sudah muak menjadi pihak yang selalu disalahkan. Rasa gak enakan kalau enggak follow back akun Instagram tetangga, kenalan orang tua dan keluarga besar semakin membuatku tak berdaya.

Fitur ini merupakan tempat terakhir untuk menjadi diriku yang sesungguhnya, terbebas dari mata-mata yang mengawasi setiap gerak-gerikku. Di sinilah aku bisa blak-blakan meluapkan segala emosi, kekhawatiran, rasa takut dan kesedihan. Aku enggak perlu cemas bocor ke orang tua karena “teman-teman dekat” tak pernah sekali pun berhubungan dengan mereka.

Sementara kamu menjadi versi paling sempurna di mata publik, fitur Close Friend berfungsi sebagai sarana mengeksplor jati diri tanpa filter apa pun. Kamu juga bebas menyuarakan opini dan menumpahkan segala yang mengusik pikiran, lalu membagikannya dengan orang-orang yang kamu rasa berpikiran terbuka dan enggak gampang nge-judge. Seharusnya, dengan fitur ini kita tak perlu khawatir akan mengundang pergunjingan, memicu pertengkaran, disindir “kampungan”, atau bahkan sulit mendapat pekerjaan gegara “kurang profesional” di Instagram.

Amalia Dwi Asih, 27 tahun, punya pandangan yang berbeda dari kebanyakan orang. Dia mengaku sulit mempertahankan komunikasi dengan kawan lama dan kenalan, serta memfilter audiens di Instagram. Perempuan yang akrab dipanggil Mia bahkan tak segan-segan menghapus puluhan follower yang tak dia kenal, sehingga bukan hal yang aneh jika jumlah close friend-nya cuma 15 orang. Mia sangat mengutamakan kedekatan, yang berarti orang di luar sirkel enggak memenuhi syarat untuk menyaksikan emosinya yang paling mentah dan alami. Akan tetapi, akrab di dunia nyata tak menjamin seseorang akan masuk daftar ‘teman terdekatnya’.

“Pertimbangan pastinya dari seberapa dekat, dan juga bagaimana orang tersebut merespons saat membahas sesuatu denganku. Ada beberapa teman yang cukup dekat, tapi aku kurang sreg dengan caranya menanggapi curhatanku,” tutur Mia, karyawan swasta di Jakarta Selatan. Dia selalu antusias menjawab DM-DM yang masuk tentang InstaStory-nya, selama mereka “enggak tiba-tiba bercanda gaje, sok tahu, menggurui atau malah nge-judge.”

Mayoritas orang yang mengikutinya di Instagram berasal dari tempat kerja, jadi dia akan mengunggah InstaStory ke close friend jika kontennya terlalu sensitif, dalam artian topik atau pemilihan kata dan bahasanya. 

“Makin ke sini, aku makin ngerti sebenarnya tiap nge-post di Close Friend biasanya cuma buat marah-marah atau mengeluh doang. Mungkin kayak coping mechanism sederhana, yang pengin melepas emosi melalui tulisan. Aku berharap ada yang memvalidasi perasaanku, walaupun enggak selalu dalam bentuk balasan berupa dukungan. Ada yang baca sudah cukup,” ungkapnya.

Meski kadang Mia merasa aneh dijadikan close friend oleh kenalan yang enggak begitu dekat, dia sepakat dengan Sunny dan Fadhil, bahwa orang idealnya memasukkan follower ke Close Friend yang tipenya mampu memahami batasan masing-masing. Mereka yang kalian masukkan dalam daftar ‘teman dekat’ seharusnya bukan tipe yang gemar mengumbar rahasia dan mengurusi hidup orang lain.

Pada prinsipnya fitur Close Friend memberi kemudahan memisahkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan apa yang ingin diperlihatkan ke seluruh dunia dalam satu akun. Kamu kini tak usah ribet-ribet bikin finsta demi menjaga imej di akun utama. Sekarang kamu bisa tetap terhubung dengan orang-orang yang berarti di hidupmu, tanpa harus mengorbankan siapa dirimu yang sesungguhnya.