Berita  

Merekam Kemeriahan ‘Festival’ Santri Lintas Kota Ngebut Mengaji Kitab Kuning

merekam-kemeriahan-‘festival’-santri-lintas-kota-ngebut-mengaji-kitab-kuning

Sinar matahari di pinggiran Kota Cirebon terasa menggigit saat puluhan santri putra bersarung dan berkopiah melintasi kebun jati dan barisan nisan. Langkah mereka sedikit tergesa lantaran khawatir terlambat mengikuti ngaji pasaran di masjid yang terletak di kompleks pemakaman salah satu sesepuh pondok Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon.

Ngaji pasaran merupakan salah satu tradisi yang dilakukan di Komplek Pesantren Babakan Ciwaringin selama Ramadan. Dalam pengajian ini, kebanyakan santri tak melakukan tadarus Quran, melainkan membaca dan mengkaji kitab kuning.


Kitab kuning adalah kitab tradisional yang dibuat oleh para ulama Indonesia dan Jazirah Arab yang berisi fikih, akidah akhlak, tafsir hadis, hukum islam, ilmu waris, ilmu falak, dan banyak lagi lainnya. Salah satu ciri khas kitab kuning adalah aksara arab dalam kitab kuning ini tidak diberi tanda baca, sering juga disebut ‘arab gundul’. 

Dalam buku “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat“, Antropolog Martin Van Bruinessen menyebut kitab kuning merupakan kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu menggunakan Bahasa Arab, dan sering digunakan sebagai buku pedoman berbagai pesantren di Indonesia.

Setiap bulan Ramadan, selepas zuhur, masjid kawasan Babakan dipenuhi ratusan santri dari berbagai tingkatan, mulai dari Tsanawiyah, Aliyah, hingga Ma’had Aly (Mahasiswa). Mereka yang datang lebih awal bisa duduk bersila dengan nyaman di dalam masjid, sementara yang lain menempati berbagai sudut hingga halaman masjid. Aktivitas ini berlangsung meriah di pondok putra maupun putri.

Di antara para santri, nampak pengasuh Pondok Pesantren Muallimin, Kyai Marzuki Ahal atau yang akrab dipanggil Kang Juki, duduk memimpin ngaji pasaran. Dia turut memberi penjelasan tafsir kitab yang sedang dikaji dengan menggunakan Bahasa Cirebonan. Kegiatan tersebut akan dihentikan sebelum Maghrib dan baru berlanjut selepas salat tarawih.

ramadhan_babakan_018.jpg
Beginilah proses ngaji pasaran selepas taraweh di Kompleks Pondok Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.

Dalam sebulan, pengasuh pondok pesantren biasanya mengkaji satu hingga dua kitab kuning. Di antaranya, fiqih (hukum islam), tauhid (teologi), nahwu, sorof dan balaghah (Gramatika Bahasa).

Ngaji pasaran merupakan salah satu ciri khas pondok salafiyah (tradisional atau semi modern) di Pulau Jawa. Dalam tradisi ini para santri, baik putra maupun putri diberi kebebasan memilih mengikuti kajian kitab kuning yang diampu oleh salah satu kiai ataupun ustaz. 

Layaknya festival literasi yang penuh suasana sukacita, tradisi musiman ini rupanya dapat diikuti berbagai santri dari ponpes berbeda. Bahkan peserta pengajian kitab kuning ini juga ada yang statusnya ustaz atau pengasuh pondok pesantren lain, salah satunya Aji.

Pemuda berusia 21 tahun itu mahasiswa jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah atau Hukum Keluarga. Ali mendalami berbagai aturan Islam seputar keluarga dan peradilan Islam, khususnya perkara warisan.

Aji merupakan salah satu santri luar daerah yang cukup menetap lama di Pondok Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin. Selama 10 tahun, pemilik nama lengkap Alzena Haq As’ad itu mengikuti pengajian pasaran tiap ramadan. Menurutnya, tradisi ini merupakan momen terbaik menambal kajian kitab kuning yang ‘bolong’ atau terlewatkan selama mondok.

“Ngaji pasaran itu merupakan waktu bagi para santri untuk menambal ngaji kitab yang bolong-bolong. Biasanya santri kalau ngaji itu ada izinnya, sakitnya, pulangnya, belum ngantuknya,” katanya kepada VICE.

Proses ngaji pasaran yang dilakukan di Pondok Pesantren Kebon Jambu lazimnya tidak hanya mengkaji satu kitab kuning. Terkadang ada yang mengkaji empat kitab sekaligus dalam 17 hari. Jika tidak khatam pada Ramadan tahun ini, akan dilanjutkan dan dikhatamkan pada Ramadan tahun berikutnya. 

Saking lamanya mondok, hubungan Aji dengan Kyai dan Ibu Nyai pimpinan pondok sudah seperti anak dan orang tua kandung. Hingga Aji mengaku tak segan untuk curhat kepada mereka.

“Saya sering curhat tentang permasalahan pribadi saya sama Yayu Awa [Pengasuh Pondok Kebon Jambu]. Mereka pasti menerima curhat atau cerita masalah kita  kok, kalau kita lagi anak-anak muda suka ada “galau” nya,” ungkap Aji.

Berbeda dengan Aji, peserta ngaji pasaran lainnya adalah Malik Ibrahim. Pemuda berusia 20 tahun tersebut merupakan anak bungsu dari Kyai Zamzami Amin, pengasuh Pondok Pesantren Muallimin Babakan Ciwaringan. Namun, ini kali pertama dirinya ikut ngaji pasaran di pondok yang diampu oleh pamannya, Kyai Marzuki Ahal.

“Sebelumnya, saya lebih sering ngaji pasaran di Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean, Krenceng, Kediri,” ujarnya.

ramadhan_babakan_09.jpg
Puluhan santri putri mengikuti ngaji pasaran di Pondok Muallimat Putri Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Untuk Ramadan tahun ini, Malik mendalami ilmu nahwu dan shorof, alias gramatika Bahasa Arab. Kajian ini cukup fundamental, karena menjadi bekal dasar mempelajari beragam kitab kuning maupun kitab berbahasa arab lainnya. 

Meski ngaji pasaran di Babakan terbuka untuk seluruh dari pondok pesantren lain, tetap ada persyaratan yang wajib dipenuhi. Menurut Salah satu santri tingkat Aliyah bernama Fahlevi Harini, santri tingkat satu dan dua Ibtidaiyah belum diizinkan mengikuti ngaji pasaran. “Aturan tersebut diberlakukan karena santri wajib menguasai dasar-dasar ilmu nahwu dan shorof,” kata lelaki berusia 20 tahun tersebut.

Ngaji pasaran paling marak dilakukan pada awal Ramadan hingga pertengahan Ramadan. Hampir seluruh pesantren yang terafiliasi dengan organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa Barat menggelar proses ngaji macam ini.

Ada tujuan lain yang dikejar oleh pengelola pondok, mengapa membebaskan santri dari manapun, asal memenuhi syarat, untuk terlibat proses ngaji pasaran. Sebab, diharapkan terjadi persilangan budaya dan tradisi lokal antar pesantren. Para santri dibebaskan untuk bergaul dan bersilaturahmi dengan santri dari pondok lain dan juga bergaul dengan para warga sekitar kompleks pondok.

ramadhan_babakan_06.jpg
Santri peserta ngaji pasaran membaca kitab tafsir yang ditulis dalam aksara arab gundul.

Di kawasan Babakan Ciwaringin saja, terdapat sekitar 40 Pondok Pesantren baik putra maupun putri, serta berdiri empat sekolah formal setingkat SMA/MAN dan 4 Sekolah formal setingkat MTS/SMP, belum termasuk lima Ma’had Aly atau setara Universitas. 

Berdasarkan data Kementrian Agama, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah dengan jumlah santri paling banyak di Jawa Barat, selain Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tasikmalaya.

Merujuk buku Sejarah Pesantren Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedondong 1802-1919 yang ditulis oleh Kyai Zamzami Amin, Komplek pondok pesantren Babakan Ciwaringin termasuk ponpes tertua di Jawa barat, nahkan di Indonesia. Tahun pendiriannya ditaksir pada 1127 Hijriyah/atau tahun 1705 Masehi, diprakarsai sosok Kyai Hasanuddin atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Jatira. 

Pada masa pengasuhan Kyai Amin Sepuh (1916-1955) pondok ini mengalami masa-masa keemasan dengan banyak melahirkan tokohKyai yang berpengaruh di Jawa Barat dan Indonesia. Di antaranya KH Ayip Muhammad (Jagasatru), KH Abdullah Abbas (Buntet), KH Syakur Yassin (Indramayu) dan KH Machsuni (Kwitang, Jakarta) yang semuanya merupakan alumni pondok pesantren Babakan Ciwaringin. Saat ini jumlah santri di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin mencapai 8.000-an santri putra dan putri.

Selain dikenal dengan para alumni nya yang telah menyebar ke berbagai pelosok Nusantara, pondok Babakan Ciwaringin juga dikenal dengan gerakan-gerakan sosialnya yang cukup membumi. Salah satunya ketika para kyai berjuang membela hak ketika tanah dan lahan kebun warga yang terkena proyek pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan (Cipali) antara tahun 2008-2009. Dalam laporan Liputan6, para santri dan warga beberapa kali melakukan aksi unjuk rasa hingga menutup badan jalan Cirebon-Bandung dan Jalur utama Cirebon-Jakarta. 

ramadhan_babakan_01.jpg
2.Sejumlah santri putra melintasi kompleks pemakaman saat akan mengikuti ngaji pasaran di Kompleks Pondok Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.

Menurut penuturan Kyai Marzuki Ahal yang di jumpai di kediaman nya perjuangan santri, kyai dan warga dalam membela hak mereka untuk menolak pembangunan jalur tol yang melintas komplek pondok tersebut telah dilakukan sejak tahun 1996. Sosok Kyai Zamzam Amin yang aktif mendampingi warga penolak tol, sempat mengalami teror.

“Saat itu Kyai Zamzami sempat ditodong pistol dan dipaksa menandatangani surat pernyataan menyetujui pembangunan tol Cipali oleh sejumlah tentara, tetapi Kyai Zamzami bersikukuh menolak menandatangani surat tersebut hingga akhirnya kala itu pembangunan tol sempat tertunda akibat jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998,” tuturnya.

Kegigihan santri, ulama dan warga ini akhirnya membuahkan hasil ketika Menteri PU kala itu Djoko Kirmanto menemui langsung Kyai Zamzami pada tahun 2010 untuk membahas rencana perubahan Tol Cipali yang dibuat memutar ke arah timur pondok dan tidak melintasi kompleks Pondok Babakan Ciwaringin.