Berita  

Kiat-Kiat Membangun Keluarga Harmonis Walau Pasangan Beda Budaya

kiat-kiat-membangun-keluarga-harmonis-walau-pasangan-beda-budaya

Paul Liu, 35 tahun, merasa sangat syok saat pertama kali ikut acara kumpul-kumpul keluarga pasangannya, Tazha dela Cruz. Babi dan sapi panggang utuh merupakan hidangan utama kala itu.

Paul lahir dari keluarga Tionghoa di Shanghai, Tiongkok. Orang tua lalu memboyongnya ke Australia saat dia baru lima tahun. Sementara dia beradaptasi dengan budaya Australia di sekolah, keluarganya tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional Tionghoa.


Lain ceritanya dengan Tazha. Dia lahir dan besar di Manila, Filipina. Daging panggang seperti yang Paul lihat kerap ditemukan dalam perayaan besar.

Sebagai pasangan antarras, makanan hanyalah satu dari sekian banyak perbedaan yang perlu dibiasakan keduanya. Hubungan mereka kini sudah berjalan tujuh tahun, tapi masih banyak perbedaan yang masih harus dihadapi. Hal yang paling kentara adalah mereka punya caranya sendiri ketika menangani konflik.

“Saya rasa budaya Tiongkok cenderung suka menghindari konflik, dan ini masih menjadi tantangan bagi kami setiap berbeda pendapat. Paul lebih suka menutup diri dan tidak mau membicarakan masalahnya denganku, yang akhirnya memperpanjang masalah,” ungkap perempuan 33 tahun yang bekerja di bidang IT.

Namun, perbedaan-perbedaan ini tak mampu memadamkan api asmara mereka.

Paul dan Tazha tinggal di Sydney sejak menikah pada 2019 lalu. Mereka berpacaran selama lima tahun sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Menurut keduanya, rumah tangga bisa harmonis berkat kesediaan mereka merangkul perbedaan dan melalui setiap keputusan sulit bersama-sama. 

Pasangan suami istri antarras
Tazha awalnya khawatir dengan perbedaan budaya mereka, tapi dia dan Paul mampu melewati segalanya.

Bagi Liu, hal terbaik dari hubungan antarras adalah kesempatan untuk memperluas pemahaman tentang orang lain dan dunia pada umumnya.

“Memang butuh waktu, tapi begitu kalian lebih banyak belajar tentang budaya yang berbeda, kalian perlahan-lahan memahami bagaimana hal-hal yang berbeda dari budayamu [tercermin] dalam kepribadian dan cara pandang orang,” tutur lelaki yang berprofesi sebagai peneliti fisika medis.

“Bisa hal-hal sepele macam iklim, hal penting seperti situasi politik, atau bahkan perbedaan bahasa. Saya mempelajari kalau semua ini memengaruhi kepribadian seseorang, dan pada gilirannya, memperluas pandangan dan pemahaman saya tentang dunia.”

Memastikan kecocokan sejak awal bisa menjadi fondasi hubungan yang kokoh. “Kami mendiskusikan isu-isu yang penting bagi kami—seperti politik dan agama—untuk memastikan kami tidak buang-buang waktu dalam hubungan yang tidak akan bertahan,” terang Tazha.

Setelah itu, kalian dan pasangan perlu menyambut setiap perbedaan dengan tangan terbuka dan berusaha untuk memahaminya. “Kami lebih sering menertawakan hal-hal yang muncul dari perbedaan latar belakang daripada mempermasalahkannya. Tazha suka bersih-bersih pakai tisu basah, dan menyuruhku ‘turn off’ (mematikan) lilin dan ‘close’ (menutup) lampu. Dia tidak pernah tersinggung kalau saya tertawa mendengarnya,” Paul berujar.

“Daripada mengabaikannya, akan jauh lebih baik jika kita menggali lebih dalam budaya satu sama lain, dan mencoba memahaminya bahkan untuk hal-hal yang sepele,” lanjutnya.

Menjalin hubungan dengan orang yang berbeda budaya berarti kalian harus siap mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan keluarga. “Saya dibesarkan dalam keluarga besar yang menganut agama Katolik. Keluarga saya harus sepakat mengadakan pesta sederhana dan sekuler jika ingin memantapkan hubungan dengan Paul melalui pernikahan. Saya juga memutuskan untuk tidak memakai nama belakangnya, yang merupakan hal tidak biasa di masyarakat Filipina,” kata Tazha.

Yang terpenting adalah kalian dan pasangan harus sama-sama berusaha menjaga tradisi budaya masing-masing. “Saya berusaha mengikuti semua perayaan Tionghoa dan belajar merayakan hari-hari penting ini, terutama saat kami tidak bisa berkumpul dengan keluarga besar selama lockdown. Orang tuanya sangat menghargai sikap sederhana macam mengirim kue bulan pada Festival Pertengahan Musim Gugur. Hal ini menunjukkan kalau saya berkomitmen menjadi bagian dari keluarga mereka,” ujar Tazha.

Paul dan Tazha mengakui perbedaan budaya dapat menimbulkan berbagai tantangan dalam pernikahan mereka, tapi keduanya yakin segala rintangan ini bisa dilalui bersama.

“Hubungan antarras sama seperti hubungan lainnya yang membutuhkan upaya, komunikasi, kompromi dan pemahaman. Kesuksesan suatu hubungan bergantung pada kesediaan dua orang melakukan semua upaya itu,” tandas Paul.

“Hubungan antarras memang memiliki tantangan tambahan, tapi juga bermanfaat dalam banyak cara yang unik. Tapi pada dasarnya, fondasi hubungannya sama saja.”

Artikel ini merupakan partnership dengan Closeup untuk merayakan cinta dan kedekatan dalam segala bentuk.

Follow Romano Santos on Instagram.