Konferensi pers Polri pada 10 Oktober 2022 memicu reaksi negatif dari masyarakat. Setelah sekian banyak kesaksian korban dilontarkan, investigasi media dalam dan luar negeri disajikan, jumpa pers Polri justru menekankan bahwa bukan gas air mata yang menjadi penyebab kematian para korban Tragedi Kanjuruhan.
“Tidak satu pun [ahli yang ditanyai Polri] yang menyebutkan bahwa penyebab kematian [korban Tragedi Kanjuruhan] adalah gas air mata, tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen. Karena apa? Terjadi berdesak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-bertumpukkan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” tutur Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dilansir Tempo.
Di saat yang sama, Polri mengakui aparat menggunakan gas air mata kedaluwarsa dalam Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober lalu. Tetapi Dedi juga memaparkan panjang lebar bahwa gas air mata kedaluwarsa lebih tidak berbahaya ketimbang gas air mata biasa.
“Jadi kalau sudah expired justru kadarnya dia berkurang zat kimia, kemudian kemampuannya juga akan menurun,” terang Dedi. “Kalau makanan, ketika kedaluwarsa makanan itu ada jamur ada bakteri yang bisa mengganggu kesehatan. Kebalikannya dengan zat kimia atau gas air mata ini, ketika dia expired justru kadar kimianya berkurang.”
Penjelasan ini mengundang sinisme publik di berbagai media sosial. Kepolisian dianggap mengelak bertanggung jawab sejak awal atas kepanikan ribuan suporter yang berujung pada insiden di gerbang 13 Stadion Kanjuruhan. Di Twitter, postingan pernyataan Dedi tersebut di akun Divisi Humas Polri mendapat lebih banyak quote tweet ketimbang likes, menandakan twit tersebut kontroversial.
Sejumlah netizen mencemooh dengan membuat perumpamaan lain. Misal menyebut Brigadir Yosua meninggal bukan karena dibunuh, tapi karena kehabisan darah. Atau menyebut korban Tragedi Kanjuruhan meninggal bukan karena gas air mata, tapi jantungnya berhenti.
Pernyataan tentang gas air mata kedaluwarsa tak terlalu berbahaya juga mengundang sanggahan. Apalagi sudah ada dugaan soal ini sejak awal, mengingat banyak korban di Stadion Kanjuruhan mengaku merasakan perih dan sesak luar biasa.
Dugaan ini sampai muncul karena peserta demonstrasi akbar di Jakarta pada 2019 pernah merasakan hal serupa. Saat itu, Deputi Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan gas yang dipakai saat demo itu terasa lebih menyakitkan ketimbang gas air mata biasanya. Ia juga menyebut banyak mahasiswa pingsan usai ditembak gas air mata.
“Saya awalnya kan tidak tahu gas air mata ini expired ya. Tapi di lapangan itu begitu saya kena dan saya hirup, itu memang beda sekali dengan pengalaman-pengalaman saya ikut aksi sebelumnya,” ujar Feri kepada Detik, 24 September 2019.
“Makanya menurut saya penggunaan gas air mata (kedaluwarsa) itu berpotensi menghilangkan nyawa. Sebab, kalau orang yang punya penyakit asma atau jantungan, udah lewat [meninggal]. Para pendemo kalau nggak segera evakuasi saya jamin akan ada korban. Sebab, waktu kami evakuasi, banyak mahasiswa yang pingsan karena terseret dan efek gas itu,” tambahnya.
Sempat mengelak, pada 2019 tersebut Polri akhirnya mengakui menggunakan gas air mata kedaluwarsa. Bahkan seperti deja vu, jubir Polri saat itu juga Dedi Prasetyo, saat itu berpangkat brigjen. Bukan cuma itu, persis perannya saat ini, Brigjen Dedi juga menekankan bahwa karena gas air matanya kedaluwarsa, justru jadi enggak bahaya-bahaya banget.
“Justru itu tidak ada bahayanya sama sekali ya. Malah melempem itu kayak kerupuk gitu. Sama seperti peluru yang kedaluwarsa, kalau digunakan tidak akan efektif seperti peluru aktif,” kata Dedi pada 26 September 2019, dilansir Bisnis.
Namun apa motif kepolisian berkali-kali menggunakan gas air mata kedaluwarsa saat menangani massa, termasuk yang berujung fatal seperti di Kanjuruhan, tak terjelaskan. Padahal di 2022 saja, Polri punya anggaran belanja pelontar dan amunisi gas air mata senilai Rp160 miliar.
Alhasil, pertanyaan esensial terkait Tragedi Kanjuruhan bertambah menjadi tiga. Pertama, tentang alasan gas air mata kedaluwarsa dipakai. Kedua, siapa yang memerintahkan pasukan polisi di luar stadion masuk serta mengapa pasukan ini membawa gas air mata? Ketiga, bagaimana situasi di pintu keluar sebenarnya, mengingat Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris mengklaim pintu sudah dibuka sebelum pertandingan usai.
Hingga kemarin, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan masih mengaku tak tahu siapa yang memerintahkan pasukan masuk ke stadion. “Komando gas air mata kita baru tahu siapa yang beri perintah pelepasan, tapi belum tahu siapa yang meminta masuk PHH [pasukan huru-hara],” ujar anggota TGIPF, Rhenald Kasali, Senin (10/10), dikutip Detik.
Jika kecewa pada investigasi polisi, publik bisa apa?
Apa arti penjelasan polisi bahwa penyebab kematian korban Tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata? Pengamat hukum dan kebijakan publik Yuris Rezha Kurniawan mengatakan kepada VICE, dinilai sebagai bahasa hukum pun, pernyataan tersebut kurang jelas.
“Secara umum dalam hukum pidana, ada yang disebut ajaran kausalitas [sebab-akibat]. Penegak hukum mestinya fokus mengusut penyebab utama yang mengakibatkan tragedi ini. Soal banyak korban meninggal karena kehabisan oksigen, itu kan penyebab dari sisi medis. Tugas kepolisian ya membuktikan runtutan perbuatan penyebabnya lebih dari sekadar itu,” terang Yuris.
“Termasuk tentang apakah ini kelalaian atau kesengajaan. Membuktikan unsur niat kan harus digali lewat bukti dan fakta yang saling berkesesuaian. Itulah kenapa sebaiknya penegak hukum fokus saja dengan menggali fakta dan bukti tindakan- tindakan pengamanan saat kejadian tersebut, termasuk soal tindakan penembakan gas air mata,” tambahnya.
Problemnya saat ini, publik cenderung tak percaya dengan perkataan kepolisian. Ya gimana, kasus Kanjuruhan ini terjadi usai skandal besar obstruction of justice di kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang menyeret puluhan perwira polisi. Ditambah rekam jejak polisi yang kerap merevisi pernyataan mereka sendiri. Twit ini menggambarkan sentimen publik saat ini.
Problem tersebut berbuntut problem lain: terus gimana dong cara agar Tragedi Kanjuruhan diusut tuntas, sementara yang berwenang mengusut adalah kepolisian yang reputasinya sedang miring? Pertanyaan ini juga kami lontarkan kepada Yuris.
Menurut Yuris, ada tiga hal yang bisa dilakukan masyarakat saat kesimpulan aparat atas suatu kasus dianggap tidak mencerminkan realitas lapangan.
Pertama, jika ketidakpuasan kita terkait kinerja personel kepolisian, kita bisa mengadu ke… Propam. Sementara jika ketidakpuasannya terkait pengawasan internal kelembagaan, kita dapat mengadu kepada Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri yang mana adalah polisi juga, hehe.
Langkah kedua, mengadu kepada Komisi Kepolisian Nasional [Kompolnas]. “Misal tidak puasnya lebih ke kinerja secara umum, seperti di Tragedi Kanjuruhan ini, secara tupoksi ada di Kompolnas karena mereka pengawas institusi kepolisian,” jawab Yuris.
Ketiga, jika Kompolnas juga dirasa tidak memuaskan, publik bisa menekan Presiden untuk turun tangan. “Karena sesudah Reformasi, secara struktur kepolisian itu langsung di bawah presiden,” ujar Yuris.
Ketiga tips ini bisa dilakukan sekaligus. Yang sudah jelas terlihat, sebenarnya publik sudah menjalankan tekanan ke Kompolnas dan Presiden lewat internet. Yah, walaupun dampaknya bisa serandom postingan foto personel Polresta Malang sujud minta maaf dipotret pakai drone.
Pada Selasa (11/10), TGIPF Tragedi Kanjuruhan diwakili ketuanya, Mahfud MD, menggelar konferensi pers. Mahfud menyebut investigasi tim sudah selesai dan Jumat nanti mereka akan menyerahkan laporan akhir kepada Presiden. Di waktu hampir bersamaan, jumlah korban tewas Tragedi Kanjuruhan bertambah 1 orang, menjadi 132 orang.
Hasil laporan TGIPF Jumat nanti tampaknya akan jadi penentu akan seperti apa kasus ini berlanjut.