Kerangkeng manusia di rumah dinas Bupati Langkat, kini nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin sudah beroperasi sejak 2012. Sejak 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) Langkat telah mengetahui adanya tempat yang menyaru sebagai sarana rehabilitasi narkoba tersebut. Pada 2021, Terbit bahkan menunjukkan sendiri bentuk kerangkengnya dalam sebuah video yang diunggah YouTube resmi Pemkab Langkat. Apa yang membuat skandal perbudakan manusia ini baru terungkap setelah Terbit terkena OTT KPK? Mungkin salah satu jawabannya adalah: karena ada polisi dan tentara yang terlibat dalam kasus kerangkeng ini.
Dugaan itu muncul usai Komnas HAM melaporkan hasil penyelidikan mereka. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, lembaganya menerima laporan 19 nama pelaku kekerasan sistematis terhadap penghuni kerangkeng milik terbit. Beberapa di antaranya adalah keluarga si bupati, anggota ormas, serta anggota TNI dan Polri.
“Jadi ada 19 yang patut diduga sebagai pelaku tindak kekerasan tersebut. Dengan karakter, satu, dia adalah pengurus dari kerangkeng tersebut. Mulai dari pembina, kalapas, pengawas, palkam,” kata Choirul, Rabu lalu (2/3), dilansir CNN Indonesia. “Penghuni lama juga dilibatkan untuk melakukan tindak yang sama [kekerasan] sebagai alat kontrol. [Pelakunya] anggota ormas tertentu, oknum TNI-Polri, dan keluarga TRP [Terbit Rencana Perangin Angin].”
Fasilitas perbudakan berupa kerangkeng manusia di rumah dinas Bupati Langkat terungkap tak lama usai Terbit dicokok operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Pada 18 Januari, anak buah Terbit ditangkap KPK di sebuah warung kopi di Binjai, ibu kita Langkat, saat menerima suap Rp786 juta dari kontraktor pemenang tender proyek. KPK lalu mendatangi rumah dinas Terbit untuk menangkapnya beserta sang kakak, Iskandar, seorang kepala desa di Langkat yang turut bersekongkol dalam korupsi tersebut. Sempat kabur, Terbit akhirnya menyerahkan diri ke Polsek Binjai dan diboyong KPK ke Jakarta.
Seminggu kemudian, organisasi perlindungan pekerja migran Migrant CARE melapor kepada Komnas HAM bahwa ada indikasi praktik perbudakan di rumah dinas Terbit. Laporan itu terkonfirmasi ketika polisi mendatangi rumah tersebut. Tapi tak cuma kerangkeng, polisi turut menemukan sejumlah makam yang diduga kuburan penghuni kerangkeng.
Choirul Anam mengatakan, saat ditemukan, ada sebanyak 57 orang menghuni dua buah kerangkeng. Di masing-masing sel berukuran 6 x 6 meter, penghuninya dibagi menjadi 30 dan 27 orang. Komnas HAM juga mendapat pengakuan bahwa sejak kerangkeng digunakan pada 2012, sudah 6 orang penghuni mati, diduga akibat kekerasan. Polisi juga menemukan indikasi ada korban cacat akibat penyiksaan.
Sebanyak 18 alat kekerasan juga ditemukan Komnas HAM di lokasi. “Terdapat minimal 18 alat yang digunakan dalam tindak kekerasan ini, antara lain selang, cabai, ulat gatal, daun jelatang, besi panas, lilin, jeruk nipis,” terang Choirul, dilansir CNN Indonesia. “Lalu, garam, plastik yang dilelehkan, palu atau martil, rokok, korek, tang, batako, dan alat setrum. Lalu ada kerangkeng dan juga kolam,” imbuhnya.
Para penghuni kerangkeng adalah pekerja di kebun kelapa sawit milik Terbit. Selain disiksa, korban juga dipaksa bekerja selama 10 jam sehari, dari pukul 08.00 sampai 18.00. Mereka tak diupah dan hanya menerima makan dua kali sehari.
“Bahkan penghuni juga dijadikan sebagai buruh bangunan untuk membangun rumah Terbit, termasuk juga mengeruk tanah disekitar lokasi tanah,” ujar Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Endang Sri Melani, 2 Maret lalu, dilansir Tempo.
Tak menutup-nutupi keberadaan kerangkeng itu, selama ini Terbit berdalih fungsinya sebagai tempat rehabilitasi narkoba para pekerja sawit. Ia mengklaim, “peserta rehab” diberi makan gratis, perawatan kesehatan, dan pembinaan “keagamaan dan sosial”.
“Kalau sudah lebih dari 10 tahun itu, kurang lebih pasien yang sudah kami bina itu 2.000-3.000 orang yang sudah keluar dari sini,” ujar Terbit pada tahun lalu, di YouTube Info Langkat yang dikelola Dinas Kominfo setempat, dilansir Kompas.
Pada Januari 2022, tak lama usai skandal kerangkeng terkuak, kepolisian masih menyebutnya tempat rehabilitasi. “Yang mana orang-orang tersebut dibina [dari] kecanduan narkoba dan kenakalan remaja, diserahkan [oleh orang tuanya] dengan membuat surat pernyataan warga binaan,” tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, 25 Januari 2022, dilansir Bisnis.
Saat itu Ramadhan juga masih menjelaskan bahwa penghuni kerangkeng dipekerjakan di kebun milik Terbit agar “punya keahlian”. Belakangan, BNN Langkat dan kepolisian Sumatera Utara menolak pernah memberi izin pada “tempat rehabilitasi” tersebut.
Analis Pelanggaran HAM Komnas HAM Yasdad Al Farisi menyebut kepada media, korban kerangkeng mengalami kekerasan berupa ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam, hingga digantung seperti monyet. Tak hanya itu, korban juga “Dicambuk anggota tubuhnya menggunakan selang, mata dilakban, dan kaki dipukul menggunakan palu atau martil hingga kuku terlepas, dipaksa tidur di atas daun atau ulat gatal, dipaksa makan cabai, dan juga tindakan kekerasan lainnya,” terang Yasdad.
Menanggapi temuan Komnas HAM, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyerukan agar anggota Polri yang menjadi pelaku penyiksaan di kerangkeng manusia Bupati Langkat diberi sanksi etik dan pidana. Sedangkan Kapolda Sumatera Utara dan Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan memberi respons formal: akan menindak tegas sesuai hukum jika terbukti ada anggotanya yang terlibat kasus ini.
Dari keterangan Polda Sumatera Utara, kasus kerangkeng manusia Bupati Langkat kini telah memasuki penyidikan.