Berita  

Perempuan Gaza Perjuangkan Hak Keluar Rumah Tanpa Harus Minta Izin Wali Lelaki

perempuan-gaza-perjuangkan-hak-keluar-rumah-tanpa-harus-minta-izin-wali-lelaki

Putusan terbaru Dewan Pengadilan Tinggi Syariah Jalur Gaza mewajibkan perempuan belum menikah untuk ditemani mahram (anggota keluarga/wali lelaki) tiap kali bepergian keluar rumah. Pengumuman ini menuai kecaman dari berbagai pihak di sepanjang jalur Gaza, tempat tinggal sekitar dua juta orang Palestina yang berada di bawah pembatasan ekonomi yang diberlakukan sejak 14 tahun lalu oleh Israel dan Mesir.

Banyak warga menyatakan ketidaksetujuan mereka di media sosial, sementara organisasi kemanusiaan mengutuk langkah yang diambil pemerintah. Pengadilan akhirnya mengalah pekan lalu, tapi tidak sepenuhnya membatalkan keputusan hakim. Hasil amandemen itu menyatakan wali laki-laki berhak tidak memberikan izin keluar rumah jika mereka bisa membuktikan perempuan berada dalam “bahaya besar” ke pengadilan.


“Bangsa lain sudah pergi ke Mars dan Bulan, sedangkan kami masih saja mempersoalkan perempuan boleh bergerak bebas atau tidak,” keluh Najla, pekerja kemanusiaan di jalur Gaza.

“[Membatasi gerak] termasuk pelanggaran hukum dasar di Palestina,” ujar Hala Nabhan, pengacara untuk Women’s Affairs Centre (WAC), organisasi yang menyediakan bantuan hukum gratis kepada para perempuan Gaza. “Pasal 12 menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk berpindah antar negara dan memilih tempat tinggal mereka. Keputusan ini juga melanggar hukum internasional.”

Mengamandemen keputusan merupakan langkah yang cukup positif, tapi masih menimbulkan pertanyaan. Mengapa pengadilan membuat keputusan itu?

Palestina akan menggelar pemilu untuk pertama kalinya setelah 15 tahun di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Pemilihan legislatif akan diadakan pada Mei 2021, sedangkan pilpres diselenggarakan pada Juli mendatang.

Partai Hamas dengan paham Sunni konservatif menguasai jalur Gaza sejak 2006, sementara wilayah lain dikuasai partai Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang beraliran moderat nasionalis. Sejumlah orang berpendapat keputusan tersebut dibuat untuk mendulang suara kelompok konservatif menjelang pemilu.

Amal Syam, direktur Women’s Affairs Centre, menuduh keputusan ini adalah taktik Hamas untuk terlihat liberal dan modern setelah merevisinya. “Bisa saja mereka ingin memasang rintangan sebelum pemilu,” katanya kepada VICE World News. “Atau mereka sengaja membuat keputusan hanya untuk membatalkannya.”

Menurut Syam, Hamas mungkin bertujuan menunjukkan bahwa mereka “mendengarkan suara” rakyat.

Apa pun alasannya, sangatlah memprihatinkan apabila hak-hak dasar perempuan dapat dirampas dengan mudahnya, terutama di tengah berbagai kesulitan yang dihadapi oleh sebagian besar penduduk.

Lebih dari separuh penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan akibat penjajahan Israel. Perekonomiannya tercekik akibat pembatasan impor dan ekspor. Israel dan Mesir memberlakukan pembatasan ini setelah Hamas memenangkan pemilu di Gaza pada 2006, meski hukum internasional telah menganggapnya ilegal. Sejak berperang dengan Israel pada musim panas 2014—yang menewaskan lebih dari 2.000 warga—Jalur Gaza juga menjadi sasaran serangan udara dan artileri oleh pasukan militer Israel.

Pandemi corona memperparah situasi yang sudah buruk. Sistem kesehatan juga semakin tertekan. Gaza mencatat lebih dari 53.000 kasus positif Covid-19 dengan angka kematian di atas 500. Israel memimpin program vaksinasi di dunia, tapi hanya mengizinkan pengiriman pertama 2.000 dosis ke Gaza melalui Tepi Barat Palestina pada 17 Februari.

Najla berujar, kasus kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan selama pandemi. Sulit bagi perempuan Palestina untuk berkumpul dan memperjuangkan hak-hak mereka. “Masih banyak hambatan yang membatasi bahkan bagi mereka yang memiliki kemudahan untuk melakukan sesuatu,” dia menambahkan, “seperti aktif dalam inisiatif atau mengambil peran kepemimpinan dalam komunitas dan politik.”

Mona al-Shawa, kepala Women’s Rights Unit di Pusat Hak Asasi Manusia Palestina (PCHR), menjelaskan “perempuan menjadi pihak yang paling terkena dampak kemiskinan”.

“Kami berharap pemilu ini, dan kehidupan baru demokrasi di Palestina, dapat membawa perubahan, serta memberi kami kesempatan untuk mengubah situasinya dan mengakhiri isolasi Gaza,” kata Shawa kepada VICE World News.

Dia berharap pemilu ini dapat meningkatkan partisipasi perempuan Gaza dalam politik. “Kami menginginkan wajah baru dalam dewan legislatif Palestina,” imbuhnya. Shawa ingin melihat lebih banyak perempuan di pemerintahan yang dapat menjadikan Palestina tempat yang aman bagi kaum hawa.

Dia melanjutkan, “Kami juga butuh undang-undang perlindungan keluarga dari kekerasan. Rakyat menginginkan perubahan.”

Tak semua orang yakin pemilu dapat membawa Palestina ke jalan yang lebih baik. Seorang ibu di kota Rafah menyebut gelaran ini “takkan mengubah apa-apa.”

“Hamas tidak akan kalah,” tuturnya. “Kalau pun mereka kalah, memangnya ada alternatif yang lebih bagus? Tidak ada partai yang mampu mengakhiri pengepungan Gaza. Itulah masalah utama kita.”

Dua partai yang paling berpengaruh di Palestina dianggap gagal menjalankan tugasnya. Fatah yang mengendalikan sebagian wilayah Tepi Barat tak mampu mencapai kesepakatan dengan Israel untuk mengakhiri penjajahan, sedangkan Hamas tidak berhasil menghentikan pengepungan di jalur Gaza.

Walaupun begitu, takkan ada yang bisa menantang hegemoni kedua partai pada pemilu mendatang.

Apa pun hasilnya nanti, dan betapa pun suramnya masa depan rakyat Gaza, persatuan publik yang dipicu oleh keputusan tersebut memberikan secercah harapan. “Kampanye advokasi dan gabungan masyarakat sipil Gaza, terutama organisasi yang memperjuangkan hak asasi manusia dan perempuan, akan bekerja keras untuk menghentikan ini,” Shawa menegaskan.

“Kami takkan pernah lelah menyuarakan aspirasi.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE World News