Penetapan para tersangka Tragedi Kanjuruhan diumumkan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, pada 6 Oktober 2022. Dari enam tersangka, sebanyak tiga orang adalah warga sipil dan tiga lainnya anggota Polri. Mereka adalah Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC Suko Sutrisno, Kepala Bagian Operasional Polresta Malang Kompol Wahyu Setyo, Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.
Para tersangka ini rata-rata dijerat dengan KUHP Pasal 359 dan 360 tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain terluka hingga meninggal, serta UU 11/2022 tentang Keolahragaan Pasal 103 ayat 1 juncto Pasal 52 tentang tanggung jawab pengamanan acara olahraga. Kedua pasal KUHP tersebut memuat pidana maksimal, masing-masing, 5 tahun penjara. Sedangkan pidana pasal UU Keolahragaan maksimal 2 tahun penjara.
Listyo menjabarkan dosa masing-masing tersangka. Direktur LIB diduga bersalah karena lalai memverifikasi kondisi terkini Stadion Kanjuruhan, yang terakhir diverifikasi pada 2020. Ketua Panpel Abdul Haris diduga bersalah karena mengabaikan rekomendasi polisi untuk memajukan jam pertandingan ke sore hari. Ia juga sengaja menjual tiket 4 ribu lebih banyak daripada kapasitas maksimal stadion.
Security Officer Suko Sutrisno diduga bersalah karena memerintahkan steward pertandingan meninggalkan pintu-pintu stadion sebelum pertandingan selesai. Akibatnya, ketika penonton panik akibat ditembak gas air mata, mereka tak bisa keluar karena pintu masih terkunci.
Sementara dosa para aparat: Kompol Wahyu Setyo karena membiarkan penggunaan gas air mata di lapangan meski tahu hal itu dilarang Statuta FIFA, kemudian AKP Hasdarman dan AKP Bambang Sidik Achmadi karena memerintahkan anak buahnya menembakkan gas air mata di dalam stadion.
Listyo juga menyebut ada penambahan personil pengamanan dalam pertandingan nahas 1 Oktober tersebut, yakni dari semula 1.073 personil menjadi 2.034 personil. Berdasarkan penyelidikan polisi, ada 11 polisi yang mengeluarkan 11 kali tembakan gas air mata. Tribun utara ditembak 7 kali, tribun selatan 1 kali, dan di dalam lapangan 3 kali.
Angka tembakan versi polisi ini berbeda dari perhitungan The Washington Post, yang dalam investigasinya menyebut ada 40 tembakan, mencakup juga flare serta gas air mata. Kapolri mengakui tembakan itu membuat penonton panik. Ia beralasan tembakan dilakukan untuk mencegah lebih banyak penonton turun ke lapangan.
Selain 6 tersangka tadi, sebanyak 20 polisi sudah menjadi tersangka pelanggaran etik. Termasuk di dalamnya ke-11 polisi penembak gas air mata tadi. Listyo menambahkan, jumlah-jumlah ini masih mungkin bertambah.
Daftar tersangka awal ini direspons dengan ketidakpuasan publik. Desakan agar ada pejabat PSSI yang bertanggung jawab masih menggema hingga hari ini. Hingga tulisan ini dibuat, lebih 20 ribu orang telah menandatangani petisi menuntut Ketua Umum PSSI Mochamad “Iwan Bule” Iriawan serta para pengurus PSSI agar mundur.
Daftar tersangka tersebut juga tak menjawab misteri yang lebih besar. Siapa aktor yang memerintahkan kehadiran polisi bersenjata gas air mata di dalam stadion malam itu? Dan apakah pintu-pintu stadion yang tidak dibuka juga atas perintah pihak tertentu?
Kepada Koran Tempo, Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto mengatakan polisi bersenjata gas air mata baru berada di dalam stadion sekitar 5-10 menit sebelum pertandingan berakhir. Atas perintah siapa? Setahu Kompolnas, yang jelas bukan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.
Hal mencurigakan lain, Koran Tempo melaporkan dalam dokumen rencana pengamanan pertandingan yang dibuat Kapolres Malang, juga tak ada rencana penggunaan gas air mata dalam pengamanan pertandingan malam itu. Menurut dokumen tersebut, jika terjadi skenario terburuk berupa suporter turun ke lapangan dan menyerang pemain maupun official, aparat “hanya” akan merespons dengan water cannon.
Walau penting, nasib jawaban misteri ini simpang siur. Pasalnya, Menko Polhukam sekaligus Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Peristiwa Kanjuruhan, Mahfud MD, baru saja menyatakan penindakan hukum peristiwa ini sudah hampir selesai.
“Ya, itu menurut saya, ribut-ribut urusan Kanjuruhan itu, kalau segi yuridis dan penindakan hukumnya sudah hampir dapat dikatakan selesai,” ujar Mahfud MD di Jakarta, Jumat (7/10), dilansir Kompas.
“Karena tersangkanya sudah enam, kemudian yang dijatuhi sanksi administratif, pemindahan penurunan jabatan dan sebagainya ada 10 dari aparat. Jadi, untuk tanggap daruratnya sudah selesai,” tambahnya.
Kericuhan di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober bermula ketika aparat menembakkan gas air mata ke arah penonton. Rasa pedih akibat gas ini membuat penonton panik dan berebutan keluar lewat pintu-pintu di stadion. Pintu stadion menjadi jalur menyelamatkan diri karena penonton yang lari ke lapangan dipukul oleh polisi. Nahas, sebagian besar pintu stadion terkunci sehingga penonton tak bisa keluar.
Peristiwa ini menyebabkan sedikitnya 131 orang meninggal dan 446 orang terluka. Komnas HAM menyatakan, berdasarkan pantauan kondisi jenazah, banyak korban meninggal karena kehabisan oksigen akibat gas air mata.
“Pertama adalah kondisi jenazahnya banyak yang mukanya biru, jadi muka biru ini banyak. Ini yang menunjukkan kemungkinan besar karena kekurangan oksigen karena juga gas air mata,” ungkap Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Rabu pekan ini (5/10), dilansir Detik. Sejumlah korban meninggal juga mengalami patah tulang, diduga karena terinjak-injak massa yang panik.
Meski banyak pihak sudah menunjuk gas air mata sebagai penyebab utama kematian massal di Stadion Kanjuruhan, tak satu pun pernyataan otoritas berani terang-terangan menuding faktor satu ini, bahkan sekelas Presiden Jokowi sekalipun. Dalam kunjungannya ke Stadion Kanjuruhan, Rabu lalu (5/10), Presiden justru menuding masalah bangunan sebagai biang kerok Peristiwa Kanjuruhan.
“Saya melihat problemnya ada di pintu yang terkunci dan juga tangga yang terlalu tajam, ditambah kepanikan yang ada. Tetapi semua akan disimpulkan oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta,” ujar Jokowi, dilansir Metro TV. Ia juga akan memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum mengaudit infrastruktur semua stadion yang dipakai untuk Liga 1, 2, dan 3.
Di kesempatan lain, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa ada “banyak faktor” yang menyebabkan peristiwa ini, mulai dari suporter, panpel, sampai regulasi.”
Ahli pengaturan kerumunan di ruang publik dari Inggris, Alison Hutton, menuliskan analisisnya tentang tiga penyebab utama Peristiwa Kanjuruhan berakhir fatal, yaitu stadion yang kelebihan kapasitas, tembakan gas air mata yang memicu kepanikan, serta pintu keluar yang terbatas.