Berita  

Pengakuan Maba Unhas Sebagai Non-Biner Ingatkan Kita Bahwa Identitas Gender Beragam

pengakuan-maba-unhas-sebagai-non-biner-ingatkan-kita-bahwa-identitas-gender-beragam

Raul* adalah seorang remaja yang belum lama menyelesaikan sekolah menengah tingkat atas di Makassar. Dia bercita-cita menjadi seorang pengacara, atau setidaknya kelak bekerja di lembaga hukum. Pilihannya selangkah maju mencapai cita-cita tersebut adalah kuliah di Universitas Hasanuddin. Dia berhasil mengalahkan sekitar 7.000 pelamar lain, menjadi bagian dari 485 mahasiswa baru Fakultas Hukum.

Unhas, sebutan akrab kampus ini, sejak pertama berdiri pada 1956 segera menjadi kampus negeri idola bagi mayoritas anak muda kawasan timur Indonesia. Untuk tahun ajaran 2022, Unhas menerima sebanyak 6.915 mahasiswa baru, termasuk 4.241 melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan selebihnya melalui seleksi jalur non subsidi, mandiri, prestasi, serta kepemimpinan. Bagi banyak orang di Sulawesi Selatan, Unhas bukan hanya kampus, tapi juga merupakan prestise. Pemuda-pemuda yang berhasil masuk ke Unhas, akan menjadi buah bibir dan disanjung sebagai sosok yang cerdas. 


Alumni Unhas kini mencapai puluhan ribu, dan banyak di antara mereka memiliki nama yang harum. Salah satunya Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung Indonesia yang kematiannya dianggap janggal karena terjadi di tengah upaya membongkar kasus korupsi kakap melibatkan tokoh elit Orde Baru. Lopa adalah alumnus mahasiswa Fakultas Hukum Unhas. 

Raul mengaku tahu sosok Baharuddin Lopa. Dan kegembirannya semakin membuncah, ketika dia tahu berada dalam deretan nama yang berhasil lolos seleksi Unhas, melalui jalur SBMPTN. Kini dia akan menjadi menjadi satu bagian almamater dari sang legenda.

Pada kamis, 18 Agustus 2022, Raul penuh semangat meninggalkan rumahnya sekitar pukul 06.00 WITA. Dia tak ingin telat mengikuti kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). 

Di depan gedung Fakultas Hukum Unhas, dia berkumpul bersama sekitar 200-an mahasiswa baru lainnya. Menggunakan baju putih dan celana hitam, serta dibalut jaket almamater merah. Pengenalan kampus untuk mahasiswa baru fakultas Hukum dilaksanakan bergiliran, sebab total peserta mencapai 485 orang. Kelompok pertama yang hadir tatap muka untuk hari itu mencapai 200 mahasiswa, sisanya mengikuti pengenalan melalui aplikasi zoom.

Meski peserta dibatasi, kampus tetap padat. Di pelataran Gedung Fakultas Hukum pada hari itu, berkerumun para maba. Beberapa terlihat kelelahan mengikuti kegiatan. Sebagian mengaku kegiatan PKKMB cukup membosankan. Selain acara dalam ruangan, di pelataran fakultas Hukum, suara musik berdentum cukup keras. Itu merupakan rangkaian acara PKKMB untuk pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Mahasiswa baru, duduk berselonjor di atas rumput dan mendengar penjelasan senior maupun dosen mengenai kehidupan baru kampus yang mereka jelang. 

Dan pada Kamis yang hangat, di pelataran itulah, bermula rentetan peristiwa yang berdampak besar bagi Raul. Panitia PKKMB meminta para maba berbaris ke pelataran, untuk berjalan menuju ruangan Baharuddin Lopa di lantai dua. 

Saat berjalan bersama itu, Raul merasa gerah dalam kerumunan, kemudian mengeluarkan kipas angin portabel berwarna putih dari dalam tas. Tiba-tiba Muh. Hasrul, yang menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum Bagian Kemahasiswaan, menegurnya. Baginya tak elok seorang mahasiswa laki-laki berjalan di pagi hari menggunakan kipas. Hasrul memintanya tak menggunakan kipas itu lagi. 

Raul menuruti permintaan itu. Namun saat dia kembali ke barisan, Hasrul kembali menegur cara jalannya yang dianggap gemulai seperti perempuan. “Kamu laki-laki atau perempuan,” kata Hasrul, ditirukan Raul. 

“Saya di tengah-tengah pak,” jawab Raul.

“Apa itu? Kita cuma menerima laki-laki dan perempuan di sini, tidak ada itu di tengah-tengah harus ko jadi laki-laki, jangan jadi perempuan.” 

Raul kembali ke barisan. Baginya, teguran itu sudah selesai dan tak akan berlanjut. Meskipun dia merasa kecewa, tapi hanya memendamnya dalam hati. Di dalam aula Baharuddin Lopa, dia duduk bersama teman kelompok yang sudah dibagi oleh panitia penyambutan. Ratusan mahasiswa menunggu dengan tenang, untuk mendengarkan sambutan dan arahan dari dosen. 

Sekitar pukul 07.30, sebelum acara bermula, Hasrul mendapat giliran pidaato. Ternyata dia kembali mencari Raul. Di aula Baharuddin Lopa, kursi berderet bertingkat seperti tempat duduk dalam bioskop. Di depan atau lebih tepat di bagian bawah menjadi panggung utama. “Mana tadi itu laki-laki yang pakai kipas?” kata Hasrul. 

Raul mengangkat tangannya. Hasrul kemudian memintanya turun ke panggung. Ketika berjalan melintasi deret kursi temannya, Hasrul kembali menegur. “Saya kaget sekali dan mulai agak takut,” kata Raul saat berbincang dengan saya, beberapa hari setelah insiden itu viral di medsos. 



Hasrul mengaku tak suka melihat cara Raul berjalan. Baginya perilaku Raul seperti seorang perempuan. Dia meminta mengulangi cara jalan tersebut. “Jadi saya berpura-pura sebisa mungkin jalan seperti yang dia mau. Tapi tidak nyaman.”

Di panggung utama, selain Hasrul, ada pula Sakka Pati, staf dosen Fakultas Hukum. Raul diminta memperkenalkan diri dan menyebutkan tempat tanggal lahir, serta alamat lengkap. Meski Raul keberatan, dengan pengumuman informasi pribadi semacam itu, tapi Hasrul tetap memaksanya. “Waktu saya menjelaskan alamat, pak Hasrul menegur gesture saya. Dan di saat yang bersamaan ibu Sakka Pati menirukan gerak tangan saya.”

Raul mulai tertekan. Dia kemudian mengulang kembali perkenalan itu. Lalu Hasrul kembali menegur gerakan bibir Raul saat berbicara, dan memintanya untuk memperbaiki. Dan saat teguran bibir itu, menggema lah suara tawa dalam ruangan. Hasrul mengancamnya, jika tidak bisa memperbaiki gerak bibirnya, maka dinyatakan tak bisa masuk Fakultas Hukum. 

Hasrul dan Sakka Pati berdiri mengapit Raul. Mereka bertanya dan memandang Raul sambil melipat tangan di dada. Potongan video itu kemudian tersebar dengan cepat di medsos. Rekaman itu diambil oleh mahasiswa yang ikut PKKMB daring melalui aplikasi zoom.

Di video yang viral di medsos, ada pertanyaan yang tak ikut terekam. Raul sebelumnya sudah menjelaskan identitas gendernya yang netral (non-biner). Lalu dua dosen itu menyanggahnya dan menyatakan kalau identitas seperti itu tak ada di fakultas hukum. “Kalau begitu saya yang pertama pak,” kata Raul. 

“Kalau begitu kau juga yang pertama dikasi keluar. Di Undang Undang tidak ada. Status laki-laki dan perempuan, harus ada pilihan. Di KTP mu apa ditulis?” kata Sakka Pati, di bagian inilah yang masuk ke dalam video viral. 

“Di KTP mu apa?,” kata Hasrul, menimpali. 
“Laki-laki,” 
“Di kartu mahasiswa apa?” lanjut Hasrul
“Laki-laki.”
“Terus, kau mau sekali jadi perempuan atau laki-laki.” 
“Tidak keduanya.”
“Ehhhh….”
“Di tengah-tengah pak. Makanya gendernya netral pak.”
“Tidak ada netral, kau ji yang netral sendiri itu.”
“Tidak ada netral,” tambah Sakka Pati
“Karena saya mengidentifikasi diri saya seperti itu pak.”
“Halo halo… halo, panitia ambil ini. Kau ambil tas mu, bawa ke sana. Kita nda terima laki-laki perempuan di sini. Salah satunya diterima.” 

Raul berjalan keluar. Dia lantas duduk bersama panitia PKKMB. Raul sempat menangis dan gemetar. Dia merasa dipermalukan di depan umum. Sekitar 30-an menit, panitia berusaha membujuk dan menguatkan Raul, kemudian diajak kembali masuk ruangan Baharuddin Lopa.

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.jpg
Suasana di halaman Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Foto oleh penulis.

Saat materi pembekalan sedang berlangsung, Raul kembali dibawa ke salah satu ruangan dekat Baruga Baharuddin Lopa. Di dalam ruangan telah berkumpul sekitar 10-an orang. Dua diantara yang dikenalnya adalah Hasrul dan Aswin, dosen lain di fakultas.

Kembali pertanyaan serupa, dari salah seorang yang hadir dalam ruangan, mengenai pilihannya untuk menjadi laki-laki atau perempuan. “Kita tahu, saya tertekan sekali. Nda tau mau bilang apa. Saya mau selesai cepat saja, jadi saya bilang laki-laki.” 

Setelah menjawab laki-laki, Raul kemudian dipersilahkan kembali ke ruangan Baharuddin Lopa. 

Raul tidak menyangka bila pengakuan jujur saat acara kampus terkait identitas gendernya akan memicu debat panjang di medsos mengenai keberagaman gender di Tanah Air, bahkan membuat petinggi kampus turut bersuara. Mengingat perdebatan ini berlangsung cukup panas, memancing komentar dari kelompok konservatif, bahkan beberapa media lokal justru mendiskreditkannya saat memberitakan insiden tersebut, maka nama asli Raul tidak kami tulis untuk melindungi privasinya selama meneruskan kuliah.

Non-biner merupakan salah satu identitas gender yang diakui keberadaannya oleh komunitas psikolog internasional. Identitas ini merujuk pada bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya secara personal, apakah ingin disebut laki-laki, perempuan atau gender lainnya, termasuk gender netral atau lazim dijuluki non-biner. 

Bagi masyarakat awam, identitas gender kerap dikaitkan dengan jenis kelamin biologis. Asumsi ini yang memicu kerancuan pemahaman. Individu non-biner, tidak semua berekspresi feminin, ia bisa saja sangat maskulin atau mungkin lainnya. 

Secara tragis, diskriminasi yang dialami Raul terjadi di Sulawesi Selatan, wilayah yang masyarakatnya mengenal lima jenis gender. Masing-masing, burane untuk laki-laki, makkunrai untuk perempuan, calabai untuk transpuan, calalai untuk transmen, dan bissu untuk perannya dalam sisi spiritual tidak mengindentifikasi diri dari empat gender sebelumnya.  

Raul mengaku sempat kesal atas perlakuan dosen. Dia kemudian meluapkan emosinya di story akun WhatsApp pribadi. Ada 15 pernyataan kekesalan itu, salah satunya adalah potongan video. Dan hari itu menjadi hari yang sangat berat. 

Pukul 16.30 kegiatan PKKMB selesai. Dia pulang menggunakan transportasi online. Dan kemudian menulis jika telah keluar dari neraka. Di rumah, Raul membersihkan badan, kemudian beristirahat. Dan kemudian seseorang telah menangkap layar semua kekesalannya menjadi potongan video dan menyebar dengan cepat. Raul kemudian menghapus semua story-nya, tapi dia tak kuasa membendung kecepatan sebarannya. 

Luapan kekesalan yang awalnya hanya dapat dilihat oleh kontak pertemanan WhatsApp, akhirnya menjadi ranah publik. Unhas bereaksi. Tulisan neraka dan perkataan kasar pada dosen dianggap sebagai pelanggaran Undang Undang. 

Jumat, 19 Agustus 2022, Raul tak ikut PKKMB secara luring, melainkan melalui aplikasi zoom. Dia telat bergabung, ketika materi sudah berlangsung beberapa menit. Tapi seorang mahasiswa baru bilang, jika namanya kembali disebutkan oleh dosen pembawa materi, jika mahasiswa lainnya jangan mengikuti Raul yang tidak memiliki jenis kelamin. 

Raul kemudian menggunggah pesan melalui laman story WAnya. Dia mengakui kesalahannya dan telah menyadari jika menggunakan kata atau julukan yang buruk pada seorang dosen, seharusnya tak dilakukan. Dia pun berharap elemen kampus saling menghargai perbedaan agar tak terjadi lagi diskriminasi. “Aku harap dunia ini dapat menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang,” tulisnya. 

Di hari itu juga, dikeluarkan surat undangan klarifikasi untuk orang tua mahasiswa Raul. Surat itu menegaskan keberatan beredarnya unggahan media sosial yang terindikasi pelanggaran Kode Etik Mahasiswa. Orang tua Raul diminta untuk hadir pada Sabtu 20 Agustus 2022 pukul 10.00 di Fakultas Hukum. Surat itu ditandangani oleh Muh. Hasrul sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Alumni dan Kemitraan. 

Saya meminta penjelasan dan mengirim pesan pada Sakka Pati untuk konfirmasi. Tapi dia hanya menjawab singkat, “Silahkan konfirmasi ke pimpinan FH UH (Fakultas Hukum Unhas).” 

Kepada Hasrul, saya juga meminta kesediannya untuk konfirmasi mengenai permintaan maaf Raul. Dan hanya menjawab, “dia lg minta maaf.” 

Sabtu itu, Raul bersama seorang pendamping, Alitha Karen, menyepakati jika akan melakukan permintaan maaf. Raul akan membuat surat diatas materai Rp10 ribu dan menyatakan penyesalannya. “Apakah dua dosen itu juga akan meminta maaf pada Raul?” kata saya. 

“Jadi mediasi ini, untuk memastikan Raul tetap kuliah. Jika diteruskan memang ada ancaman UU ITE, dan itu ada dalam status Raul yang tersebar. Jadi ini sudah baik dulu,” kata Alitha. 

Senin 22 Agustus 2022, di lantai delapan gedung rektorat Universitas Hasanuddin, Kepala Kantor Sekretariat Rektor, Sawedi Muhammad bersama Humas Unhas, Supratman, menemui wartawan. Sawedi berkali-kali menegaskan jika rektor Unhas meminta maaf pada masyarakat atas tindakan dosen di Fakultas Hukum. “Pak Rekrot sudah meminta maaf. Itu sudah publish di media dan menjadi ranah publik. Itu saja yang dikutip,” katanya. 

“Bahwa ini Unhas inklusif, iya. Bahwa ini Unhas terbuka untuk semua, iya. Tapi tentu, kita juga ya, terbuka peluang untuk ada hal-hal sedikit selip, kita perbaiki, kita minta maaf kalau perlu,” kata Jamaluddin Jompa, Rektor Unhas, sebagaimana dikutip detik.com, pada Minggu 21 Agustus 2022. 

Saya menemui beberapa mahasiswa di Fakultas Hukum. Sebagian besar mengaku tidak mendukung sikap dosen yang mempermalukan mahasiswa yang sekadar mengekspresikan identitas gendernya. Tapi mereka semua tidak berani jika namanya ditulis untuk artikel ini, karena berkaca pada kasus Raul, mereka khawatir bisa mendapat masalah terkait nilai dan pengurusan administrasi kelak selama kuliah.

Rezky Pratiwi, Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas Lembaga Bantuan Hukum Makassar, mengatakan jika kasus Raul akhirnya membalikkan slogan-slogan Unhas yang mencitrakan semangat inklusi. Baginya, perundungan pada ranah privasi seseorang tak bisa dibenarkan, dan itu terjadi di kampus, bahkan oleh dosen. “Bukankah setiap orang berhak atas pendidikan yang sama dan perlindungan dari ancaman ketakutan?” katanya. 

Pratiwi juga menegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2021, pasal 5 menyebut salah satu unsur kekerasan seksual adalah menyatakan ujaran yang dikriminatif terhadap tubuh, dan/atau identitas gender. 

Selain itu, dalam Peraturan Senat Akademik Univeritas Hasanuddin tahun 2016, termuat pasal 11 yang menegaskan, “setiap dosen berkewajiban menjunjung tinggi kesetaraan dan pluralisme serta tidak melakukan diskriminasi berdasarkan kriteria apapun, seperti ras, etnis, agama, golongan, gender, status perkawinan, usia, disabilitas, dan orientsi seksual.” 

Dekan Fakultas Hukum, Hamzah Halim, menilai semua pihak sudah saling memaafkan dan masalah ini berakhir dengan damai. Raul, katanya sudah mengakui kesalahan dan sudah mencium tangan dosennya, begitu pun dosennya juga sudah memberi maaf. Baginya, kisruh yang terjadi itu hanyalah persepsi orang-orang dari luar kampus, karena video yang ditampilkan hanya penggalan saja.

Dalam keterangan pers pada 22 Agustus 2022, Jamaluddin Jompa mengklaim jajaran rektorat telah memberikan sanksi teguran terhadap dua dosen yang sempat mengusir Raul.

Halim mengaku tidak ingin kisruh ini diperpanjang. Dia berharap publik bisa maklum bila dosen yang mempermalukan Raul sekadar diberi sanksi ringan.

“Kalau mau dibawa ngotot-ngototan, ini bisa sampai ke UU ITE. Kasian si mahasiswa ini, tugas kita ini lembaga pendidikan ini untuk mendidik, memperbaiki yang tidak baik. Begitu.”


Eko Rusdianto adalah jurnalis lepas yang bermukim di Makassar. Liputannya yang lain untuk VICE bisa dibaca lewat tautan berikut.

*Identitas terang narasumber tidak ditulis untuk melindungi privasinya