Berita  

Miliarder Seperti Elon Musk Terobsesi dengan Peningkatan Populasi, Ini Alasannya

miliarder-seperti-elon-musk-terobsesi-dengan-peningkatan-populasi,-ini-alasannya

Baru-baru ini, penyiar podcast Joe Rogan mengundang pengusaha Amerika Marc Andreessen berbicara dalam podcast-nya. Mereka mendiskusikan berbagai hal, tetapi ada satu topik yang paling menarik perhatian pendengar. Keduanya menyinggung soal bertambah banyaknya orang yang enggan memiliki keturunan.

“Belakangan ini, ada gerakan yang ngetren di kalangan elit negara kita yang mengatakan, punya anak tidak bagus untuk lingkungan, termasuk jika yang memiliki anak berasal dari kalangan elit,” kata Andreessen, yang langsung dipotong oleh Rogan. Sang penyiar menyebut Elon Musk tidak berpikiran seperti itu. “Betul, Elon telah mengangkat masalah ini dengan cara yang bagus.”


CEO Tesla diam-diam punya anak kembar hasil hubungannya dengan pegawai eksekutif di salah satu perusahaannya sendiri. Saat kabar ini terekspos oleh media, Elon dengan bangga menyebut tindakannya sebagai cambuk untuk meningkatkan populasi. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuk mengatasi krisis populasi. Penurunan angka kelahiran adalah bahaya terbesar bagi peradaban manusia saat ini,” demikian bunyi twit Elon tak lama setelah beritanya terkuak. 

Sudah bukan menjadi rahasia bahwa Elon terobsesi dengan konsep semakin banyak manusia, semakin bagus. Namun, prinsip lelaki yang berusia 51 tahun itu tampaknya agak menyimpang dari nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sementara kebanyakan orang menekankan pentingnya keutuhan keluarga inti, kesembilan orang anak Elon lahir dari ibu yang berbeda. Dia punya lima anak bersama istri pertamanya sebelum bercerai, lalu dua anak bersama penyanyi Kanada Grimes, dan yang terakhir adalah anak kembarnya bersama Shivon Zilis, pegawai eksekutif perusahaan neuroteknologi Neuralink.

Bagi pengusaha kaya raya macam Elon dan Andreessen, pertumbuhan yang besar menjanjikan masa depan yang cerah. Itu sebabnya tidak aneh apabila banyak miliarder mendukung kelompok-kelompok yang memiliki pandangan “longtermism”, alias memaksimalkan kesejahteraan umat manusia hingga jutaan, miliaran dan triliunan tahun ke depan. Menurut filosofi ini, kita perlu melakukan segala cara agar manusia bisa terus berkembang biak.

“Ada sejarah panjang dalam pemikiran budaya elit Barat yang mempertanyakan perlu tidaknya kita punya anak. Eugenika sangat populer di kalangan orang-orang cerdas ratusan tahun silam,” tandas Andreessen. “Hal itu kemudian berubah menjadi apa yang disebut pengendalian populasi. Sebutannya berubah menjadi ‘degrowth’ pada era 70-an, dan sekarang kita mengenalnya sebagai environmentalisme. Sebagai akibatnya, manusia dianggap buruk bagi planet.”

Rogan terdengar kurang sepakat dengan ucapan Andreessen, dan mempertanyakan apakah environmentalisme benar-benar bisa disamakan dengan eugenika. Andreessen berpendapat eugenika dipandang sebelah mata akibat ulah Nazi, tapi sebenarnya telah melahirkan fokus yang berpusat pada pengendalian tingkat populasi.

“Program pengendalian populasi cenderung berorientasi pada negara-negara yang sama dengan yang mengkhawatirkan eugenika. Banyak orang yang mengkhawatirkan eugenika Afrika mendadak khawatir dengan pengendalian populasi di Afrika,” terang Andreessen. “[…] Tapi ini semua mengarah pada satu pertanyaan besar: bagus atau tidak jika jumlah manusia bertambah banyak? Kalau kamu seorang pencinta lingkungan, jawabannya pasti buruk.”

Memang benar eugenika sempat populer sebelum kebangkitan Nazi Jerman, dan elemen-elemen yang terinspirasi darinya muncul kembali di kemudian hari. Amerika Serikat memiliki sejarah panjang dan berperan besar dalam gerakan eugenika global. Negara ini terkenal melakukan sterilisasi paksa pada sepertiga perempuan Puerto Rico sepanjang 1930-an hingga 1970-an. Buku-buku macam Road to Survival karya William Vogt dan Population Bomb karya Paul Ehrlich mungkin berjasa dalam memopulerkan gerakan lingkungan modern, tapi karena ini jugalah gerakan neo-Malthus bisa lahir. Gerakan ini mengusulkan, pertumbuhan populasi manusia (terutama di populasi penduduk miskin dan non-kulit putih) menyebabkan kerusakan lingkungan, serta menjadi alasan masalah kemiskinan sulit dituntaskan.

Segala kekhawatiran yang memicu praktik sterilisasi paksa dan kebangkitan teori Malthus telah terbantahkan, tapi nyatanya masih banyak orang mempertahankan pola pikir ini.

Namun, walau Andreessen mengkritik sudut pandang environmentalis yang terlahir dari eugenika, dia juga masih memercayai mitos yang menghidupkan pola pikir itu. Alih-alih menantang logika eugenika, kekhawatiran yang dimiliki Elon Musk dan Andreessen terhadap angka kelahiran rendah justru semakin menegaskan salah satu subteks inti gagasan tersebut: masalahnya bukanlah siapa yang mendapatkan apa, melainkan seberapa banyak orang yang mendapatkan hal itu.

Para penganut teori eugenika mendukung peningkatan spesies manusia secara selektif melalui kebijakan, begitu juga dengan Andreessen yang percaya pertumbuhan populasi mungkin dapat dipromosikan melalui kebijakan—keduanya mengaburkan fakta bahwa tatanan politik yang mereka harapkan sama sekali tidak mementingkan kesejahteraan manusia. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana caranya menjadikan manusia sebagai alat memperbaiki masa depan.

Pertanyaannya bukan tentang banyaknya jumlah manusia di Bumi. Obsesi miliarder terhadap peningkatan populasi membuat kita bertanya-tanya, siapa saja yang mampu punya banyak anak dan negara mana yang dapat mendukung program banyak anak? Upaya pengurangan populasi akhirnya memaksa kita menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak untuk bereproduksi. Kedua opsi tersebut pada dasarnya bersifat teknoratis dan mengalihkan perhatian kita dari masalah utama, yakni siapa yang mengendalikan kekuasaan, siapa yang menimbun kekayaan, dan siapa yang menentukan mana yang berhak dapat lebih banyak atau sedikit.

Memang tidak ada salahnya planet dihuni banyak orang, tapi pertanyaannya: dunia seperti apa yang ingin diciptakan para miliarder ini? Karena sejauh ini, dunia kita didominasi aset digital spekulatif, privatisasi dan komodifikasi kehidupan sehari-hari, monopoli korporat terhadap sektor luar angkasa dan alokasi sumber daya yang dikuasai para kapitalis macam Andreessen dan Elon Musk.