Berita  

Lomba Mural Kritik Pemerintah Digelar, yang Paling Cepat Dihapus Aparat Jadi Juara

lomba-mural-kritik-pemerintah-digelar,-yang-paling-cepat-dihapus-aparat-jadi-juara

Semangat membara yang diperlihatkan pemerintah dan aparat dalam mencela serta menghapus mural-mural berisi kritik menginspirasi aktivis Gejayan Memanggil. 

Mural, kata Gejayan Memanggil, merupakan “representasi dari perasaan rakyat yang tidak diberitakan bahkan mereka hilangkan karena mereka tidak senang melihat rakyat punya kesadaran”. Inisiatif sosial dan politik yang lahir di Yogyakarta itu pun mengajak para seniman jalanan untuk menjadi peserta lomba mural dengan salah satu kriteria yang cukup unik. 


Berdasarkan pengumuman yang disebarluaskan lewat akun @gejayanmemanggil di Instagram, peserta lomba yang muralnya paling cepat dihapus oleh aparat justru akan ditetapkan sebagai pemenang. Kriteria lainnya adalah karya yang dilombakan harus memperlihatkan keberanian mengkritik, semangat melawan, diapresiasi rakyat, dan tidak mengandung isu seputar Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan (SARA). 

Bagi seniman yang tertantang, Gejayan Memanggil memudahkan keikutsertaan dengan cukup mengunggah foto mural yang selesai dibuat ke Instagram pribadi, lalu jangan lupa mention akun @gejayanmemanggil. Selanjutnya, peserta harus mengonfirmasi lewat pesan ke Direct Message dengan kode “LOMBA DIBUNGKAM”.

Mirip dengan selebgram, Gejayan Memanggil juga menawarkan eksposur sebagai hadiah. Menurut pengumuman, bentuknya adalah di-follow oleh admin Gejayan memanggil selama satu minggu.

Menurut si admin, eksposur itu adalah “bentuk apresiasi yang kami bisa berikan kepada seniman dan tentunya rasa takjub terhadap keberanian kawan-kawan di bawah rezim anjing gila”. Fantastis. Siapa yang tidak tertarik coba?

Kalau itu masih dianggap kurang, pihak penyelenggara memberikan iming-iming hadiah lain yaitu merchandise Gejayan Memanggil (tidak tahu bentuknya apa dan senilai berapa) serta mural yang menang akan dipasarkan. Jika sukses menghasilkan cuan, pembagian hasilnya adalah 50 persen dikantongi sang juara dan sisanya disalurkan untuk Gejayan Memanggil.

“Coret-coretan di tembok adalah cara-cara ketika kebebasan bersuara terbatas dan sekarang coretan itu pun dibatasi,” kata humas lomba yang memakai identitas Mimin Muralis.

Dia membandingkan Indonesia yang membungkam suara rakyat dengan negara-negara di Eropa yang sudah lebih maju secara politik di mana “banyak bertebaran mural-mural yang sifatnya membangun meskipun itu dianggap kritis dan mengancam para politisi”.

Mimin Muralis juga menyayangkan bagaimana para politisi yang sudah ancang-ancang untuk mengikuti Pilpres 2024 “merusak pemandangan” dengan memasang baliho-baliho berukuran besar di berbagai lokasi.

“Padahal itu suara oligarki yang punya uang untuk menyewa papan reklame dan mem-printing spanduk banner yang merusak pemandangan kita secara estetik dan politik,” imbuhnya.

Salah satu kasus penghapusan mural yang viral terjadi di Kota Tangerang, Banten. Mural bergambar muka Presiden Joko Widodo bertuliskan “404:Not Found” di bawah jembatan layang Batu Ceper dicat hitam oleh aparat, karena dianggap menghina simbol negara. Aparat pun bergerak memburu si seniman pembuat mural lantaran dianggap melanggar hukum.

Tindakan polisi dianggap berlebihan, serta dikritik komunitas seniman. Apalagi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto mengatakan presiden bukan simbol negara. Setelah panen kritik, Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Deonijiu De Fatima, mengaku jajarannya tidak lagi menindaklanjuti kasus mural 404, lantaran tak ada unsur pidana.

Selain penghapusan di Tangerang, aparat tercatat menyensor mural dinding bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan, Jawa Timur. Mural lain yang viral, bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di Kabupaten Tangerang, juga dihapus meski aparat tidak menyebut pasal apa yang dilanggar.