Berita  

Konsep ‘Kecanduan Pornografi’ Baru Muncul di Era Internet, Apakah Ini Problem Riil?

konsep-‘kecanduan-pornografi’-baru-muncul-di-era-internet,-apakah-ini-problem-riil?

Artikel ini merupakan nukilan dari buku bertajuk How Sex Changed the Internet and the Internet Changed Sex: an Unexpected History yang ditulis Samantha Cole.


Konsumsi pornografi sudah dianggap merugikan sejak dahulu kala, namun istilah kecanduan bokep baru muncul setelah komputer di rumah kita tersambung internet di akhir era 90-an. Kegemaran nonton film porno mulai diyakini sebagai tanda penyakit yang dapat menghancurkan hidup penderitanya.


Gagasan ini sebagian berawal dari karya ilmiah Dr. Kimberly Young, yang menyurvei tingkat kecanduan internet di Amerika Serikat di awal kemunculannya. Dia kemudian mendirikan Center for Internet Addiction untuk membantu orang-orang yang sulit lepas dari internet.

“Baru kali ini kita punya sesuatu yang tidak ada sensor sama sekali di rumah,” terang Young saat diwawancarai media lebih dari 22 tahun lalu. “Hanya dalam beberapa ketukan kita bisa mendapatkan materi yang kurang menyenangkan—bahkan secara tidak sengaja. Sulit untuk keluar begitu kita terjerumus ke dalamnya.”

Young telah memperhatikan tren yang cukup mengkhawatirkan sejak internet masih berumur jagung. Dia melihat kasus orang tidak bisa berhenti berselancar di dunia maya. Meski fokus risetnya saat itu bukan tentang cybersex, Young beranggapan aktivitas tersebut berperan besar pada kecanduan internet. Dia lalu menyusun kuesioner untuk mencari tahu bagaimana penggunaan internet dapat merusak otak kita. Kuesionernya disebar di Usenet pada November 1994.

Daftar pertanyaan seputar kecanduan internet yang disusun oleh Dr. Kimberly Young.
Daftar pertanyaan seputar kecanduan internet yang disusun oleh Dr. Kimberly Young.

Young menemukan 80 persen dari hampir 500 responden mengalami kecanduan internet jika dilihat dari definisi yang telah ia ciptakan. Dia kemudian mewawancarai sejumlah responden untuk mendengar kisah mereka. Ada yang mengatakan sampai kehilangan pekerjaan, pernikahannya kandas hingga ditinggalkan keluarga gara-gara internet. Dari semua cerita ini, ada satu kesamaan yang mereka miliki: hubungan seksual yang terjalin secara daring.  Para pencandu mengaku seperti mendapat kasih sayang dari orang asing yang mereka kenal di layanan chatting macam Usenet, MUD, atau People Connection AOL. Mereka siap mengorbankan semuanya demi mempertahankan sensasi menyenangkan itu.

Young sendiri punya pengalaman di-ghosting lelaki yang ia kenal lewat grup alt.personals, tepat ketika ia sedang menulis buku Caught in the Net. Dia menyaksikan langsung betapa cepatnya hubungan terjalin di dunia maya. Dia mengutarakan hasrat dan keinginannya dari awal menanggapi biodata lelaki itu. Young langsung berasumsi kenalannya romantis dan tidak memprioritaskan penampilan fisik hanya karena postingannya berkata lelaki itu suka berjalan kaki dan candle light dinner. Rasa suka tumbuh setelah keduanya ngobrol melalui email, atau setidaknya begitulah perasaan Young. “Rasanya seperti bercakap-cakap dengan sebagian dari diriku sendiri,” kenangnya. Pengalaman inilah yang mungkin memengaruhi pandangannya terhadap kecanduan internet.

Isu cybersex mengusik benak para pengguna, bahkan di saat mereka masih membiasakan diri menjelajahi ruang informasi digital. Psikolog Mark Schwartz mengibaratkannya seperti “heroin” pada 2000, lalu menetapkan cybersex sebagai epidemi delapan tahun kemudian. “Hampir setiap minggu saya menerima telepon dari dua orang [yang mengeluhkan kecanduan seks],” tuturnya. Terlepas dari label itu, kecanduan internet maupun pornografi tidak pernah masuk ke dalam daftar diagnosis gangguan kejiwaan DSM-5. Kedua kondisi ini juga menjadi topik kontroversial di kalangan praktisi kesehatan mental. Bagi sejumlah psikolog, menyebut penggunaan internet berlebihan sama buruknya dengan bentuk kecanduan lain, seperti judi dan ketergantungan alkohol, merupakan persamaan yang cacat. Mereka yakin ada masalah kejiwaan lain jika seseorang sampai rela mengorbankan kehidupannya demi internet. Depresi atau gangguan bipolar bisa mendasari permasalahan itu.

Biarpun ada pertentangan, isu kecanduan internet terus digalakkan dan mendorong terbentuknya program-program penyembuhan. “Detoks” atau puasa medsos dipercaya dapat mengurangi ketergantungan orang terhadap gadget. Kekhawatiran soal kecanduan seks dan pornografi semakin menambah kegelisahan. Pakar seks pun mengusulkan solusi untuk mengatasinya.

Beberapa peneliti berteori hiperseksualitas, atau kecanduan seks menurut sejumlah dokter, tidak ada bedanya dari memiliki libido tinggi. Ada juga yang menemukan pencandu seks merasa malu atas tindakan mereka, padahal sebenarnya mereka relatif normal. Sebuah penelitian menunjukkan, label pencandu seks lebih sering disematkan pada komunitas LGBTQIA+, terutama laki-laki gay. Stereotipe ini melanggengkan gagasan seksualitas queer termasuk perilaku abnormal. Menurut ketua peneliti Nicole Prause, temuan ini secara tidak langsung menandakan label kecanduan seks atau pornografi dibentuk oleh masyarakat untuk mengendalikan seksualitas orang, bukan diagnosis resmi dari dokter.

Menariknya di saat internet selalu dikaitkan dengan perilaku buruk, banyak pengguna justru mencari bantuan dan dukungan di dunia maya. Forum diskusi semacam Reddit, misalnya, selalu menjadi tempat tujuan orang-orang yang kebingungan dalam hidup. Mereka bertanya dari hal-hal sepele seperti berkebun hingga masalah percintaan. Tak sedikit pula yang bahu-membahu berjuang melawan masalah mental yang membuat mereka sulit lepas dari pornografi.

Semua ini terbungkus dalam lingkungan internet yang semakin menentang edukasi seks, dan menyusahkan pekerja seks. Konten edukasi seks kerap terkena sasaran moderasi, yang akhirnya membuat postingan itu disembunyikan. Konten sex positive dilabeli berbahaya bagi anak-anak, sementara sekolah dan orang tua gagal mengajari anak tentang cara kerja tubuh mereka serta hubungan seksual yang didasari persetujuan.