Berita  

Kisah Masahisa Fukase: Fotografer Pencinta Kucing yang Terobsesi Jadi Kucing

kisah-masahisa-fukase:-fotografer-pencinta-kucing-yang-terobsesi-jadi-kucing

Sejarah hidup fotografer legendaris Jepang, Masahisa Fukase, penuh teka-teki. Setiap hasil jepretannya selalu bikin kita bertanya-tanya apa maksud dari foto tersebut.

Namun, pada 1992, Masahisa mengalami koma usai terjatuh dari tangga bar langganannya. Ia tak sadarkan diri selama lebih dari dua dekade, yang menyebabkan sebagian besar karya fotonya tidak bisa diakses publik lantaran tersimpan dalam arsip pribadi. Baru setelah kematiannya 10 tahun silam, koleksi Masahisa perlahan-lahan mulai tersingkap, menyuguhkan banyak sekali foto-foto yang jarang diketahui orang yang mengangkat tema keluarga, cinta, persahabatan, kesepian, depresi hingga kematian.


Kebiasaan sang fotografer mengabadikan orang terdekatnya lama-lama membuat mereka risi. Sedikit demi sedikit orang mulai menjauhinya. Tapi untung saja, sahabat kaki empat setia menemani dan selalu mengikuti ke mana pun ia pergi. “Saya rasa selama 40 tahun saya hidup di dunia ini, kucing selalu mengekor seperti bayangan. ‘Seperti bayangan’… Bukankah itu terdengar sangat fotografis?” tulisnya pada 1978.

Tangan menggendong kucing
SASUKE, 1977–89. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE

Dedikasinya dalam memotret kucing dapat dilihat pada pameran The Man Who Became A Cat, yang menampilkan tiga seri foto Masahisa yang terinspirasi oleh kucing — Sasuke (1977–78), A Game (1982) dan Berobero (1991). Seri foto terkonsep ini memetakan afinitas fotografer terhadap kucing dengan cara yang memesona dan menggemaskan. Contohnya seperti pada buku foto Sasuke, yang judulnya terinspirasi oleh nama kucingnya.

Seperti yang ditulis kritikus seni John Berger, binatang menawarkan “persahabatan untuk mengusir rasa kesepian yang menghantui manusia”. Hewan peliharaan memandang kita dengan cara yang berbeda dari manusia. Dalam buku ini, kita bisa merasakan kesedihan dalam hubungan ini — kepercayaan, keajaiban dan identifikasi — hadir dengan mengharukan, terutama dalam foto-foto close up Sasuke. Saking dekatnya objek pada kamera, rasanya seakan kita tergelitik oleh kumis Sasuke. Masahisa sendiri pernah mengakui, dia bisa melihat dirinya terpantul pada mata kucingnya. Bahkan dia sampai menyebut foto-foto kucingnya sebagai “potret diri”. Salah satu foto diambil dari bagian belakang telinga Sasuke, sehingga kita bisa menyaksikan keadaan sekitar dari sudut pandang hewan tersebut. Dalam foto itu, Sasuke sedang berhadapan dengan merpati.

Siluet anak kucing di atas tiang
SASUKE, 1977–89. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE

Yang lebih mengesankan dari buku ini adalah kumpulan foto Sasuke sedang menguap. Sekitar 30 halaman dikhususkan untuknya. “Sasuke suka menguap lebar,” tandas Masahisa. “Pada Oktober, saya memutuskan untuk fokus memotret Sasuke setiap menguap. Berhubung dia cuma menguap setelah bangun tidur, maka saya sengaja menidurkan dan membangunkannya untuk difoto.”

Foto close up muka kucing di belakang pohon
SASUKE, 1977–89. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE

Dalam sebulan, Masahisa mengumpulkan banyak sekali foto Sasuke menguap. Dia amat bangga dengan pencapaiannya ini. “Saya penasaran, ada gak ya fotografer lain yang punya foto kucing menguap sebanyak yang saya miliki.”

Foto close up kucing menguap lebar
SASUKE, 1977–89. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE

Ada kemungkinan Masahisa merasakan sesuatu yang mendalam ketika menyaksikan kucing menjulurkan lidah. Tomo Kosuga, yang mengelola arsip Masahisa Fukase, menyatakan sang fotografer menyadari sensitivitas luar biasa dari organ mulut kucing. “Tidak ada yang tahu pasti apakah kuap Sasuke satu-satunya yang menginspirasi minat Masahisa terhadap kemungkinan fotografi yang berkaitan pada haptic (sensasi sentuhan). Walaupun begitu, tampaknya masuk akal jika kita menduga ini ada hubungannya,” tulisnya dalam kata penutup.

Tangan menarik kumis kucing
SASUKE, 1977–89. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE

Yang tak terbantahkan adalah, bagi Masahisa, memotret sesuatu adalah cara paling mendekati untuk menyentuhnya. Dalam seri Berobero (onomatopoeia yang mengacu pada suara isapan lidah), Masahisa mengajak kurang lebih 70 orang yang ia temui di diskotek bilangan Shinjuku — dari orang terkenal seperti Daidō Moriyama, Ishiuchi Miyako dan Nobuyoshi Araki hingga orang asing — untuk menempelkan lidahnya satu sama lain. Hasil fotonya lalu diberi coretan dan goresan sugestif, yang menunjukkan kedewasaan seniman yang makin menggila. Mengabaikan keahlian teknis, Masahisa ingin mengeksplor ranah yang pelik antara diri sendiri dan orang lain. “Sensasi orang yang melihat dan sensasi orang yang dilihat mirip seperti ujung lidah yang bersentuhan,” tuturnya. “Lidah adalah organ yang sangat sensual.”

Di penghujung kariernya, Masahisa semakin terobsesi memfoto diri sendiri. Tiga bulan sebelum mengalami kecelakaan, dia menggelar pameran Berobero dan dua seri selfie lainnya dari awal 90-an: Bukubuku (foto potret di bathtub yang diambil secara otomatis) dan Private Scenes (foto introspektif fotografer yang menyaksikan keadaan jalanan Tokyo). “Saya menjadi objek dalam semua fotoku, sampai-sampai rasanya seperti saya punya mata di belakang kepala,” katanya pada 1992. “Terkadang saya merasa fotonya lebih bagus tanpa wajahku, tapi saya tidak bisa berhenti memfoto diri sendiri.”

Dengan kecerdasan, ironi, dan rasa melankolis yang mendalam, Masahisa membuktikan fotografi sebagai tindakan cerminan diri yang tak terhindarkan. Tampaknya, apa yang Tomo katakan benar adanya. Di setiap seri fotonya, seperti ada koneksi dengan kecintaannya terhadap kucing dan lidah. Ini bisa dibuktikan dari tulisannya pada 1978: “Saya menghabiskan banyak waktu tidur tengkurap agar tahu rasanya menjadi kucing.”

BEROBERO, 1991. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE
BEROBERO, 1991. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE
BEROBERO, 1991. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE
BEROBERO, 1991. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE
BEROBERO, 1991. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE
BEROBERO, 1991. THE MASAHISA FUKASE ARCHIVE

Semua foto diambil dari arsip Masahisa Fukase