Berita  

Izinkan Pernikahan Beda Agama, PN Surabaya Digugat Orang yang Tak Suka Putusan Itu

izinkan-pernikahan-beda-agama,-pn-surabaya-digugat-orang-yang-tak-suka-putusan-itu

Susah sekali hidup sebagai bucin di Indonesia. Niatnya cuma ingin saling mencintai dalam damai, tetap saja ada yang merasa kepentingannya terganggu. 

Pada 13 April, pasangan beda agama berinisial EDS dan RA mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Pasalnya, pendaftaran pernikahan kedua kekasih itu baru ditolak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Surabaya gara-gara berbeda keyakinan. Pada 26 April, PN Surabaya mengabulkan permohonan dan mengizinkan keduanya menikah. Putusan ini menumbuhkan harapan akan masa depan indah bagi para pasangan beda agama.


Pada 23 Juni, ada empat orang muncul, merasa dirugikan oleh putusan ini. Mereka adalah M. Ali Muchtar, Tabah Ali Susanto, Akmah Khoirul Gufron, dan Shodikun. Keempatnya menggugat putusan dan menjadikan PN Surabaya sebagai tergugat akibat memperbolehkan pernikahan beda agama terjadi. Mereka juga menjadikan Persekutuan Gereja Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Mahkamah Agung RI, Pondok Pesantren Al Anwar Sarang, Pondok Pesantren Al Quran, dan Disdukcapil Surabaya sebagai turut tergugat.

Gugatan ditanggapi santai oleh Humas PN Surabaya Suparno. Siapapun yang merasa dirugikan atas pengesahan pernikahan beda agama, diperbolehkan menggugat.

“Yang merasa dirugikan, silakan ajukan gugatan. Hakim memiliki dasar hukum untuk mengeluarkan penetapan,” ujar Suparno kepada Kompas, Senin (27/6) kemarin. Dalam laporannya, penggugat menyebut tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan meminta pembatalan putusan perkara No. 916/Pdt.P/2022/PN.Sby tentang izin pernikahan beda agama EDS dan RA.

“Kami paham saja kalau ada reaksi semacam itu. Tapi, pertimbangan hakim yang memeriksa itu kan ada acuannya. Selama dalam proses pemeriksaan mengacu pada ketentuan yang mengatur baik UU Perkawinan, UU Adminduk, dari pertimbangan itulah hakim akhirnya menetapkan mengizinkan pemohon untuk mencatatkan perkawinannya,” ujar Wakil Humas PN Surabaya Gede Agung dilansir Liputan6. Menindaklanjuti gugatan, PN Surabaya siap memeriksa legal standing-nya para penggugat dulu, apakah penggugat memang punya kewenangan untuk menggugat, termasuk di antaranya mewakili keluarga atau pasangan yang menikah.

Imam Supriyadi, hakim PN Surabaya yang mengetuk putusan tersebut, beranggapan  bahwa EDS dan RA berhak mempunyai hak untuk menikah sekaligus mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing. Selama ini, praktik yang umum terjadi adalah salah satu pasangan beda agama mengalah untuk pindah keyakinan agar lebih mudah menikah karena diizinkan Disdukcapil.

Reaksi keras dari konservatif langsung mencuat. Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan, selaku pihak yang secara ironisnya jadi tergugat di kasus ini, menyebut keputusan PN Surabaya melanggar UU no. 1/1974 pasal 2 ayat 1. Ia juga mengatakan pernikahan beda agama di negara Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Tuhan Yang Maha Esa.

Penggunaan beleid ini bikin bingung masyarakat karena kedua pasal itu justru dipakai Hakim Imam Supriyadi untuk memperkuat izin EBS dan RA untuk dapat menikah.

Pakar Hukum Tata Negara BIvitri Susanti mengatakan pada BBC Indonesia bahwa perkawinan beda agama dibolehkan untuk dicatatkan di Dukcapil asalkan berdasarkan penetapan pengadilan, seperti yang dilakukan EDS dan RA. 

“Tapi, sebenarnya preseden tentang perkawinan beda agama itu dibolehkan oleh pengadilan itu sudah keluar sejak 1986. Kalau belum ada penetapan pengadilan, biasanya tergantung Dukcapilnya, apakah mereka tangan terbuka —di banyak daerah ada— tapi banyak sekali yang tidak mau menerima kalau belum ada penetapan pengadilannya,” ujar Bivitri kepada BBC Indonesia

Funfact: pada 1986 yang dimaksud Bivitri, pasangan pertama yang berhasil menikah beda agama dan diakui negara melalui mekanisme EDS dan RA adalah aktris Lydia Kandau dengan penyanyi Jamal Mirdad di PN Jakarta Selatan.

Beberapa pemuka agama tegas melarang, para pakar hukum menyebutnya wajar terjadi. Selama Indonesia adalah negara hukum, para pasangan beda agama di Indonesia kayaknya bisa terus memupuk masa depan dengan penuh optimisme. Pada akhirnya, cinta harus selalu menang.