Berita  

Info Warga Papua Terbunuh Operasi Aparat Simpang Siur, Akibat Akses Jurnalis Dibatasi

info-warga-papua-terbunuh-operasi-aparat-simpang-siur,-akibat-akses-jurnalis-dibatasi

Gempuran operasi militer masif mengejar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dilaporkan kembali merenggut nyawa korban sipil. Tiga perempuan, dua di antaranya anak-anak, tewas akibat terjangan peluru pasukan Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi yang menembak dari helikopter, menarget Gereja Kingmi Kabuki di Kabupaten Puncak, Papua, pada Sabtu (15/5) pekan lalu. Korban tewas dilaporkan bernama Neri Murib (12), Rana Tabuni (16), dan Siska Mom (20).

Berita ini pertama kali dipublikasi media lokal Suara Papua, berdasarkan kabar dari informan setempat. “Mereka dibunuh dalam serangan udara dengan helikopter di Ilaga Utara [sebuah distrik/kecamatan di Kabupaten Puncak]. Helikopter menyerbu dan menembak membabi buta di gereja Kingmi Kabuki. Gereja hancur dan tiga perempuan muda itu ditembak mati,” kata seorang warga setempat kepada Suara Papua.


Laporan ini langsung dibantah Kepala Humas Operasi Nemangkawi M. Iqbal Alqudusy. “Tidak benar dan berita hoaks kalau hari Sabtu, tanggal 15, ada masyarakat [sipil] yang meninggal,” kata Iqbal kepada Tempo. Iqbal juga membantah pihaknya melancarkan serangan udara menyasar gereja.

Simpang siur berita pembunuhan di Papua sudah kerap terjadi. Pada Februari 2021, misalnya, tentara menembak tiga orang di Kabupaten Intan Jaya, Papua, bernama Janius Bagau, Soni Bagau, dan Justinus Bagai. Para saksi, termasuk pastur setempat dan Bupati Puncak Jaya Natalis Tabuni, mengatakan ketiganya adalah warga sipil.

Namun, Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III Kolonel I.G.N. Suriastawa bersikukuh  ketiganya adalah separatis bersenjata.

“Kami berharap pihak aparat saat melakukan penyisiran harus bisa membedakan mana KKSB [kelompok kriminal separatis bersenjata] atau TPNPB-OPM dengan masyarakat sipil, biar tidak salah tembak. Kami sangat kesal atas kejadian ketiga orang kemarin. Karena sesuai perintah dan juga sebagai pemerintah, kami sudah mengamankan masyarakat yang menjadi korban penembakan, termasuk masyarakat lain yang mengalami gangguan keamanan di Kampung Mamba,” ujar Natalis saat itu kepada Cendrawasih Pos.

Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta menegaskan perdebatan kebenaran berita sebenarnya bisa diusut dengan pembentukan investigator independen. “Semuanya harus dibuktikan oleh tim independen yang dibentuk, minimal, oleh Komnas HAM. Dalam beberapa kasus pihak aparat membantah [telah menembak warga sipil], namun setelah investigasi tim Independen terbukti pelakunya adalah aparat,” kata Surya kepada VICE.

Contoh kasus yang disebut Surya terjadi pada Oktober lalu, saat Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya menginvestigasi terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani. Kala itu Pendeta Zanambani diduga dibunuh TNI pada pada 19 September 2020 di Kabupaten Intan Jaya. Temuan tim independen yang berisi tokoh agama, akademisi, dan aktivis tersebut menghasilkan dugaan kuat bahwa pelaku pembunuhan adalah personil TNI

Dari kronologi yang disusun tim berdasarkan keterangan saksi, sekitar jam setengah empat sore di hari kejadian, dua anggota TNI, salah satunya bernama Alpius, menuju kandang babi setelah mendapat informasi bahwa Pendeta Yeremia berada di sana.

“Langsung ada perintah, ‘Angkat tangan!’ dan dijawab sambil angkat tangan oleh Pendeta [Yeremia], mengatakan bahwa, ‘Saya adalah Hamba Tuhan’,” tutur Ketua Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya Haris Azhar, dilansir Detik. Kedua anggota tersebut diduga kuat melakukan dua tembakan, satu ke tangan kiri dan satu ke dinding. Pendeta yang jatuh kemudian ditusuk dengan pisau tajam pada bagian belakang badan. 

Meriam Zoani, ibu Pendeta Yeremia, baru menemukan anaknya bersimbah darah di kandang babi pada jam enam petang, sembari bertanya siapa yang melakukan ini. “Pendeta menjawab, ‘Orang yang kita kasih makan yang tembak dan tikam’,” kata Haris. Sebelumnya, tim investigasi telah mengetahui bahwa Alpius sudah dianggap Meriam sebagai anggota keluarga sendiri, kerap makan bersama di rumah Meriam.

Surya Anta menambahkan, penambahan personil militer beserta operasinya akan memakan semakin banyak korban sipil, sebagaimana operasi militer di Nduga setelah penyerangan pada pekerja jalan Trans-Papua oleh kelompok Egianus Kogoya. Menurutnya, senjata lawan senjata hanya melanggengkan lingkaran kekerasan dan memperumit masalah. 

“Sudah saatnya kita menyebut bahwa status Papua sedang berada dalam konflik bersenjata. Penyebutan ini penting agar kedua belah pihak, baik TNI/Polri dan TPNPB, yang tengah berperang tidak menyasar warga sipil. Serta, ada kejelasan pemantauan oleh dunia internasional atas situasi yang tengah terjadi di Papua. Sehingga, setiap yang melakukan pelanggaran atas prinsip hukum humaniter ini akan dapat dibawa ke meja hijau sebagai penjahat perang,” tambah Surya.

Ia berharap akan muncul tekanan bersama publik agar pemantau dan jurnalis independen bisa leluasa masuk Papua.

Kenyataannya, sampai saat ini akses jurnalis untuk meliput Papua masih dipersulit pemerintah. Awal bulan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kembali menagih janji Presiden Joko Widodo untuk memberi kebebasan peliputan bagi jurnalis di Papua.

“Tapi faktanya hingga saat ini janji tersebut tidak pernah ditunaikan oleh Presiden Jokowi. Makanya kami selalu menyuarakan agar Presiden membuka akses jurnalis asing untuk meliput di Papua. Termasuk jurnalis nasional dan jurnalis asli Papua,” kata Ketua Divisi Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung, dilansir Kompas.

AJI mencatat setidaknya ada 77 kasus penutupan akses, 74 kasus keharusan permintaan izin liputan, dan 56 kasus penolakan izin ke Papua untuk jurnalis sepanjang 2012-2015. AJI juga mencatat ada 114 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua selama 2000-021, sebanyak 36 di antaranya dialami jurnalis asli Papua dan 40 kasus dialami jurnalis bukan asli Papua. Kasus teror perusakan mobil yang dialami pemimpin umum media lokal Jubi sekaligus jurnalis senior Victor Mambor jadi salah satunya.

Akses yang sulit juga berlaku untuk jurnalis asing. Pada 2019, Kantor Imigrasi Kanwil Kemenkumham Papua sempat menegaskan larangan masuk bagi jurnalis asing ke Papua apabila tidak mengantongi izin Kementerian Dalam Negeri bernama clear house. “Setelah [jurnalis] memiliki [dokumen] clear house barulah diterbitkan visa bagi jurnalis asing. Kalau belum ada CH maka belum bisa diterbitkan visanya,” ujar Kepala Divisi Imigrasi Kanwil KemenkumHAM Papua Hermansyah Siregar dilansir Jubi.

Kalaupun sudah dapat izin, gerak-gerik para jurnalis juga akan diawasi. “Artinya, kalau sudah dipandang kondusif [dapat izin Kemendagri], baru bisa masuk ke Papua. Kami tidak mempermasalahkan saat para jurnalis asing datang dan melakukan peliputan, namun kami melakukan pengawasan kepada para jurnalis yang melakukan peliputan yang berpotensi membuat berita provokatif,” tambah Hermansyah.

Melihat situasi Papua sekarang, kayaknya bakal lama nunggu akses jurnalis dipermudah. Sebagai tips backup ketika ada berita simpang siur, Koordinator Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menyarankan untuk kroscek ke lembaga setempat yang cenderung independen.

“Ya, harus di-cross check dengan gereja, LBH Jayapura, Sekretaris Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Aliansi Demokrasi untuk Papua, Komnas HAM perwakilan Papua, dan lain-lain,” terang Cahyo kepada VICE.

Opsi lainnya, menurut Cahyo, adalah lewat jurnalisme warga berupa laporan langsung dari masyarakat sipil di lokasi, disertai foto dan kronologi. Dari pantauan kami, cara ini udah dipraktikkan pengacara Veronica Koman lewat Twitternya. Hasilnya, selain menjadi supplier info konflik Papua buat warganet, Vero juga dijadikan tersangka pelanggar UU ITE oleh Polda Jawa Timur sejak 4 Agustus 2019, atas tuduhan memprovokasi.