Berita  

Dua Korban Diautopsi, Babak Baru Pencarian Keadilan Atas Tragedi Kanjuruhan

Di tengah teriknya udara Malang, Sabtu (5/11) siang itu, lelaki paruh baya dengan kepala tertutup kupluk hitam terduduk lemas menyaksikan makam putrinya dibongkar. Di sekelilingnya, petugas polisi tampak berjaga mengamankan situasi di Tempat Pemakaman Umum Dusun Pathuk, Desa Sukolilo, yang ramai pengunjung.

Usai menenangkan diri, ia memandangi para wartawan dengan tatapan tegas, lalu mengatakan: “Hari ini, saya akan membuktikan ini pembunuhan.”


Pembunuhan yang dimaksud Devi Athok, 48 tahun, adalah tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 korban jiwa pada 1 Oktober 2022. Hari itu, ia ditemani Aremania menyaksikan proses autopsi jenazah kedua anaknya, berusia 13 dan 16, yang tewas diduga akibat keracunan gas air mata. Devi berharap keluarga para korban bisa menemukan titik terang lewat keputusannya melanjutkan autopsi, meski ia mengaku kerap menerima intimidasi dari pihak berwajib.

Devi Athok menangis histeris saat makam kedua putrinya dibongkar untuk keperluan autopsi.
Devi Athok menangis histeris saat makam kedua putrinya dibongkar untuk keperluan autopsi.

“Saya sudah mengikhlaskan anak saya sebagai contoh untuk mengambil kebenaran… agar terungkap,” kata Devi saat diwawancarai VICE World News.

Namun, kepentingan hari itu dilaksanakan secara tertutup. Hanya tim forensik dan medis yang diizinkan menyaksikan jalannya pembongkaran makam. Pihak keluarga dilarang masuk, jadi mereka cuma bisa menunggu di luar. Proses autopsi berlangsung selama tujuh jam di balik tenda biru. Hasilnya dijadwalkan keluar dua bulan lagi. Pengacara Devi, Imam Hidayat, mengutarakan harapannya agar hasil pemeriksaan disampaikan “sejujur-jujurnya” dan secara “transparan”.

“Saya sudah mengikhlaskan anak saya sebagai contoh untuk mengambil kebenaran… agar terungkap.”

Mabes Polri mengklaim gas air mata yang digunakan untuk membubarkan suporter yang turun ke lapangan tidak berbahaya karena sudah kedaluwarsa. “Jadi kalau sudah expired justru kadarnya dia berkurang zat kimia, kemudian kemampuannya juga akan menurun,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dilansir Tempo pada 10 Oktober lalu. Polri lebih lanjut bersikukuh korban tewas karena kekurangan oksigen dan terinjak-injak.

Petugas polisi mengamankan proses autopsi dua korban tragedi Kanjuruhan di TPU Dusun Pathuk, Malang, pada 5 November 2022.
Petugas polisi mengamankan proses autopsi dua korban tragedi Kanjuruhan di TPU Dusun Pathuk, Malang, pada 5 November 2022.

Amnesty International telah menunjukkan pada 2019, gas air mata yang telah kedaluwarsa jauh lebih mematikan, sehingga harus segera dirusak pada lingkungan yang terkendali. Selain itu, FIFA telah melarang penggunaan gas air mata di stadion, yang artinya pihak berwajib telah melakukan pelanggaran.

Devi berulang kali membantah narasi polisi yang menyebut kekurangan oksigen dan terinjak-injak sebagai penyebab pasti ratusan nyawa melayang. “Opini-opini yang muncul karena kehabisan oksigen, [dan] terinjak-injak itu tidak benar,” Devi menegaskan. “Anak saya [meninggal] murni karena gas air mata. Itu racun. Matanya keluar darah, [dan mulutnya] berbusa.”

Dunia sepakbola dalam negeri terkenal akan perselisihan antar suporter yang sengit. Tak jarang aparat turun tangan dan mengambil jalur kekerasan ketika pertandingan berakhir ricuh karena suporter tidak terima klub jagoannya kalah. Bentrokan suporter dan polisi telah menyebabkan 78 kematian selama 28 tahun terakhir. Akan tetapi, menurut pengakuan seorang Aremania yang ikut mengawal proses autopsi, pendukung Arema turun ke lapangan setelah pertandingan selesai dan para pemain Persebaya sudah pergi. Ditambah lagi, tak ada satu pun suporter lawan yang datang untuk menonton pertandingan. “Kenapa tiba-tiba bisa seagresif itu aparat terhadap kita?” tanya Dadang Hermawan, Aremania yang tergabung dalam tim pencari fakta independen untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan.

“Karena itu juga kita menuntut ini bukan hanya sebuah kelalaian. Kita tegaskan ini sebuah pembunuhan,” tandasnya. 

Pihak keluarga dilarang menyaksikan proses autopsi jenazah dua gadis remaja yang merupakan korban tragedi Kanjuruhan.
Pihak keluarga dilarang menyaksikan proses autopsi jenazah dua gadis remaja yang merupakan korban tragedi Kanjuruhan.

Sikap aparat menangani suporter di stadion, serta upaya mereka cuci tangan dalam tragedi ini, semakin menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap polisi. Publik menilai aksi polisi berlutut meminta maaf hanyalah “gimmick” belaka.

“Kami sudah tidak percaya polisi,” penyintas bernama Tohan, 25 tahun, memberi tahu VICE World News. “Belum ada kejelasan, padahal sudah sebulan lebih. Kenapa [penyelidikannya] lama sekali?” 

Poster bertuliskan “Executioner = Tersangka” terpasang di area pemakaman.
Poster bertuliskan “Executioner = Tersangka” terpasang di area pemakaman.

Shafira Noor Adlina, penyelidik dari Federasi KontraS, menyebut autopsi sangat diperlukan karena polisi terlalu lamban dalam menyelidiki kasus. “Kemarahan masih begitu terasa di Malang. Di mana-mana terpasang spanduk yang menuntut agar tragedi Kanjuruhan diusut tuntas,” tuturnya. “Ini bukan kejahatan yang terjadi sekali dua kali. Tragedi ini menjadi pelanggaran HAM terbaru di Indonesia.” 

Polisi berdiri di sebelah spanduk bertuliskan
Polisi berdiri di sebelah spanduk bertuliskan “Kenapa kamu tembakkan kepada kami”

Polri berjanji bulan lalu, akan membiayai pengobatan para penyintas hingga mereka pulih. Hanya saja penyintas berkata lain. Sebagian besar biaya pengobatan mereka berasal dari uang sumbangan penggemar sepakbola.

“Ini bukan kejahatan yang terjadi sekali dua kali. Tragedi ini menjadi pelanggaran HAM terbaru di Indonesia.” 

Penyintas Dewi Trisnavati, 27 tahun, mengatakan, dia sama sekali belum menerima dana bantuan dari polisi. Dia harus menjalani perawatan karena menderita radang paru-paru dan skapulanya terkilir. Menurutnya, biaya pengobatan awal ditanggung sendiri, sedangkan pengobatan selanjutnya dibantu suporter. Saat dihubungi oleh VICE World News melalui panggilan video, dia menjawab pertanyaan kami sambil berbaring di tempat tidur. Kondisi kesehatan memaksanya bed rest total.

Aktivis mengungkapkan banyak penyintas seperti Dewi yang masih menjalani masa pemulihan akibat menghirup gas air mata. Kepada VICE World News, bocah 14 tahun bernama Rafi mengirim foto matanya yang merah darah karena tabung gas air mata meledak di atas kepalanya. Rafi berujar, matanya sekarang masih sakit.

Banyak kejanggalan yang muncul selama proses pengajuan autopsi. Pihak keluarga yang tadinya mengajukan autopsi, tiba-tiba membatalkan permohonan mereka. Setidaknya ada 10 jenazah korban yang gagal diekshumasi. Keluarga korban tidak mengungkapkan alasan mereka, tapi ada kecurigaan mereka menerima intimidasi seperti yang dialami Devi.

“Waktu itu tanggal 10 [Oktober], saya mengajukan autopsi pukul 10 malam […] gak tahunya tanggal 11 sudah ada yang menelepon dari pihak kepolisian bahwa saya kok berani mengajukan autopsi,” kenang Devi. “Kakak saya sampai trauma, ibu saya… takut kalau ada orang asing datang ke rumah … [karena pihak kepolisian] datang ke rumah dua kali.”

Untung saja, keluarga Devi mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka telah ditempatkan di rumah aman. “Nanti kalau diperlukan bantuan lain, tentu saja LPSK akan melakukan assessment seberapa perlu [perlindungannya] diberikan,” terang ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

FotoJet (33).jpg
Dua anggota keluarga korban, Jumaya (kiri) dan Wiavono (Kanan), memperlihatkan foto saudara-saudaranya yang tewas dalam tragedi Kanjuruhan.

Hasto menambahkan, LPSK akan berupaya memberikan perlindungan apabila ada keluarga korban lain yang ingin mengajukan autopsi. Saat ditanya benar tidaknya ada intimidasi dari polisi, ia mengungkapkan pihaknya belum menemukan bukti tentang itu.

Sama sekali tidak mengejutkan jika benar polisi berusaha menghalangi dilakukannya autopsi. Dilansir Tempo pekan lalu, Akmal Marhali dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan mengatakan: “Kalau sampai hasil autopsi menyatakan korban meninggal karena racun di gas air mata, ini akan bisa dikembangkan dan tersangka bisa lebih banyak.”

Wiavono, 52 tahun, juga kehilangan putrinya dalam tragedi Kanjuruhan. Dia menghadiri proses autopsi sebagai dukungan untuk Devi, dan menyatakan kesiapannya melakukan hal serupa jika itu bisa memberi keadilan untuk mendiang putrinya.

“Saya akan mengautopsi jenazah anak saya kalau memang itu bisa mempercepat prosesnya,” tandas Wiavono.

Follow Pallavi Pundir di Twitter.