Berita  

Dua Anggota TNI AU Injak Kepala Orang Asli Papua, Pemerintah Akui Pelanggaran Protap

dua-anggota-tni-au-injak-kepala-orang-asli-papua,-pemerintah-akui-pelanggaran-protap

Kekerasan aparat kepada warga sipil di Papua kembali jadi sorotan. Dua polisi militer dari TNI AU kedapatan menyiksa orang asli Papua di pinggir jalan dengan cara biadabnya: mereka menginjak kepala korban dengan kaki, juga mengunci leher korban dengan dengkul, persis seperti yang terjadi kepada George Floyd di Amerika Serikat. Penyiksaan terjadi di warung bubur ayam Merauke Ngapak, Kecamatan Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Senin (26/7) sore waktu setempat.

Dalam kejadian yang terekam video tersebut, korban yang difabel bisu bernama Steven tampak bersitegang dengan seorang lelaki saat mendatangi warung. Tak lama kemudian datang Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto yang turut campur tangan. Keduanya bertanya mengapa Steven bikin ribut, lalu menuduh korban sedang mabuk. Korban kemudian diseret keluar dan dijatuhkan ke tanah, berakhir di posisi mirip Floyd.


Video ini tersebar di media sosial setelah Victor Mambor, pemimpin umum media Papua Jubi, mengunggah video tersebut pada Selasa (27/7) kemarin. Kejadian ini memicu ulang kecaman kepada TNI yang berulang kali menggunakan pendekatan kekerasan di Papua.

Setelah unggahan tersebut ramai, semua twit akun Mambor tak bisa diakses, sampai tulisan ini ditayangkan. Namun, video tersebut sudah diunggah ulang berkali-kali, salah satunya oleh pengacara HAM Veronica Koman seperti bisa dilihat di tautan ini. Peringatan: kekerasan dalam video tersebut bisa membangkitkan trauma.

Begitu kejadian ini tersebar luas, frasa “TNI AU” menjadi trending topic hingga siang ini (28/7). Seruan #PapuanLivesMatters juga ikut didengungkan kembali.

Melihat amarah publik, pimpinan TNI langsung bersikap. Komandan Lanud Merauke Herdy Arief Budiyanto telah mendatangi Steven di kediamannya untuk meminta maaf kepadanya dan keluarga besarnya. Ia juga menghelat konferensi pers pernyataan maaf kepada publik serta berjanji akan menindak tegas pelaku.

“Betul, aksi itu dilakukan kedua anggota saya, itu sangat disesalkan. Mereka melakukan tindakan berlebihan. Sekali lagi saya menyampaikan permohonan maaf,” ujar Herdy pada keterangan pers, dilansir Jubi. “Kami juga bertanggung jawab terhadap cedera yang dialami Steven serta kerugian lain.”

Akun Twitter resmi TNI AU juga meminta maaf kepada publik yang diakhiri dengan pernyataan langsung Kepala Staf AU Marsekal Fadjar Prasetyo.

“Saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada seluruh saudara kita di Papua, khususnya warga di Merauke, terkhusus lagi kepada korban dan keluarganya. Kami akan mengevaluasi seluruh anggota kami dan juga akan menindak secara tegas terhadap pelaku yang berbuat kesalahan. Sekali lagi, saya memohon maaf yang setinggi-tingginya, mohon dibuka pintu maaf,” ujar Fadjar.

Pemerintah pusat juga merespons. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko meminta aparat memiliki perspektif hak asasi manusia dalam bertugas. Moeldoko mengakui, dari video yang beredar, dua anggota TNI AU itu melakukan kekerasan di luar prosedur standar.

“Atas terjadinya peristiwa tersebut, KSP menyampaikan penyesalan mendalam dan mengecam tindak kekerasan tersebut,” kata Moeldoko dalam keterangan tertulis, dilansir CNN Indonesia. “KSP akan memastikan bahwa pelaku diproses secara hukum yang transparan dan akuntabel serta memastikan korban mendapat perlindungan serta pemulihan.”

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem mengatakan kekerasan yang dilakukan aparat tidak manusiawi dan sangat menyakiti keluarga korban dan warga Papua. “Kejadian tersebut merupakan tindakan tidak terdidik dan tidak profesional,” kata Theo dilansir Kompas. Theo mendesak kedua pelaku diproses hukum di pengadilan militer Papua, bukan diadili dengan dimutasi ke luar Papua. Theo juga menuntut pemecatan tidak hormat kepada keduanya.

Ketua Komnas HAM Papua Frits Ramandey turut meminta kasus ini disidang terbuka. “Kasus ini harus diproses hukum bagi oknum anggota TNI dan berjalan terbuka demi penghormatan HAM,” kata Frits kepada Tempo. Sementara, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung menyebut pihaknya sudah berkoordinasi dengan Panglima TNI agar pelaku ditindak tegas.

“Panglima TNI merespons positif dan berkomitmen untuk bertindak tegas. Kami akan terus memantau perkembangan penanganan kasus ini dan meminta supaya prosesnya dilakukan secara transparan,” kata Beka kepada Suara.

Cara aparat meringkus orang Papua dengan cara menginjak kepala mengingatkan kembali pada peristiwa pada 2016 yang dialami Obby Kogoya, mahasiswa Papua di Yogyakarta yang saat itu berusia 22 tahun. pada 15 Juli 2016, polisi setempat menggerebek asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta ketika aksi penentuan hak nasib sendiri sedang berlangsung. Penggerebekan itu memicu bentrok. Obby tertangkap kamera diringkus dengan cara diinjak kepalanya serta ditarik mulut dan hidungnya.

Kasus ini menimbulkan kemarahan bukan saja karena foto Obby beredar luas, juga karena usai kejadian Obby didakwa melawan petugas dan divonis 4 bulan penjara oleh PN Yogyakarta, setahun kemudian.

Tanggal yang sama lima tahun kemudian (15 Juli 2021) diusulkan pemerintah sebagai momen pengesahan revisi UU Otonomi Khusus Papua. UU 2/2021 itu akhirnya diundangkan Presiden Jokowi pada 19 Juli 2021. Salah satu isinya, menaikkan dana otonomi khusus Papua dari 2 persen menjadi 2,25 persen.