Berita  

Dalam RUU KUHP Terbaru, Suami yang Memperkosa Istri Bisa Dipenjara 12 Tahun

dalam-ruu-kuhp-terbaru,-suami-yang-memperkosa-istri-bisa-dipenjara-12-tahun

Proses revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu aspek yang disorot banyak pihak adalah Pasal 479 yang bakal memperluas definisi pemerkosaan.

Berdasarkan draf RUU KUHP yang beredar luas sejak pertengahan Juni 2021, bila kelak disahkan, negara bakal mengatur bahwa seorang laki-laki (yang secara statistik lebih memungkinkan menjadi pelaku pemerkosaan) dilarang memaksakan hubungan seksual kepada istrinya. Saat pemaksaan terjadi, dan istri melapor ke aparat hukum, perbuatan ini dapat berujung pada kurungan pidana paling lama 12 tahun.


Pasal itu dinilai harmonis dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang mengatur larangan melakukan kekerasan seksual terhadap pasangan. Adapun UU nomor 23 belum secara eksplisit menyebut pemerkosaan oleh suami terhadap istri atau marital rape.

Selama ini, masyarakat Indonesia secara umum melihat pemerkosaan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang mustahil. Ini lantaran kepercayaan bahwa hubungan perkawinan secara otomatis menimbulkan persetujuan tidak terbatas oleh istri terkait hubungan seksual. Ada juga tafsir agama yang meyakini kewajiban istri adalah melayani suami sehingga tidak mungkin seorang perempuan mengajukan keberatan.

Tetapi, pandangan keliru mengenai konsen dalam pernikahan itu kontras dengan realita yang diungkap oleh Komnas Perempuan. Menurut Catatan Tahunan 2021 yang dilansir lembaga tersebut, ada 100 laporan pemerkosaan terhadap istri sepanjang tahun 2020. Setahun sebelumnya, jumlahnya malah lebih tinggi yaitu sebanyak 192 kasus.

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini melihat banyaknya laporan marital rape itu menunjukkan perempuan sudah mulai memahami bahwa mereka bisa menolak segala bentuk kekerasan seksual dalam rumah tangga dan menempuh jalur hukum.

“Perhatian dan keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum,” tuturnya.

Hanya saja, Komnas Perempuan belum bisa menyatakan setuju atau tidak dengan isi Pasal 497 karena masih dalam pembahasan. “Kalau soal itu, KP belum dapat memberikan komentar karena saat ini RKUHP sedang dalam proses pembahasan sehingga sebaiknya kita menunggu prosesnya dulu, ya. Kami belum mendapat informasi untuk draf RKUHP,” tegasnya.

Pemerkosaan dalam rumah tangga sendiri bukan fenomena unik yang terjadi hanya di Indonesia. Seorang perempuan Amerika Serikat bernama Mandy Boardman pernah membeberkan bagaimana dirinya jadi korban perbuatan tidak beradab itu saat masih menjalani pernikahan dengan suaminya.

Setelah tujuh tahun menikah, Mandy mengaku mulai sering mengalami peristiwa aneh ketika masih terlelap. Beberapa kali dia bangun dengan merasakan sensasi menelan pil pahit di mulutnya. Pada kesempatan lain, baju yang melekat pada tubuhnya sudah lepas tanpa dia tahu bagaimana.

Rupanya, suami Mandy mencekokinya dengan obat-obatan selama tidur. Suatu hari dia menemukan tiga video yang memperlihatkan suaminya memperkosanya saat dia tidak sadar. “Saya sangat merasa jijik, bingung dan takut,” kata Mandy. “Saya selalu tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi tidak pernah memegang bukti sampai sekarang.” 

Keduanya bercerai dan Mandy melaporkan perbuatan mantan suaminya kepada polisi. Awalnya, hakim hanya menjatuhkan vonis tahanan rumah. Tetapi, usai dia melakukan pelanggaran, pengadilan memutuskan dia harus dikurung di penjara. 

“Beberapa orang heran, ya cukup bisa dimengerti, bagaimana bisa seorang laki-laki memperkosa istrinya. Cerita saya menjelaskan bagaimana. Tidak peduli status pernikahan Anda dengan pemerkosa Anda, jika tidak ada persetujuan, maka itu pemerkosaan. Jika seseorang didakwa melakukan pemerkosaan, dia harus mendapatkan ganjaran yang sepadan,” tegas Mandy.

Badan PBB yang mengurusi urusan perempuan, UN Women, sudah berulang kali menyuarakan kampanye global mengakhiri pemerkosaan dalam kehidupan rumah tangga. Sebab beberapa tahun terakhir, rumah yang semestinya sebagai tempat berlindung justru berubah menjadi zona paling berbahaya bagi perempuan. 

Padahal, perempuan-perempuan yang menjadi korban marital rape tak hanya terluka secara fisik, tetapi juga psikis. Mereka merasakan trauma berhubungan seksual, menurunnya tingkat percaya diri, hingga depresi berkepanjangan.

Per 2019 lalu, hanya ada empat dari 10 negara yang menyatakan marital rape sebagai tindak kejahatan yang bisa dikenai pasal pidana. Aktivis hak perempuan Mesir yang menjadi salah satu panelis UN Women, Marwa Sharafeldin, menegaskan apa yang sudah jadi pengetahuan umum selama ini yaitu bahwa pemerkosaan dalam perkawinan jarang dianggap isu mendesak di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.