Berita  

Bertanya pada Pakar: Kenapa Wapres Ma’ruf Amin Sering Dianggap Gabut?

bertanya-pada-pakar:-kenapa-wapres-ma’ruf-amin-sering-dianggap-gabut?

Sudah satu setengah tahun menjabat sebagai wakil presiden, job desc Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dalam pemerintahan saat ini kerap jadi perdebatan, jika tak mau menyebut perundungan, publik. Ma’ruf memang rutin melaporkan kegiatannya di media sosial seperti Twitter, khususnya terkait pertemuan dan kunjungan resmi. Namun, penilaian rakyat masih didominasi ketidakpuasan.

Sentimen ini, misalnya, tecermin dari Survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang mencatat kepuasan publik terhadap kinerja wapres cukup rendah. Dalam laporan hasil survei pada Sabtu (10/4) kemarin. Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah merilis hasil jajak pendapat, yang menyimpulkan Ma’ruf hanya memperoleh 36 persen kepuasan publik. Hasil itu di bawah Presiden Jokowi, dalam survei yang sama memperoleh tingkat kepuasan 56 persen.


Menanggapi survei itu, Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi mengeluarkan pernyataan bikin dahi mengernyit. Ia menganalogikan bosnya sendiri sebagai ban serep yang “kadang tidak dipakai”. Jadi kadang Kiai Ma’ruf beneran gabut gitu?

“Saya kira kalau [hasil] surveinya justru [menempatkan] wapres yang di atas Pak Jokowi, malah bingung kita. Jadi, kalau wapres di bawah presiden itu ya biasa. Namanya ban serep itu di mana-mana ya kadang-kadang dipakai, kadang-kadang tidak dipakai. Namanya ban serep kan,” ujar Masduki seperti dilansir Detik.

Masduki menambahkan, di lapangan, Wapres sudah berbagi tugas dengan Presiden kok. Misalnya, saat Jokowi ke Kalimantan Tengah meresmikan bandara, Ma’ruf kebagian tugas berkunjung ke Sumatera Barat meresmikan pasar rakyat dan penghijauan pantai.

Survei IPO enggak jauh beda dengan hasil survei Indo Barometer 2020, yang menandakan stigma wapres seakan tidak bekerja terlanjur bercokol di benak masyarakat. Tahun lalu survei Indo Barometer menunjukkan sebanyak 47,4 persen responden tidak puas dengan kinerja wapres. Lebih bijak, saat itu Masduki membela Ma’ruf dengan membandingkan angka tersebut beda tipis lah sama Jusuf Kalla di survei serupa pada 2015 (yakni 42,1 persen). Masduki lantas menggarisbawahi bahwa lima tahun lalu tidak ada pandemi Covid-19 seperti kita alami sekarang.

“KMA [Kiai Ma’ruf Amin] memang mengambil posisi tidak ingin ada matahari kembar. KMA membuat kiasan dengan main badminton dobel. Satu ke depan, satu ke belakang. Satu ke kanan, satu di tengah atau kiri,” kata Masduki kepada Kompas. Jubir satu ini sepertinya punya passion berlebih soal analogi.

Stigma tidak ngapain-ngapainnya wapres kita bahkan udah diakusisi kebudayaan pop. Berbagai lelucon publik soal kinerja Ma’ruf Amin wara-wiri dalam bentuk meme. Ini salah satu contohnya.

Rupanya persepsi negatif pada wapres mulai dianggap sensitif oleh pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informatika misalnya, sampai bikin pernyataan bahwa meme di atas sebagai disinformasi. Bayangin, negara mana sih yang memperlakukan meme seserius ini?

VICE kemudian bertanya pada ilmuwan politik sekaligus peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Made Supriatma terkait anggapan negatif pada Ma’ruf Amin. Made mengamini persepsi kegabutan wapres dalam kabinet ini tidak terelakkan.

“[Ma’ruf] tidak terlihat memegang portofolio apa pun, sekalipun sebenarnya memiliki tugas seperti pemberantasan kemiskinan. Dia tidak seperti Jusuf Kalla, misalnya, yang bisa ambil inisiatif kebijakan dan masih memiliki koneksi ke pemain kekuasaan di Indonesia. Pengaruh Ma’ruf hanya terbatas di NU saja,” kata Made kepada VICE. 

“Tugas Ma’ruf dulu adalah memenangkan pilpres, itu saja. Sesudah itu selesai. Tentu dia punya sedikit hak juga untuk mempekerjakan orang-orangnya. Namun, tugasnya sekarang ini kurang lebih sebagai rubber stamp [tukang stempel] saja.”

Made sepakat dengan Masduki bahwa pandemi turut memengaruhi kinerja wapres. Bagaimanapun, Ma’ruf Amin termasuk kelompok berisiko tinggi. Urusan kesehatan menjadi bagian terpenting mengapa Ma’ruf tidak menonjol di depan publik. “Dia [Ma’ruf] punya banyak keterbatasan mulai dari usia, risiko, sampai nirpengalaman birokrasi dan pembuatan kebijakan. Saya kira Luhut Panjaitan punya kuasa yang jauh lebih besar dibanding K.H. Amin [dalam hal kebijakan].”

Oke, katakanlah tugas besar Ma’ruf Amin emang kelar usai pemilu. Tapi dulu Wapres Boediono (2009-2014) juga pernah dapat sentimen serupa saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, padahal ia bukan sosok populer pengail suara pemilih. Apakah ini artinya wapres emang ditakdirkan bekerja dalam diam? 

“Boediono memang tidak terlihat di publik. Namun, Boediono mengendalikan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, semacam the west wing untuk kepresidenan SBY sekalipun SBY terkenal tidak mau mendengarkan dia. Ia mempekerjakan banyak teknokrat yang cakap, seperti Kuntoro Mangkusubroto, untuk mengawasi dan mengendalikan ekonomi,” tutup Made.