Berita  

Apakah Fans Sepakbola di Indonesia Merasa Dilematis Nonton Piala Dunia Qatar?

“Tak selalu yang berkilau itu indah,” demikian penggalan lirik lagu Souljah yang cukup menggambarkan Piala Dunia 2022 di Qatar. Gemerlap delapan stadion yang akan menjadi tempat para bintang sepakbola terbaik seantero dunia berlaga, sejatinya menyimpan kisah buram.

Wajah buram itu sudah mencuat sejak penunjukan Qatar menjadi tuan rumah gelaran akbar sepakbola sejagat, 12 tahun lalu, mengalahkan kandidat lain seperti Amerika Serikat, Australia, atau Jepang. Mantan Presiden Federasi Sepakbola Internasional (FIFA), Sepp Blatter, menyebut pemilihan Qatar sebagai tuan rumah piala dunia sebagai “kesalahan.” Perlu dicatat, Blatter merupakan figur bermasalah yang dituding berbagai pihak membiarkan maraknya korupsi di tubuh FIFA.


Pemilihan Qatar sendiri terbukti diwarnai suap. Adanya sogokan mempengaruhi komite FIFA untuk memilih negara di Timur Tengah itu jadi tuan rumah Piala Dunia 2022, setidaknya merujuk laporan Kejaksaan Agung Amerika Serikat, yang menangani kasus pencucian uang pejabat FIFA di negara mereka.

Itu baru soal korupsi. Otoritas Qatar, menurut penyelidikan independen lembaga swadaya maupun media massa, secara sadar membiarkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), melakukan diskrimasi terhadap LGBTQ dan perempuan, serta tidak serius menangani perlakuan buruk pada buruh migran demi mempersiapkan kompetisi ini. Apa lacur, Qatar sudah terpilih, dan Piala Dunia siap digelar pada 20 November 2022.

“[Pemilihan Qatar] adalah keputusan yang buruk dan saya bertanggung jawab untuk itu sebagai presiden FIFA kala itu,” kata Sepp, saat diwawancarai the Atlethic. “Berkat empat suara Platini dan timnya [UEFA], Piala Dunia jatuh ke Qatar, bukan Amerika Serikat. Itu kenyataannya.”

Pelanggaran HAM, terutama pada pekerja imigran yang terlibat renovasi besar-besaran stadion, menjadi sorotan utama. Laporan The Guardian pada 2021 menyebut kurang lebih 6.500 pekerja yang meninggal di berbagai wilayah Qatar, selama delapan tahun terakhir. Pemicunya mencakup kelelahan karena jam kerja ekstrem, sampai cuaca yang terlalu panas dan para buruh migran itu tidak diberi fasilitas kesehatan memadai. Selain itu, banyak buruh migran yang membangun stadion disita paspornya, serta tidak dibayar layak, sehingga hidup mereka menyerupai perbudakan.

GettyImages-1239616379.jpg
Seorang pekerja merapikan rumput di stadion 974 Doha yang akan jadi salah satu arena Piala Dunia 2022. Foto oleh Christian Charisius/picture alliance via Getty Images

Terlepas dari beragam problematika yang terjadi, bahkan dibayangi ancaman boikot yang membesar di Eropa, FIFA ngotot agar Piala Dunia tetap berjalan. Pada 20 November 2022, kita akan menyaksikan pertandingan perdana antara timnas Qatar melawan Ekuador di Stadion Al-Bayt. Ini juga menjadi pertandingan ajang Piala Dunia pertama sejak 92 tahun turnamen berlangsung, dilaksanakan di kawasan Timur Tengah.

Di Indonesia sendiri, negara yang memiliki basis penggemar sepakbola cukup besar, gaung Piala Dunia 2022 dianggap sangat minim, kalau bukan tidak terlalu terasa. Netizen di Twitter, ambil contoh, membandingkan situasi adem ayem di Qatar dengan Piala Dunia Afrika Selatan 2012 yang berhasil membangun hype jauh sebelum peluit pertama dibunyikan.

VICE lantas tertarik mengetahui persepsi penggemar sepakbola di berbagai kota Indonesia, mengenai Piala Dunia Qatar. Apakah mereka merasa dilematis menonton Piala Dunia yang diwarnai banyak kontroversi?

Keluhan pertama cenderung senada seperti yang diutarakan banyak netizen. “menikmati euforia Piala Dunia, hype-nya aja belum kerasa,” ujar Ari Bagus Panuntun, pengusaha berusia 28 asal Jogja.

Ari mengakui, yang lebih banyak dia dengar adalah seruan boikot serta skandal-skandal yang mewarnai pelaksanaan Piala Dunia di Qatar. “Berita-berita itu jelas mengganggu [gairah menonton],” tandasnya.

Adapun sebagian penggemar bola berusaha fokus pada pertandingan yang akan tersaji di Qatar. Selama laganya seru, maka isu lain jadi kurang relevan. Nalendra Ezra, pemuda 25 tahun asal Semarang, mengaku tidak terlalu mengikuti laporan-laporan pelanggaran HAM yang dilakukan Qatar demi mewujudkan Piala Dunia 2022. “Aku fokusnya ke [pertandingan] bolanya,” kata Ezra. “Mungkin nanti waktu pertandingan [antusiasmeku] tergantung tim yang tanding.”

Pendapat tak jauh beda disampaikan Rizal Aditya, pemain sepakbola berusia 29 tahun asal Wonosobo. Karena dia bergelut dengan sepakbola, maka ajang empat tahunan ini tetap terasa spesial. Apalagi, menurut Rizal, banyak pemain muda berbakat yang akan bermain di Piala Dunia 2022.

Dia menganggap skandal yang mewarnai Piala Dunia Qatar masih bisa terkompensasi, selama pertandingan seru. “Sekarang kan presiden FIFA udah ganti. Secara keseluruhan dari sisi pertandingan akan menarik,” ujarnya.

Tidak semua penggemar bola di Tanah Air apolitis dengan laporan-laporan mengenai cara Qatar memperlakukan buruh stadion maupun kelompok minoritas. Hery Kurniawan, penonton sepakbola asal Jakarta, menilai ada banyak keputusan politis FIFA yang membuat Piala Dunia 2022 jadi kurang terasa gaungnya. “Ramadhan yang datang sebelum waktunya,” ujarnya mengibaratkan.

Menyelenggarakan Piala Dunia di Timur Tengah, termasuk Qatar, menurut Hery kurang ideal. Salah satu sebabnya kondisi cuaca yang panas. Kondisi yang tidak ideal ini, yang sejak awal diketahui FIFA tapi dibiarkan, membuat jadwal Piala Dunia diubah dari lazimnya pada musim panas menjadi akhir tahun yang lebih dingin.

“Ini merusak tatanan sepakbola selama ini. Kompetisi [liga-liga di berbagai negara] sedang berjalan, jadi tidak sehat bagi pemain, seakan dikuras tenaganya,” kata Hery.



Adapun Gusti Aditya, penulis lepas berusia 22 tahun yang mengikuti sepakbola, menilai FIFA adalah otoritas yang musti bertanggung jawab atas segala kabar miring di Qatar. “Federasi tertinggi sepakbola selalu problematik,” ujarnya. “Mereka sampai rela mengubah jadwal jadi pertengahan musim kompetisi, itu jadi enggak sehat buat sepakbola itu sendiri,” kata Aditya yang mulai intens menonton Piala Dunia sejak 2006.

Aditya mendengar ada ajakan boikot menonton Qatar oleh mantan pemain hingga fans sepakbola di berbagai negara. Namun dia menganggap seruan itu percuma, jika akar masalahnya tidak dibenahi. “Mau boikot pun percuma karena sepakbola udah dimonopoli sama federasi ini,” katanya.

GettyImages-1441327194.jpg
Seperti ini salah satu sarana promosi Piala Dunia 2022 di kawasan Corniche, Ibu Kota Doha. Foto oleh Ryan Pierse/Getty Images

Terlepas dari berbagai pandangan yang berbeda mengenai Piala Dunia di Qatar itu, akademisi menilai sejak awal konsep kompetisi ini lahir dari semangat komodifikasi sepakbola. Fajar Junaedi, peneliti budaya sepakbola sekaligus dosen di UMY, menilai tidak ada jaminan tuan rumah Piala Dunia lainnya kelak bebas dari skandal seperti dihadapi Qatar. Sebab FIFA sejak awal mementingkan perputaran modal dan antusiasme sponsor dari acara tersebut. “Sepakbola tidak lagi hanya sebagai olahraga an sich, melainkan spectacle yang bernilai kapital,” ujarnya kepada VICE.

FIFA, menurut Fajar, memang terasa menolak mengaitkan Piala Dunia Qatar dengan isu politik, termasuk pelanggaran HAM. Namun dia mengingatkan, bahwa justru keputusan untuk ‘bodo amat’ itu logis mengingat yang diinginkan FIFA adalah meraup profit sebesar-besarnya.

“Perlu dicatat, justru di negara-negara yang tidak demokratis, komodifikasi secara ekstensif justru lebih mudah dilakukan. Tangan besi tuan rumah berkelindan dengan kepentingan sponsor,” kata Fajar.

Di sisi lain, soal hype jelang Piala Dunia Qatar yang terasa adem ayem, Fajar menganggapnya sebagai dampak perkembangan teknologi. Bukan semata-mata karena penggemar sepakbola kehilangan gairah setelah tahu Qatar selaku tuan rumah tersandung banyak skandal.

Momen magis Piala Dunia, bagi penggemar bola di Indonesia yang berusia di atas 20-an, lebih sering karena aksesnya terbatas. ”Saat saya pertama nonton Piala Dunia di televisi tahun 1990, harus benar-benar menunggu televisi menyiarkan langsung. Begadang sampai malam pun dijalani,” ujar Fajar. “Untuk mendapatkan hasil pertandingan sepakbola, kita harus menunggu berita olahraga di radio atau televisi. Bahkan dengan menunggu koran besok hari.”

Sementara dengan perkembangan teknologi video on demand saat ini, masyarakat bisa kapanpun menonton pertandingan Piala Dunia. Apabila tidak bisa menonton langsung, mereka tetap bisa mengakses rekamannya. Hal ini menurut Fajar cukup meredam antusiasme para fans, dan bukan fenomena eksklusif di Indonesia saja.

“Sekarang, mendapatkan hasil pertandingan pun sangat mudah, cukup melihat di internet,” tandasnya.