Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terus bergulir. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar mengatakan RKUHP akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada 6 Desember 2022. “Sesuai keputusan rapat bamus (badan musyawarah) direncanakan besok,” ujar Indra, dikutip dari Kompas.
Meski hendak disahkan, masih banyak pasal dalam draf terkini yang menjadi perbincangan masyarakat, salah satunya pasal tentang perzinahan. Peraturan yang masuk Pasal 411 sampai 413 tersebut menyatakan “setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda.”
Pasangan kumpul kebo, yakni hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, juga dapat dipidana. Meski demikian, Jubir RKUHP mewakili Kementerian Hukum dan HAM, Albert Aries, mengatakan apabila pasal-pasal tersebut masuk delik aduan. Artinya proses hukum baru bisa dijalankan apabila ada yang mengadu atau melapor. Selama tidak ada aduan, meskipun orang tersebut melakukan hal yang masuk dalam pasal tersebut, maka tidak bisa ditindak hukum. Selain itu, masyarakat tidak bisa main hakim sendiri.
Seperti tertera dalam pasal di atas, orang yang mengadukan hanya bisa dari suami atau istri, bagi orang yang terikat perkawinan. Untuk orang yang belum terikat oleh perkawinan, maka aduan bisa dilakukan oleh orang tua atau anaknya.
“Tidak benar orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan serta-merta dapat dipenjara satu tahun penjara. Sebab, jenis delik dalam tindak pidana perzinaan adalah aduan (klacht delict),” kata Albert, dikutip dari Detik.
Dengan aturan seperti ini, Albert menganggap justru RKUHP melindungi ruang privat masyarakat. Menerapkan pasal pidana perzinaan dan kohabitasi sebagai delik aduan membuat pihak ketiga atau masyarakat yang menganggap dirugikan secara langsung tidak bisa mengambil tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).
Sanksi juga tidak serta berupa penjara. Pasal perzinaan dan kohabitasi dalam RKUHP memiliki aturan alternatif sanksi pidana yang tidak diatur. Dalam KUHP yang berlaku saat ini, hal tersebut masuk dalam pasal 284.
“Sehingga kalaupun akhirnya terbukti memenuhi unsur, pelakunya tidak selalu harus berakhir di penjara, karena ada alternatif sanksi berupa denda kategori II (maksimal Rp 10 juta),” kata Albert.
Dalam menerjemahkan buku II RKUHP, Albert meminta masyarakat untuk juga melihat ketentuan dalam buku I RKUHP sebagai ‘operator’. Sebagai contoh dalam Pasal 85 RKUHP. Apabila pelaku tindak pidana diancam penjara kurang dari 5 tahun atau hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 bulan pidana denda paling banyak kategori II, maka ada alternatif pidana berupa kerja sosial.
“Pemerintah dan DPR juga menyepakati ditambahkannya penjelasan bahwa dengan berlakunya tindak pidana kohabitasi ini, maka seluruh peraturan perundang-undangan lainnya (yang mengatur hal yang sama) menjadi tidak berlaku,” katanya.