Majalah dewasa dulu menghiasi setiap sudut supermarket di Jepang. Perempuan setengah bugil tampak tersenyum genit dalam sampul, menggoda siapa saja untuk membelinya. Namun, pamornya kini telah meredup dan digantikan oleh media digital.
Produk pornografi cetak kian tergerus oleh penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Keluhan demi keluhan terus mengalir dari masyarakat. Majalah dewasa dikatakan merendahkan martabat perempuan, serta menampilkan gambar tidak senonoh kepada anak-anak. Sepanjang 2017-2018, jaringan toko swalayan terbesar di Jepang — MiniStop, Lawson dan 7-Eleven — berjanji akan berhenti menjual majalah dewasa. Hal ini mempercepat kehancurannya.
Akira Ikoma adalah pemimpin redaksi majalah dewasa My Journey. Menurut Ikoma, Jepang merasa “malu”. Karena itulah negara ini “menyembunyikan apa yang sudah menjadi bagian dari budayanya”.
“Toko dewasa dengan plang vulgar bahkan berubah bentuk atau ditutup demi Olimpiade. Jepang harus terlihat seperti negara maju. Jika majalahnya masih dijual, masyarakat Jepang pasti tampak terbelakang,” katanya kepada VICE World News.
Walaupun belum ada kepastian apakah Olimpiade Tokyo — yang diundur menjadi tahun ini — akan menerima penonton dari luar negeri, keputusan menarik majalah dewasa dari peredaran akan tetap dilanjutkan.
Perwakilan Lawson mengatakan, toko swalayan tidak akan menjual majalah dewasa lagi bahkan seandainya ajang olahraga internasional ini dibatalkan.
Meskipun begitu, pengunjung Lawson masih menjumpai pemandangan perempuan seksi di sudut toko. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena majalahnya dikategorikan sebagai “majalah umum”, terlepas dari konten dewasa yang terdapat di dalamnya.
“Ini murni karena majalahnya ada di zona abu-abu. Majalah masih bisa dijual luas jika ada konten selain foto erotis. Ada artikel tentang masyarakat, politik, restoran dan sedikit erotika,” Ikoma menerangkan.
Inovasi teknologi tetap menjadi faktor pemicu terbesar bagi keruntuhan industri dewasa yang dulunya bernilai 5 miliar Dolar (Rp72 triliun).
“Orang tak lagi membeli majalah cetak sejak 2000-an. Toko swalayan dulu menjual buku dan majalah di tempat-tempat yang tidak memiliki toko buku. Digitalisasi mempersulit penjualan media cetak,” lanjutnya.
Penjualan majalah dewasa di toko swalayan mencapai masa keemasannya sebelum dekade 2000-an. Penerbit Jepang, Nippan Publishing, melaporkan toko swalayan memperoleh sekitar 500 miliar yen (setara Rp66 triliun) per tahun dari penjualan majalah dewasa. Harga satu majalah kira-kira 1.000 yen alias Rp132 ribu. Ikoma berujar, majalah dewasa pernah “jauh lebih menguntungkan daripada menjual 100 jus kaleng. Majalah tidak akan pernah basi kayak bento kemasan.”
Berdasarkan artikel Business Insider Japan, penjualan majalah dewasa kurang dari satu persen total penjualan Lawson pada 2019. Penjualannya di 7-Eleven hanya menyumbang sepertiga dari yang dihasilkan 10 tahun lalu.
Meski kondisi memburuk, Ikoma tetap optimis. Dia belum ada niatan berhenti mempublikasikan majalah dewasa.
“Ada sensasi tersendiri saat memegang majalah fisik. Majalah ini tak sebatas erotis saja. Kalau iya, majalah dewasa takkan bertahan lama menandingi video porno. Majalah fisik mengajak pembaca untuk berpetualang dan menjelajahi dunia baru,” tukasnya.
“Contohnya lelaki tua di rumah sakit yang menginginkan majalah. Mereka tidak bisa pergi ke mana-mana untuk membelinya, tapi hasratnya masih ada. Saya ingin memberikan kepuasan itu dengan cara tertentu, tanpa mempermalukan mereka di depan perawat. Mereka bisa saja mengunduhnya di ponsel, tapi kami masih punya penggemar kok. Permintaannya tetap ada, sekecil apa pun itu.”
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.