Aneh itu apa sih? Judul novel terkenal Albert Camus sepertinya bisa memberi ilustrasi, kira-kira apa gagasan yang dikandung kata ini di bahasa Indonesia. Judul novel The Stranger atau dalam bahasa aslinya L’Étranger punya dua versi terjemahan, Orang Aneh dan Orang Asing. Beda versi ini nunjukin gimana aneh dan asing, bagi orang Indonesia, dianggap satu keluarga. Sesuatu yang asing biasanya berlanjut dianggap aneh.
Itulah yang terjadi dalam dunia kuliner. Istilah “makanan aneh” atau “cara makan aneh” lazim digunakan, menjadi cara sederhana membahasakan pengalaman gegar budaya. Sekilas tampak tak berbahaya, cara penyebutan ini mendapatkan tentangannya karena punya makna peyoratif. Orang moderat bakal berpendapat, yang disebut “aneh” itu sebenarnya cuma “asing”.
Apakah beda pendapat ini cukup ditutup dengan semua kembali ke opini masing-masing? Sayangnya tidak. Ada implikasi serius di balik macam-macam motivasi orang ketika menyebut “aneh” untuk makanan dan cara makan. Aku mengumpulkan setidaknya enam alasan agar orang berhenti melakukan kebiasaan buruk ini.
1. Cuma orang yang ngerasa superior berani nyebut “aneh” ke kuliner yang enggak dia kenal
Pisang goreng dimakan pakai sambal. Bakso dikasih tauge. Nasi goreng ada campuran kubis. Nasi padang di Jawa lauknya cuma satu jenis. Soto pakai nasi. Soto pakai ketupat. Soto kuahnya bening. Soto kuahnya enggak bening. Fermentasi durian jadi lauk. Serangga kok dimakan. Gudeg kenapa rasanya manis banget. Orang India ngambil makanan pakai tangan langsung. Gila ya bubur ayam diaduk dulu baru dimakan.
Berbagai deskripsi yang kukumpulkan di atas pernah (atau malah masih) jadi tema perdebatan viral di media sosial. Pendek kata, khalayak di negara ini agaknya tak pernah kehabisan stok “makanan aneh” dan “cara makan aneh” untuk digunjingkan.
Menurut jurnalis sekaligus penulis tema-tema kuliner Nuran Wibisono, aneh adalah label yang lumrah dipakai dalam gaya ulasan kuliner di negara Barat. “Kalau di dunia western food, itu wajar. Mereka mengenal istilah extreme food, bizarre food, dan lain-lain,” kata Nuran kepada VICE, sambil nunjukin buku berjudul Extreme Cuisine: The Weird & Wonderful Foods That People Eat.
Tapi itu, menurut Nuran, label itu muncul karena “Orang western kan cupu. Jadi mulai makanan sederhana seperti ceker sampai yang ‘extreme’ model ulat sagu, ular, dan aneka serangga dianggap aneh. Kesamaan dari makanan-makanan ‘aneh’ ini adalah bentuknya yang bagi mereka menyeramkan.”
Sebagai penulis kuliner, Nuran ogah memakai adjektiva tersebut. Menurutnya, tidak kenal kuliner tertentu bukan alasan untuk menyebutnya aneh. “Aku makmumnya [Anthony] Bourdain,” kata Nuran, menyebut mendiang koki dan petualang kuliner terkenal. “Bourdain di kata pengantar bukunya nulis, aku modif: Makanan seperti belalang dari Gunungkidul mungkin extreme buat warga Los Angeles. Tapi sebaliknya juga begitu, makanan penuh keju bisa jadi makanan extreme buat orang Gunungkidul.”
Tapi yang terutama, Nuran menghindari diksi aneh karena nada peyoratifnya. Apalagi kalau dibalik, orang yang ngatain aneh sebenarnya lagi ngasih tahu bahwa dirinya kurang pengalaman. “Sekarang sih kayaknya [aku] lumayan punya [kesadaran untuk enggak bikin label], seiring bacaan yang makin banyak, begitu pula interaksi dengan berbagai kultur. Tapi ya mungkin dulu ada masa aku ceroboh, sotoy, dan belagu, dan nganggep aneh makanan yang enggak biasa aku santap,” tambah Nuran.
Kita emang lebih sering memakai kata ‘aneh’ untuk sesuatu yang kita anggap inferior. Semacam, kita udah memandang diri dan selera kita superior dulu, makanya sesuatu yang berbeda bisa kita anggap lebih rendah. Ini mirip pas kita memakai sebutan orang aneh ke sosok dengan perilaku tak pantas, tapi memilih diksi nyentrik, unik, bahkan keren untuk role model dengan gaya tak lazim.
Superioritas di balik kata aneh mirip dengan tendensi yang sama ketika orang kulit putih memberi embel-embel eksotis pada segala sesuatu dari belahan dunia Timur/Selatan. “Bahkan sekarang di jagat penulisan kuliner, ada semacam gerakan untuk berhenti menyebut kata eksotis. Alasannya, ya dianggap bagian dari kolonialisme dan rasisme,” papar Nuran.
Ia menunjukkan opini staf redaksi Washington Post yang ngomongin problematika sebutan eksotis untuk makanan berikut. Penulisnya nemuin bahwa kata eksotis rupanya bikin pembaca membayangkan sesuatu yang aneh (odd), menjijikan, dan susah ditemukan.
Kata sosiolog yang ia wawancarai, eksotis emang artinya udah sangat spesifik. Misal, kata ini enggak pernah dipakai buat sesuatu yang dianggap arus utama. Selain itu, eksotis biasanya disematkan ke sesuatu yang berbeda, di luar kultur dominan orang kulit putih. Setelah diskusi dengan pembaca dan ngorek akar pemakaian kata eksotis, penulisnya nyimpulin istilah eksotis secara implisit meneguhkan xenofobia dan rasisme. Seram.
2. Melanggengkan pertanian monokultur
Bayangin kalau semua orang Indonesia mau memakan lauk pauk bukan hanya dengan nasi, tapi juga pisang, ubi, talas, sorgum, jagung, sagu, hingga kacang hijau. Kita enggak akan mendengar cerita gimana lahan gambut Kalimantan dan hutan Papua dirusak demi bikin sawah-sawah baru.
Obsesi terus mencetak sawah baru adalah bagian dari program peningkatan produksi padi yang usianya udah sangat tua (sudah ada sejak 1945) dan enggak pernah setop sampai hari ini. Sekilas, program ini terkesan menjawab kebutuhan beras nasional yang terus naik seiring bertambahnya jumlah penduduk. Tapi, korbannya nauzubillah.
Dua contoh aja: Proyek cetak sawah di lahan gambut Kalimantan sejak 1996 divonis gagal dan malah merusak lingkungan. Bukan hanya menghancurkan fungsi lahan gambut sebagai penyimpan air, proyek ini juga mendorong penduduk yang tadinya petani lahan gambut menjadi pembalak liar. Sementara program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang dimulai sejak 2010 dilaporkan menyingkirkan sagu yang sudah jadi pangan pokok lokal serta menggunduli hutan adat di Papua.
Di dunia, sudah banyak dibuat kajian tentang bahaya pertanian monokultur—21 September bahkan diperingati aktivis sebagai Hari Anti Monokultura). Pemerintah Orde Baru punya dosa besar menggalakkan monokultura padi dan menyeragamkan beras sebagai bahan pangan pokok (istilahnya, beras-isasi).
Kita enggak perlu menambahi daftar dosa itu dengan ngasih stereotip aneh pada bahan pangan pokok non-beras. Justru, kemampuan memakan segala lebih ramah lingkungan, Bung dan Nona.
3. Melanggengkan ketergantungan pada impor
Masih soal beras dan diversifikasi bahan pangan, suatu hari Presiden Sukarno pernah mengeluh, dikutip sejarawan JJ Rizal dalam pengantar buku Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno:
“Rakyat Indonesia sekarang lebih banyak makan nasi daripada dulu per orang. Dulu orang makan nasi, katakanlah vol satu kali satu hari, atau satu setengah kali satu hari, ditambah dengan macam-macam palawija. Sekarang tidak mau. Pagi-pagi nasi, siang hari nasi, malam nasi, 3 kali, mbok dianjurkan kepada rakyat itu untuk suka makanan lain daripada beras. “
Keluhan itu dikatakan saat Indonesia berada di ambang krisis pangan akibat ketergantungan pada impor beras. Kenaikan produksi beras dalam negeri tidak bisa menyalip kenaikan konsumsi penduduk. Pidato Sukarno pada 1952 menyebut, negara membelanjakan US$ 120 juta hingga US$150 juta hanya untuk beli beras dari luar negeri.
Untuk menangani masalah ini, selain mengimbau perluasan pertanian, Sukarno mengerahkan tim dalam pemerintah buat menyusun satu buku resep masakan Nusantara. Tujuannya, memperkenalkan bahan makanan dan cara mengolah makanan antar-daerah. Sebab, Sukarno menganggap orang Indonesia di masa lalu sudah punya banyak variasi makanan maupun bahan pembuatnya. Variasi ini yang hendak dipopulerkan kembali agar menggeser dominasi beras.
Untuk memotivasi masyarakat biar mau mengonsumsi pangan non-beras, Rizal mengutip ucapan Sukarno yang kocak banget. Jadi, setelah menjelaskan bagaimana penduduk Meksiko keranjingan jagung dan masyarakat Brazil gemar sekali mengonsumsi singkong, Sukarno bergeser ke Jepang. Dia bilang, “Oo, orang Jepang itu segala dimakan. Nasi dimakan, jagung dimakan, poros terate dimakan, cacing dimakan, semur, saudara-saudara, digoreng dimakan.”
Mungkin agar tak dianggap “aneh”, ia juga bilang, “Ya, kita itu dulu juga makan semut, wong saya sendiri sering makan laron. Waktu itu masih anak kecil di Ploso, lornya [di utara] Jombang. Wah bukan main enaknya, saudara-saudara, paling enak.”
Dibaca hari ini, enggak ada bagian dari omongan itu yang bisa dibantah. Hingga 2021 keadaan kita gini-gini aja. Masih impor beras, habis 18,5 juta dolar tiap bulan.
4. Selera bisa berubah, dulu aneh, besok doyan
Bagian ini terpaksa berisi kisah pribadi. Saat pindah ke Jawa Tengah setelah lama menetap di lingkungan Melayu, aku pernah merasa sangat aneh dengan makanan yang kuhadapi. Semua masakan seperti bermusuhan dengan rasa asam. Sayur asem jelas asamnya tak sebanding dengan ikan asam pedas. Kebiasaan makan bakso pakai cuka atau menjadikan ebi direndam cuka sebagai lauk hilang sudah.
Perasaan ganjil itu hadir lagi sewaktu pindah ke Jogja. Apalagi kalau bukan karena gudeg dan nyaris segala sayur olahan rumah yang kental amat rasa manisnya. Butuh waktu untuk menyukai gudeg sampai di taraf, ketika aku pindah ke Jakarta, makanan inilah kuliner yang paling kurindukan.
Pengalamanku dan banyak orang dari kultur asin menyesuaikan diri dengan rasa gudeg kayaknya cocok jadi ilustrasi betapa selera bisa berubah. Jadi, balik lagi. Makanan yang sekarang buatmu aneh, itu karena belum biasa aja. Berkenalan dengan makanan baru jelas tak ada ruginya. Sudah coba kue bulan yang manis itu diisi telur bebek asin? Buatku, seperti makan surga. Doyan sashimi? Coba cocol alpukat potong ke kecap ikan. Terdengar ajaib, tapi rasanya persis sama!
5. Sebutan aneh bisa jadi hinaan personal
Dari film The Lunchbox aku tahu ada orang India yang terus-terusan makan siang dengan buah pisang polos karena mampunya cuma beli itu. Di Indonesia, kedudukan pisang ini mirip mi instan yang oleh banyak keluarga ekonomi lemah diperlakukan sebagai lauk nasi dan sering jadi menu sarapan.
Emang sih, ada kalanya sebutan aneh buat menu atau cara makanan tertentu aslinya ujaran spontan doang. Tapi coba buka mata deh, kadang yang dikira aneh itu terhubung sama daya ekonomi seseorang. Tidak bijak bukan ngatain aneh ke orang yang masak tiga jenis makanan, bahannya tempe semua? Atau, setega apa kamu ngatain aneh ke ibu yang masak rumput ini? Ya, gimana dong kalau bisanya cuma dapetin itu.
Selain terkait daya ekonomi, menu atau cara makan “aneh” bisa lho dibentuk oleh memori. Saya punya teman yang selalu ngasih kuah ke mi goreng instannya. Mau ngatain aneh jelas saya enggak berani, teknik masak begitu adalah cara dia mengenang masakan ibunya.
6. Malah memancing pertengkaran tanpa ujung
Tahu enggak apa yang bisa disimpulin dari beberapa kali debat kuliner di media sosial? Jangan overclaim. Cuma mancing pertengkaran kok nyebut-nyebut makanan ini kudu begini atau begitu. Mau dibikin diskusi sehat juga susah, semua orang mengaku punya pengalamannya faktualnya masing-masing.
Kira-kira itu juga yang mestinya dicamkan pas bersiap ngatain tradisi kuliner orang lain aneh. Iya, kamu bener, aneh emang. Terus apa? Kesuksesan macam apa yang kamu dapet setelah semua orang membenarkan opinimu? Enggak ada.
Kalau boleh urun saran, aneh lebih cocok disematkan pada kebiasaan kuliner yang destruktif. Negara dengan sumber daya pangan lokal melimpah ruah, tapi semua penduduknya makan beras impor, itu baru aneh. Makan daging anjing yang dijagal dengan cara tidak manusiawi, itu aneh banget valid no debat. Kalau tatarannya cuma makan mi pake kuah bir atau melahap nasi lauknya kue tart kayak temanku, mau dibilang aneh juga gimana ya, alesan dia sih daripada makanannya terbuang. Serah deh.
Beneran deh, justru lebih bermanfaat ketika orang Indonesia punya beragam menu makan dan cara konsumsi “aneh”. Secara asupan gizi lebih variatif. Secara ketahanan pangan orang dapat lebih banyak referensi jualan ketika hendak nyoba bisnis makanan. Kurang berguna apa coba.