Nasib Benni Eduward Hasibuan dan Joniar Nainggolan adalah simbol rentannya keselamatan konten kreator yang berniat melakukan tugas sebagai jurnalis warga. Dua orang itu kerap mengunggah video kritik sosial di YouTube, dan atas konten-konten itu, mereka divonis pidana delapan bulan penjara. Hukuman itu dipicu video yang mereka unggah, berisi temuan mobil bodong menunggak pajak, diduga milik petugas pajak Kota Medan, Sumatra Utara.
Benni mengklaim dia dan Joniar merasa jadi ‘target’, karena beberapa unggahan video mereka, di kanal Joniar News Pekan, memang berisi rekaman aparat negara diduga melakukan pungli.
Video yang membuat mereka berurusan dengan pengadilan bermula di suatu pagi, 11 Agustus 2020. Benni dan Joniar mengelilingi jalan belakang kantor Samsat Medan Jalan Putri Hijau. Ada puluhan mobil parkir di sana. Mereka sangaja datang ke kawasan kantor samsat karena mendapat informasi warga, kalau beberapa kendaraan roda empat milik petugas justru belum tertib membayar pajak. Benni dan Joniar tertarik membuktikan kebenaran info tersebut.
Menggunakan aplikasi e-Samsat lalu memasukkan nomor plat mobil secara acak, mereka menemukan beberapa mobil di halaman kantor yang kemungkinan besar menggunakan plat bodong, bahkan menunggak pajak. Beberapa pemilik mobil bermasalah itu, dari penelusuran keduanya, adalah personel kepolisian.
“Berdasarkan hasil cek di aplikasi itu kami menemukan mobil yang diduga menunggak pajak sekitar Rp15 jutaan dan diduga bodong, karena nomor polisinya tidak terdaftar di database Samsat,” kata Benni dalam sidang online di Pengadilan Negeri Kota Medan, yang dihadiri VICE pertengahan Maret 2021
Di lokasi itu, mereka menemukan sedikitnya 10 mobil bermasalah dari sisi pembayaran pajak. Benni dan Joniar sebetulnya berusaha mengonfirmasi polisi, agar video mereka tidak terkesan menyudutkan, sebagaimana lazimnya dilakukan jurnalis. Namun Dirlantas Polda Sumut Kombes Wiebowo yang hendak mereka temui saat itu, kata Benni, tidak berada di kantor.
Keduanya lantas menemui Ipda Nanang Kusumo, Kanit I STNK Ditlantas Polda Sumut untuk dimintai komentar. Dalam video yang masih beredar di Youtube, Ipda Nanang sempat berdebat dengan kedua YouTuber itu yang dianggap sering menyudutkan institusi kepolisian.
“Kalau memang ingin memperbaiki citra Polri, harus fleksibel dan adillah. Kalau memang ada keburukannya, oke, kita ucapkan terimakasih. Tapi kebaikannya juga upload-lah. Kebaikannya di situ hanya sekian persen saja, lebih banyak keburukannya,” kata Ipda Nanang, dalam video itu.
Upaya mereka menyorot mobil-mobil diduga bermasalah pajaknya itu tak hanya berhenti di sana. Seminggu setelah merekam situasi dekat Samsat, Benni dan Joniar melapor ke kantor Gubernur Sumatra Utara bahwa situs e-samsat tak lagi bisa diakses. Keduanya juga mendatangi kantor Ombudsman RI Perwakilan Sumut untuk mengadukan temuan mereka.
Hidup berjalan lagi seperti biasa buat keduanya, setelah laporan soal mobil-mobil bodong itu diunggah ke YouTube. Benni dan Joniar tidak sepenuhnya mencari nafkah dari YouTube. Mereka punya pekerjaan lain di luar kegiatan sampingan menjadi jurnalis warga. Benni, misalnya, adalah manajer pemasaran perusahaan minuman kemasan.
Keduanya tak menyangka, video soal mobil belum bayar pajak itu membuat mereka dijemput polisi saat sedang asyik ngopi di kafe sore hari, sepekan setelah video mereka tayang.
Benni dan Joniar digiring ke Polrestabes Medan, atas laporan Aiptu Johansen Ginting yang mengadu dengan dasar UU ITE. Johansen merasa dirugikan citranya, karena video Joniar News Pekan merekam mobil anaknya. Muncul kesan bahwa mobil putranya tersebut turut menunggak pajak.
Karena dianggap bukan jurnalis, yang dilindungi UU Pers, Benni dan Joniar langsung ditahan usai pemeriksaan lebih dari lima jam. Setelah dijebloskan ke dalam tahanan, nyaris semua video channel Youtube Benni Eduward raib. Benni pun kehilangan pekerjaannya akibat kasus ini. Dia tak lagi dapat menemui anak perempuannya yang masih berusia tiga tahun. Istrinya, Fitria Aria, mengaku harus membayar sejumlah uang agar sang suami aman di penjara.
“Kalau ditotal ada Rp11 juta uang yang sudah saya kirim ke bang Benni selama dalam tahanan, katanya untuk ‘uang kebersamaan’. Awalnya Rp2 juta, lalu berlanjut beberapa kali, padahal saya tidak bekerja, yang bekerja selama ini bang Benni,” kata Fitria. Pemerasan itu turut dilaporkan Fitria pada pegiat HAM, mantan Koordinator KontraS, Haris Azhar.
Saga hukum keduanya menjadi sorotan banyak kalangan di Kota Medan, lantaran video-video mereka cukup populer. Benni dan Joniar ditetapkan sebagai tersangka sejak 19 Agustus 2020. Setelah sepuluh kali sidang, tepatnya pada 12 April 2021, majelis hakim PN Medan lewat putusan yang dibacakan via aplikasi Zoom, menetapkan dua konten kreator itu bersalah melanggar Pasal 45 ayat 3 terkait pencemaran nama baik dalam UU ITE. Pasal ini sering dijuluki praktisi hukum sebagai pasal karet.
“Joniar M Nainggolan dan terdakwa dua Benni Eduward Hasibuan terbukti dengan sangat meyakinkan bersalah, dengan tindak pidana dalam membuat dan mendistribusikan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik. [Majelis hakim] menjatuhkan pidana kepada para terdakwa penjara masing-masing delapan bulan,” kata Ketua Majelis Hakim, Ahmad Sumardi.
Argumen utama hakim dalam kasus ini, karena ada kalimat yang terlontar dari Benni dalam videonya, “masih banyak oknum polisi yang tidak taat pajak dan menggunakan kendaraan bodong”. Kalimat itu dianggap sebagai bukti pencemaran nama baik.
Atas vonis tersebut, kedua terpidana memilih pikir-pikir. Bagi advokat Ridwan Hutasoit yang mendampingi Joniar, kasus ini merupakan wujud problematiknya pasal UU ITE. Status dua YouTuber itu dianggap bukan jurnalis, sehingga dianggap tak berhak membuat laporan kritis. Selain itu, perdebatan selama sidang berkutat pada semantik kata tertentu, yang menurut jaksa bisa ditafsirkan menyudutkan pelapor yang dianggap punya mobil bodong.
“Saksi ahli bahasa menekankan kalimat yang ada dalam video, yaitu kalimat yang menyinggung institusi. Ada kalimat ‘petugas pajak kok tidak taat pajak’. Sementara, saksi ahli pidana mengatakan bahwa siapa saja bisa melakukan peliputan, apabila mereka terdaftar sebagai LSM,” katanya kepada VICE seusai persidangan. Joniar tercatat sebagai pendiri LSM PEKAN (Pemantau Kinerja Aparatur Negara).
Terlepas dari vonis hakim, dikurangi masa tahanan, pada 19 April 2021 Benni dan Joniar akan bisa kembali menghirup udara bebas. Namun pengacara meyakini dua YouTuber itu tak selayaknya dihukum bersalah mencemarkan nama baik.
Pemidanaan Benni dan Joniar, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mencederai kebebasan berekspresi warga sipil di Indonesia. Hal macam ini sering terjadi pada warga yang kritis, terutama dipicu penerapan beberapa pasal UU ITE.
“Kami sangat menyesalkan UU ITE ini kembali memakan korban. Dan ini korbannya yang selama ini dikenal kritis menyikapi kerja-kerja aparat negara yang diduga melakukan praktek pungli dan pelanggaran hukum,” kata Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam Lubis kepada VICE.
Menurut Amin, video yang dibuat Benni dan Joniar sebetulnya masuk kategori kebebasan ekspresi warga, yang dijamin undang-undang. Selain itu, topik mobil bodong yang menyeret mereka ke meja hijau bisa ditelisik akurasinya. “[Putusan pengadilan terkesan] membatasi kebebasan beropini terhadap selama ini yang menjadi keluhan publik,” urainya.
KontraS pun mencatat, saat mendampingi keluarga Benni, terjadi proses hukum yang tidak adil. Benni mengalami intimidasi, pemerasan dan dugaan penyiksaan selama ditahan. Temuan-temuan itu sudah disampaikan dalam nota pembelaan di pengadilan. “Kenapa itu enggak diungkap? Artinya proses hukumnya tidak adil,” kata Amin.
Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM untuk memulai kajian revisi UU ITE. Sejauh ini, ada perdebatan di kalangan ahli dan pejabat pemerintahan, soal perlu tidaknya dilakukan revisi.
Menurut Amin, vonis yang diterima Benni dan Joniar bakal menjadi preseden buruk yang mencederai kualitas demokrasi di Indonesia. Sebab jurnalis warga lain, atau bahkan sekadar orang biasa yang yang berusaha kritis menyorot aparat lewat rekaman video, terancam mengalami kriminalisasi serupa.
“Apa tafsirnya [pencemaran nama baik], standarnya apa? Harusnya gunakan standar yang ada sesuai dengan rambu-rambu hak asasi manusia.”
Tonggo Simangunsong adalah jurnalis lepas, bermukim di Medan