Tren penggunaan ganja secara legal meningkat di Amerika Serikat (AS) dan Eropa selama pandemi Covid-19. Beberapa pemakai memutuskan menggunakan mariyuana untuk membantu mereka menghadapi lockdown atau kuncitara yang membuat rutinitas mereka terpaksa berubah. Dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya, kini semakin sedikit orang yang menganggap penggunaan ganja berbahaya.
Faktor tersebut berkontribusi pada peningkatan tren wisata ganja. Destinasi-destinasi pariwisata mulai mengembangkan berbagai produk liburan baru demi menggaet wisatawan. Pemesanan tiket perjalanan ke wilayah-wilayah yang melegalkan ganja pun melejit.
Akan tetapi, tren ini juga membawa risiko bagi destinasi wisata maupun turis. Studi dari MMGY Travel Intelligence menemukan bahwa 29 persen pelaku perjalanan wisata menunjukkan ketertarikan pada wisata ganja.
Riset yang dilakukan Pemerintah Belanda juga mengungkap bahwa 58 persen turis internasional memilih Kota Amsterdam sebagai tujuan mereka agar dapat mengonsumsi jenis narkotika tersebut. Selain itu, bisnis kafe ganja di Belanda juga meningkat semenjak pandemi.
Sembilan bulan semenjak Illinois, AS, melegalkan ganja untuk rekreasi pada Januari 2020, hampir 30 persen pembelian dilakukan oleh konsumen yang tidak berasal dari negara bagian tersebut.
Thailand juga baru saja mengumumkan bahwa pemerintahnya telah melegalkan ganja dan berharap kebijakan ini dapat mendongkrak pariwisata.
Sektor pariwisata dan destinasi-destinasi spesifik bereaksi cepat terhadap meningkatnya permintaan akan ganja, hasis, dan cannabidiol (CBD) dengan mengembangkan pengalaman wisata yang mengikutsertakan penggunaan produk-produk tersebut. Mereka juga merespons potensi ekonomi yang diharapkan dari wisata ganja dalam mendorong okupansi hotel, pemasukan pajak, kenaikan harga tanah, ekspansi bisnis, penyediaan lapangan pekerjaan, serta keuntungan kesehatan dan keamanan publik.
Namun, walaupun destinasi-destinasi yang menyediakan ganja legal semakin populer, data-data terkait baru mulai dikumpulkan. Sejauh ini, belum ada tujuan wisata yang bisa dilabeli sebagai “the next Amsterdam” atau “Amsterdam baru”.
Potensi besar
Walaupun wisatawan ganja kerap dianggap berasal dari kalangan berpendidikan yang siap merogoh kocek besar, pengambil keputusan masih enggan untuk meniru model yang diterapkan Belanda. Model tersebut memang menimbulkan konsentrasi kafe ganja yang besar di Amsterdam dan menimbulkan kekhawatiran akan penggunaan obat keras serta potensi kriminalitas.
Bisnis model yang baru kini berfokus pada agrowisata (sesi bertemu petani ganja), wisata kuliner, dan acara seperti festival ganja. Wisatawan dapat memilih antara tur perkebunan, hotel “bud and breakfast”“, tur dalam kota, festival ganja, jalur ganja, wisata kuliner yang memadukan ganja dengan minuman anggur dan makanan, ”yoga ganja”, serta paket yang mengombinasikan akomodasi dan pengalaman mengonsumsi ganja.
Potensi wisata ganja menjamur di seluruh dunia.
Lebih dari 19 negara bagian di AS dan Washington DC telah melegalkan ganja untuk rekreasi. Begitu pula Kanada, Meksiko, Uruguay dan beberapa negara lainnya.
Di Eropa, Luksemburg mengizinkan penggunaan ganja yang ditanam sendiri oleh pengguna, sementara Swiss tengah melakukan uji coba penjualan ganja di apotek untuk tujuan rekreasi. Malaysia dan Thailand telah mengambil langkah awal untuk melegalkan penggunaan ganja rekreasi. Kosta Rika dan Maroko pun telah menyetujui penggunaan ganja untuk pengobatan.
Risiko bagi turis
Akan tetapi, hanya sedikit negara yang telah mengklarifikasi legalitas penggunaan ganja untuk turis asing, dengan peraturan legalitas yang ada hanya ditujukan bagi warga negara setempat.
Artinya, terdapat risiko wisatawan asing melanggar aturan tanpa disengaja melalui interaksi dengan pengedar jalanan dan polisi. Hal ini juga dapat mendatangkan risiko dampak kesehatan akibat mengkonsumsi narkotika, baik asli maupun palsu.
Memang, terdapat bukti bahwa ganja bisa memperbaiki kondisi kesehatan mental dan meredakan nyeri. Namun, turis dengan gangguan kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya dapat merisikokan kesehatan fisik dan psikologis mereka dengan mengkonsumsi mariyuana. Masalah kesehatan mental yang terkait dengan ganja, termasuk depresi, bisa terjadi di antara mereka yang sebelumnya tidak pernah mendapat diagnosis penyakit mental.
Selain itu, berbagai pertanyaan mengenai legalitas konsumsi, transportasi alat vape ganja ke luar negeri, sekaligus permasalahan asuransi dan perawatan kesehatan selama dan sesudah perjalanan, belum terjawab akibat campur aduknya undang-undang dan regulasi yang kompleks mengenai penggunaan ganja rekreasi oleh wisatawan asing.
Sementara Uruguay berencana untuk memperbolehkan konsumsi ganja oleh turis, negara seperti Portugal – yang telah melakukan dekriminalisasi mariyuana semenjak 2011 – masih belum mengizinkan wisatawan untuk membelinya secara legal.
Di Spanyol, kelab-kelab ganja mempersilakan pengunjung untuk memberikan sumbangan ke kelab alih-alih membeli produk. Tetapi, Spanyol dan pasar besar lain seperti Afrika Selatan lebih memfokuskan wisata ganjanya bagi turis domestik dan bukan untuk wisatawan asing.
Hanya sedikit negara yang telah melakukan analisis biaya-manfaat seputar ganja dan pariwisata, atau mengungkapkan sepenuhnya masalah penggunaan lahan dan air, otoritas polisi, dan manfaat bagi masyarakat lokal.
Walaupun wisata ganja dapat mendongkrak pariwisata, membuka lapangan kerja, dan memberantas organisasi kriminal, tujuan berkelanjutan dari sektor wisata ini terancam oleh risiko tindakan pencurian, rasisme, dan kekuatan pasar yang merugikan pebisnis lokal yang kerap kesulitan mengakses pendanaan atau pun asuransi. Selain itu, terdapat potensi meningkatnya polusi serta isu kesehatan dan keamanan publik.
Meksiko dan Kanada telah menjanjikan pendanaan bagi bisnis yang dimiliki oleh masyarakat pribumi demi menjamin kesetaraan sosial dan ras.
Di sisi lain, New York berencana untuk membentuk pendanaan gabungan publik dan swasta sebesar US$200 juta (setara Rp 2,97 miliar) demi mewujudkan keadilan sosial terkait industri ganja.
Dukungan dari warga negara dan dialog berkelanjutan dengan masyarakat mengenai bagaimana mengembangkan wisata ganja yang berkelanjutan harus menjadi bagian vital dalam membangun sektor tersebut.
Sementara Covid-19 membantu merangsang dan melegitimasi penggunaan mariyuana – dengan apotik-apotik di berbagai belahan AS menempatkannya sebagai layanan esensial selama pandemi – pariwisata membantu menyebarluaskan dan menormalisasi penerimaan terhadap penggunaan ganja.
Persepsi risiko dan rasa bersalah wisatawan dapat menguap seiring waktu. Wisata ganja, ke depannya, kemungkinan akan berubah menjadi segmen biasa dari produk-produk industri liburan umumnya.
Michael O’Regan adalah dosen kajian pariwisata di Universitas Swansea
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.