Seluruh negara di dunia kini bersiap menanggulangi penyebaran varian baru virus Covid-19 yang dijuluki ‘Omicron’. Mutasi virus tersebut dilaporkan terpantau muncul pertama kali di Afrika Selatan, membuat warga negara tersebut mengalami larangan masuk ke banyak wilayah. Namun laporan teranyar menyatakan kasus perdana penularan Omicron justru muncul di Belanda, bukan Afsel.
Terlepas dari mana varian Omicron pertama kali muncul, ada baiknya kita menyorot satu hal unik yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat menamai varian Covid-19 terbaru ini. Sesuai keterangan WHO, penamaan tiap varian Covid disesuaikan urutan abjad alfabet khas Yunani.
Seharusnya, jika WHO konsisten, maka setelah varian delta dan mu, seharusnya masih ada beberapa huruf lain di alfabet Yunani yang bisa dipakai untuk penamaan. Kenyataannya, huruf ‘Nu’ dan ‘xi’ dilewati. Muncul spekulasi di Internet, khususnya pemakaian huruf Yunani ‘Xi’, apakah karena namanya akan mirip sosok Presiden Tiongkok Xi Jinping?
Pada 26 November 2021, WHO secara resmi menamai varian virus Covid B.1.1.529 sebagai Omicron. Varian ini masuk “kategori mengkhawatirkan” (atau disebut ‘variant of concern’), karena berpotensi memperberat upaya penanggulangan pandemi secara global. Berdasar temuan awal pakar WHO, varian omicron dapat dengan cepat bermutasi, serta sangat efektif menginfeksi ulang pasien. WHO belum berani menyimpulkan apakah vaksin yang tersedia bagi masyarakat dapat melawan varian omicron.
Balik lagi ke soal penamaan, WHO rupanya sadar kalau mereka tidak secara urut mengikuti susunan abjad Yunani dalam penamaan varian terbaru. Lewat keterangan resmi kepada media, WHO mengatakan abjad ‘Nu’ dihindari, karena terlalu mirip penulisan dan cara baca kata ‘new’ di berbagai bahasa. Sementara ‘Xi’ dilewati, karena “serupa dengan nama keluarga banyak orang di dunia.”
Alasan soal Xi ini cukup membingungkan, mengingat varian virus sebelumnya, “mu”, juga mirip dengan banyak penduduk Tiongkok. Data sensus pemerintah Tiongkok pada 2020 menyatakan marga “Mu” berada di urutan 229 secara nasional untuk popularitas pemakaiannya. Artinya ratusan ribu orang memiliki nama Mu, dan WHO tidak merasa bermasalah menggunakannya.
Alhasil, teori yang beredar mengaitkan penamaan varian baru Covid-19 ini dengan situasi politik internasional: andai abjad Yunani itu tetap dipakai, maka orang akan mengaitkan varian virusnya pada sosok Xi Jinping.
Saat dikonfirmasi ulang oleh VICE World news, juru bicara WHO sekadar mengirim tautan artikel yang diterbitkan lembaga mereka pada Mei 2021.
WHO menyatakan, penamaan tiap mutasi baru SARS-CoV-2 menggunakan aksara Yunani, agar tidak ada asosiasi dengan wilayah tertentu di dunia, harapannya agar “tidak muncul stigmatisasi dan diskriminasi terhadap suatu wilayah”.
“Metode pelabelan varian virus tersebut sudah didasarkan pada diskusi panjang oleh berbagai ahli,” demikian keterangan WHO.
Penamaan virus yang sifatnya senetral mungkin dicanangkan WHO lewat pedoman internal sejak 2015. Tujuannya, jangan sampai penyebutan suatu virus hanya berpatok pada tempat kemunculannya yang pertama, sehingga memicu efek negatif bagi “budaya, kebangsaan, wilayah, profesi, hingga kelompok etnis tertentu.”
WHO mengaku bersalah, karena pada 2012 mereka menamai varian virus SARS yang marak di Timur Tengah dengan sebutan Middle East respiratory syndrome (MERS). Hal itu membuat negara-negara di Jazirah Arab terkena dampak pembatasan akses bepergian, karena ketakutan berbagai negara. Berkaca pada pengalaman itulah, kasus pertama Covid-19 tidak dinamai sebutan yang terkait dengan Tiongkok atau Wuhan.
Bagaimanapun, komunikasi sains memang penuh tantangan dan apa yang dilakukan WHO menunjukkan proses penyebutan suatu varian virus perlu pertimbangan matang. Setelah ‘omicron’, jika mengacu alfabet Yunani, masih ada huruf ‘pi’, ‘rho’, ‘sigma’, dan ‘tau’. Patut dilihat apa yang akan dilakukan WHO selanjutnya, mengingat berbagai abjad tersebut juga potensial terkait dengan nama spesifik di dunia.
Follow Koh Ewe di Instagram.