Buka aplikasi YouTube, dan kalian mungkin akan menemukan video perempuan berperan sebagai penata rambut di laman rekomendasi. Dia sengaja berbisik di dekat mikrofon untuk memberikan efek menggelitik, sensasi menenangkan yang dihasilkan oleh ASMR (Autonomous Sensory Meridian Response).
Dalam kolom komentar, seseorang meminta dia menguncir kuda dan mendekatkan mulut ke mikrofon untuk video barunya. Dia membanjiri video-video yang lain dengan pertanyaan kapan permintaannya akan dituruti. Orang itu mengklaim jumlah penonton dan subscriber akan meningkat drastis jika dia melakukannya. Umur YouTuber itu baru delapan tahun.
Di kanal ASMR lain, konten kreator pada rentang usia tersebut diminta membisikkan frasa-frasa bernada seksual seperti “calm in my mouth” atau melakukan gerakan tangan yang eksplisit. Namun, bukan hanya anak-anak di bawah umur yang menerima permintaan aneh; sebagian besar laporan berasal dari perempuan berusia 18-30 yang mayoritas membuat konten ASMR di YouTube. Mereka menjadi korban “penambang fetish”.
Sejak mengurus kanal YouTube Beckii Cruel pada 2007, Rebecca Flint kini memiliki lebih dari 114.000 subscriber. Dia mendefinisikan penambangan fetish sebagai praktik “mengumpulkan konten fetish dari seseorang yang tidak mengetahui tujuan sebenarnya dan tanpa persetujuan mereka”.
Beckii menceritakan pengalaman berurusan dengan penambangan fetish pada 2019. Menurutnya, praktik itu berkembang dengan memanfaatkan ketidaktahuan orang lain.
Mengutuk penambang fetish tak sama artinya dengan menjelek-jelekkan orang yang memiliki hasrat seksual tidak biasa. Sudah ada platform yang memenuhi permintaan fetish sesuai umur dan persetujuan. Beberapa YouTuber ASMR juga memiliki akun OnlyFans dan Patreon yang kontennya dikhususkan untuk orang dewasa. Sementara itu, penambang fetish memangsa kenaifan seseorang.
Dalam beberapa tahun terakhir, YouTube telah berupaya menonaktifkan kolom komentar untuk video yang menampilkan anak-anak. Namun, sejumlah akun tetap tidak terlindungi.
Lilliana De yang menciptakan konten ASMR di kanal Lily Whispers ASMR baru-baru ini mengunggah video yang membeberkan betapa maraknya penambangan fetish di dunia ASMR. Perempuan 27 tahun itu berujar, penambang fetish tampaknya suka “memanfaatkan kebiasaan seniman ASMR untuk menyenangkan para penonton” dan keinginan terhubung dengan subscriber.
Dia telah membagikan video ASMR-nya di YouTube sejak 2013. Sekarang dia memiliki lebih dari 300.000 subscriber. “Permintaannya selalu spesifik, seperti ‘Bisakah kamu mengetuk sesuatu yang berwarna hitam dengan kuku dicat merah?’ atau ‘Bisakah kamu pakai kaus dan menyiram diri sendiri untuk video selanjutnya?’” katanya. “Banyak yang mengabaikan itu karena mereka ingin membuat penonton senang.”
Walaupun praktik penambangan fetish tidak disebutkan dalam Pedoman Komunitas YouTube, platform itu telah melarang “konten yang menampilkan tindakan seksual tanpa persetujuan, seksualisasi yang tidak diinginkan atau tindakan apa pun yang melecehkan atau merendahkan individu.” Pengguna bisa melaporkan setiap konten yang melanggar kebijakan ini, dan YouTube akan menindaklanjutinya. Akun pelanggar bisa dihapus atau diblokir, tergantung pada tingkat keparahan komentar. Namun, para penambang fetish acap kali menggunakan bahasa yang sopan untuk meminta apa yang mereka inginkan. Alhasil sulit untuk melaporkan mereka dengan benar.
Pakar kriminologi Asher Flynn dari Universitas Monash membenarkan ini. Penggunaan bahasa yang ambigu bisa mempersulit upaya perlindungan online. “Inilah mengapa sulit sekali membuat undang-undang yang mengatur jenis perilaku abusif ini,” terangnya, “dan mengapa kebijakan platform teknologi — seperti YouTube — tidak efektif.”
Lilliana De mengungkapkan, banyak anak-anak yang menggunakan akun orang tua atau berbohong tentang usia mereka ketika mengunggah video ASMR ke YouTube. Dengan demikian, penonton bisa berkomentar di video mereka. “YouTube tidak menanyakan identitas kalian saat mendaftar dan membuat akun, sehingga menimbulkan risiko tambahan.” Dia mengaku telah membaca beberapa komentar yang menjurus ke penambangan fetish di video kreator anak-anak. Tak sedikit secara terang-terangan meminta video yang bersifat seksual, seperti “membuat suara ciuman atau menggigit telinga”.
“Itu benar-benar tidak pantas,” tandasnya. “Kalian tidak boleh meminta anak membuat konten seperti itu.”
Dr Rachel O’Connell selaku pendiri dan CEO Trust Elevate, penyedia verifikasi usia anak dan persetujuan orang tua, menekankan pentingnya membasmi penambangan fetish, meskipun tidak mudah. “Anak-anak berhak mendapatkan lingkungan online yang aman, dan perusahaan berkewajiban melindungi anak-anak. Tapi melihat cara ekonomi perhatian terstruktur, algoritme machine-learning pada dasarnya memfasilitasi dan menonjolkan risiko-risiko ini.”
Dengan kata lain, algoritme YouTube yang berbasis data mengarahkan para predator ke orang-orang yang cocok dengan fantasi mereka.
“Kita membutuhkan kontrak sosial yang lebih adil antara perusahaan dan keluarga,” tutur Dr O’Connell. “Dengan memanfaatkan teknologi secara lebih cerdas, kita bisa mengurangi kerugian yang berbasis data.”
Julia Von Weiler, direktur eksekutif Innocence In Danger, organisasi global yang melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, menganggap penambangan fetish hanya berupa puncak gunung es. Penyelidikan yang lebih mendalam bisa saja mengungkapkan eksploitasi yang lebih mengerikan.
“Anak-anak sangat rentan dan membutuhkan dukungan untuk menemukan jalan mereka di dunia digital,” imbuhnya. “Memanfaatkan mereka demi kepuasan emosional atau fisik — terlepas itu seksual atau tidak — sama saja melanggar batas-batas mereka.”
VICE telah meminta YouTube untuk berkomentar, tapi belum menerima tanggapan.