Sejak awal Februari 2022, ribuan warga sipil Ukraina rutin menjalani latihan perang. Dengan senjata seadanya, termasuk mainan senapan bambu, mereka mempelajari dasar-dasar perang untuk menghadapi potensi serangan oleh Rusia yang sudah berada di depan mata.
Mereka yang berlatih di berbagai kota adalah anggota korps sukarelawan Kementerian Pertahanan, yang bisa menjadi anggota militer Ukraina dalam kondisi darurat. Korps ini baru terbentuk pada 2021, ketika pemerintah Ukraina menyadari ancaman Rusia akan sulit dibendung.
Eskalasi konflik antara Ukraina-Rusia meningkat sejak akhir tahun lalu. Saat artikel ini tayang, Moskow sudah mengirim lebih dari 100 ribu tentara yang berjaga dekat perbatasan dengan Ukraina. Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), menyatakan invasi Rusia ke wilayah Ukraina bisa terjadi kapan saja. Amerika Serikat sendiri sudah meminta warganya meninggalkan Ukraina, akibat risiko serangan Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri tidak pernah berkomentar mengenai kebijakan terkait Rusia dalam sebulan belakangan, sehingga tidak jelas apakah invasi benar-benar akan dilakukan. Perang terbuka antara Ukraina dengan Rusia dapat memicu konflik yang lebih besar di wilayah timur Eropa. Pejabat Moskow sendiri berulang kali mengklaim bila mereka tidak berniat mengirim pasukan dan senjata ke wilayah Ukraina.
Ukraina sendiri, yang secara persenjataan, kemampuan alutsista, dan anggaran perang kalah jauh dari Rusia, kini berusaha sekuatnya membendung ancaman invasi.
Para sukarelawan, seperti di Ibu Kota Kyiev, menggunakan peralatan alakadarnya untuk belajar dasar-dasar peperangan. Termasuk, menggunakan replika bambu berbentuk senapan Kalashnikov. Mereka belajar teknik membidik, disiplin perang kota, pertolongan pertama, serta taktik bertahan hidup di tengah peperangan.
“Penduduk kota-kota besar di Ukraina merasa konflik tidak akan menghampiri mereka,” ujar Sergiy Vyshnevsky, instruktur latihan perang yang mengajari para sukarelawan itu, saat diwawancarai AFP. Lelaki 40 tahun itu menyatakan kini orang sadar, bahwa Rusia adalah ancaman nyata bagi negara mereka.
“Situasi belakangan menyadarkan mereka kalau perang sudah di depan mata.”
Program sukarelawan sipil yang digagas pemerintah Ukraina disambut masyarakat. Ribuan orang mendaftar, baik lewat kantor militer terdekat atau melalui situs. Rata-rata yang ikut masih berusia remaja, karena mereka tidak ingin keluarganya jadi korban bila pasukan Rusia benar-benar menyerang negara mereka.
Ukraina dan Rusia, yang lazimnya merupakan sekutu, mulai bersitegang sejak 2013. Parlemen dan kelompok oposisi Ukraina pada tahun itu mengumumkan rencana bergabung lebih erat dengan Uni Eropa. Mayoritas warga juga ingin Ukraina menjadi anggota NATO. Dua kemungkinan itu tidak disukai oleh Moskow, karena berarti Ukraina yang berstatus negara tetangga mereka, seakan dikendalikan Barat. Presiden Ukraina kala itu, Viktor Yanukovych yang pro-Rusia, berhasil digulingkan oleh kelompok oposisi melalui demonstrasi besar-besaran.
Pada 2014, hubungan Rusia dan Ukraina menegang. Pasukan Rusia lantas mencaplok wilayah Krimea, dengan alasan warga di sana mayoritas berdarah Rusia dan ingin lepas dari Ukraina. Krimea diumumkan Moskow sebagai provinsi baru Federasi Rusia. Keputusan itu ditolak mayoritas negara di PBB, sebagai langkah yang melanggar hukum internasional. Rusia pun mendapat berlapis sanksi dari Dewan Keamanan PBB akibat pencaplokan Krimea. Insiden Krimea tidak berlanjut jadi perang terbuka, karena ada perjanjian Minsk, yang mengatur gencatan senjata kedua negara.
Konflik Ukraina-Rusia, sejak 2014, diperparah kemunculan kelompok separatis di beberapa wilayah perbatasan, yang mengumumkan niat merdeka dari Ukraina. Kelompok separatis itu, menurut sumber intelijen, disokong penuh oleh Moskow.
Alhasil, meski tidak pernah resmi berperang, sering terjadi kontak senjata di berbagai titik perbatasan Rusia-Ukraina. Menurut laporan PBB, lebih dari 3.000 orang tewas akibat konflik di perbatasan Ukraina sejak Maret 2014 sampai sekarang.
Sejak akhir 2021, Ukraina kembali melakukan kerja sama dengan NATO. Hal itu dianggap Rusia sebagai bentuk provokasi, yang tidak menghormati perjanjian gencatan senjata Minsk. Selain itu, Moskow menuduh Ukraina menyiapkan pasukan untuk merebut wilayah Donbas, dekat Krimea. Asumsi adanya serangan itulah yang membuat Rusia menyiagakan lebih dari 130 ribu personel militer di perbatasan, yang berujung pada kemungkinan invasi ke wilayah Ukraina.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News