Polemik seputar izin operasional PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, memasuki babak baru. Koalisi warga setempat baru saja memutuskan membawa masalah izin kontroversial dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini ke meja hijau. Caranya, dengan menggugat Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai pemberi izin atas tuduhan merusak lingkungan.
Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 23 Juni lalu dengan nomor 46/G/2021/PTUN.JKT. Penggugat diwakili seorang ibu rumah tangga asal Sangihe bernama Elbi Pieter.
“[Meminta majelis hakim] menyatakan batal atau tidak sah keputusan tergugat, yaitu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe [objek sengketa],” bunyi petitum gugatan tersebut, dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta.
Selain pembatalan izin, Menteri ESDM juga dituntut mengganti rugi materiil sebesar Rp1,51 miliar dan imateriil sebesar Rp70 miliar gara-gara pemberian izin ini.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengaku belum mengetahui gugatan ini. Ia menyatakan, Kementerian ESDM sedang mengevaluasi isi Kontrak Karya PT TMS. “Saya baru tahu tentang gugatan tersebut. Proses evaluasi [Kontrak Karya PT TMS] sedang dilakukan,” ujar Ridwan kepada CNN Indonesia.
Pertengahan Juni ini Ridwan sempat menyatakan Kementerian ESDM sedang menyelidiki kemungkinan dilakukannya penciutan wilayah KK PT TMS. Secara resmi, wilayah yang berhak dieksploitasi perusahaan tersebut seluas 42 ribu hektare. Namun, Ridwan mengklaim hanya 11 persennya saja yang punya prospek kandungan tambang, atau seluas 4.500 hektare.
Pernyataan itu keluar tak lama setelah tragedi meninggalnya Wakil Bupati Sangihe Helmud Hontong di atas pesawat, awal bulan ini. Kematian mendadak Helmud menimbulkan sorotan pada aktivitas tambang TMS, sebab Sang Wabup dikenal aktif menolak operasi perusahaan itu di wilayahnya. Sebelum meninggal ia juga sempat mengirim surat ke Kementerian ESDM, meminta izin tambang PT TMS dicabut.
Dalam surat tersebut, Helmud menjelaskan alasan penolakannya. Ia menyebut aktivitas tambang berpotensi merusak alam, membawa racun pada lingkungan, menyalahi UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menghilangkan sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat, dan hanya memberi keuntungan pada pemegang Kontrak Karya.
Penolakan tambang juga memicu gerakan di masyarakat bernama Save Sangihe Island, terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan. “Masyarakat baru mendengar izin lingkungan telah keluar saat TMS melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk pembebasan lahan. Pertanyaannya, kapan dan melibatkan siapa amdal [analisis dampak lingkungan, salah satu syarat izin pertambangan] itu saat dibuat? Bagaimana hasilnya dan mengapa tertutup?” ujar Juru bicara Save Sangihe Island Samsared Barahama kepada BBC Indonesia.
Usai meninggalnya Helmud yang memancing sorotan besar-besaran pada izin PT TMS, Kementerian ESDM membagikan janji. “Pemerintah akan terus melakukan pengawasan untuk memastikan kegiatan PT TMS dilakukan sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik, termasuk dari aspek lingkungan dan keselamatan,” ujar Kepala Pokja Informasi Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sony Heru Prasetyo kepada Tirto.
PT TMS adalah perusahaan pengelola tambang emas di Kepulauan Sangihe sejak 1987. Saham mayoritasnya sebanyak 70 persen dimiliki Baru Gold Corp., perusahaan asal Kanada. Sisa 30 persen dipegang oleh perusahaan Indonesia PT Sungai Balayan Sejati (10 persen), PT Sangihe Prima Mineral (11 persen), dan PT Sangihe Pratama Mineral (9 persen).