Berita  

Warga Menang di Gugatan Polusi Udara Jakarta, Jokowi dan Anies Divonis Langgar Hukum

warga-menang-di-gugatan-polusi-udara-jakarta,-jokowi-dan-anies-divonis-langgar-hukum

Sidang gugatan polusi udara Jakarta yang berjalan lamban selama dua tahun terakhir akhirnya selesai juga. Hari ini majelis hakim PN Jakarta Pusat menepati janji mereka, mengumumkan keputusan atas gugatan tersebut, setelah delapan kali sidang putusan ditunda. Hasilnya mengabulkan sebagian tuntutan penggugat.

Kilas balik bentar sebelum masuk ke isi putusan. Gugatan ini adalah gugatan warga negara (citizen lawsuit), didaftarkan ke PN Jakarta Pusat pada 4 Juli 2019 oleh Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara, Koalisi Semesta (Ibukota). Koalisi terdiri dari Greenpeace Indonesia, LBH Jakarta, Walhi, dan 31 orang. Di antara isi gugatan bernomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst ini: menuntut 7 pejabat pemerintah divonis melanggar HAM karena telah membiarkan perburukan kualitas udara di DKI Jakarta. Pembiaran ini disebut sama saja melanggar hak masyarakat untuk mendapat lingkungan yang baik dan sehat.


Tuntutan lain ialah: Pemerintah merevisi baku mutu udara (BMU) ambien dalam PP 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara agar sesuai standar WHO dan menjamin hak lingkungan hidup yang baik dan sehat. Meminta pemerintah memasang alat pengukur polusi dalam jumlah memadai, sesuai rekomendasi ahli. Memberi info kualitas udara secara real time serta upaya mitigasinya kepada masyarakat. Lalu, agar pemerintah menyusun strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara lebih konkret.

Gugatan ini didaftarkan ke pengadilan setelah peringatan tentang memburuknya kualitas udara Jakarta yang dikirimkan Koalisi kepada tujuh pejabat tersebut pada 5 Desember 2018 diabaikan. Ketujuh pejabat yang digugat ialah Presiden RI, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat.

Menurut laporan Greenpeace usai gugatan itu didaftarkan, sebagian besar hari-hari di Jakarta diwarnai dengan udara berkualitas buruk. Di Jakarta Pusat misalnya, dari semua hari sepanjang 2019, hanya ada 9 hari dengan kualitas udaranya baik. Angka itu naik sedikit pada 2020 (19 hari). Lalu di 2021, sepanjang Januari-Juni hanya ada 6 hari yang mana kualitas udara Jakarta Pusat tergolong baik.

Di luar hari-hari itu, kualitas udara berkisar antara moderat (satu tingkat lebih buruk dari “baik”), berbahaya bagi orang sensitif, hingga berbahaya. Artinya, hampir dalam tiga tahun terakhir, warga Jakarta Pusat tak pernah menikmati udara baik lebih dari tiga minggu tiap tahunnya. 

Dalam sidang putusan hari ini tersebut, majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. “Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian,” kata Hakim Ketua Saifuddin Zuhri, dikutip Detik. Majelis hakim memutuskan bahwa 5 dari 7 tergugat bersalah, yakni Presiden Joko Widodo, Mendagri Tito Karnavian, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kesalahannya: lalai memenuhi hak masyarakat untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

“Menyatakan tergugat 1, tergugat 2, tergugat 3, tergugat 4, dan tergugat 5 telah melakukan perbuatan melawan hukum,” ujar Hakim Saifuddin.

Bentuk perbuatan melanggar hukum itu seperti, Menteri Kesehatan yang tidak memberi informasi kepada masyarakat terkait wilayah dengan kualitas udara buruk. Juga Gubernur DKI yang tidak menyediakan stasiun pemantauan kualitas udara dalam jumlah memadai.

Putusan ini juga menghukum kelima tergugat tersebut untuk membuat sejumlah kebijakan, Menyusun rencana aksi untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta, serta mengawasi pelaksanaan rencana tersebut. Presiden, Mendagri, Menteri LHK, dan Menkes masing-masing diberi satu poin hukuman, sedangkan Gubernur DKI Jakarta sebanyak 11 poin yang daftar lengkapnya bisa dibaca di sini. Selain itu Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten juga diwajibkan ikut serta dalam rencana aksi memperbaiki kualitas udara.

Menurut laporan Air Quality Live Index yang dikutip Koalisi, kualitas udara Indonesia terus memburuk dalam 20 tahun terakhir, khususnya di Jakarta. Di wilayah ini, kadar partikulat (partikel sangat halus) dalam udara—biasa disebut sebagai PM 2,5—sudah enam kali lipat dari ambang batas aman yang ditetapkan WHO (10 mikron per meter kubik). Kondisi itu mulai banyak diketahui publik sejak 2018 lewat laporan real time AirVisual, platform buatan perusahaan pemantau kualitas udara IQAir asal Swiss.

Salah satu kuasa hukum penggugat, Ayu Eza Tiara, memuji putusan ini meski tak semua tuntutan dikabulkan. “Hakim menolak adanya pelanggaran hak asasi manusia di sana, namun yang lainnya terpenuhi,” ujarnya, dikutip rilis pers Koalisi yang diterima VICE. “Meski begitu kami menilai bahwa putusan tersebut merupakan putusan yang tepat dan bijaksana, mengingat dari proses pembuktian di persidangan sudah sangat jelas bahwa pemerintah telah melakukan kelalaian dalam mengendalikan pencemaran udara.”

Greenpeace, salah satu anggota Koalisi, lewat Juru Kampanye Iklim dan Energi Bondan Andriyanu mengapresiasi putusan ini. “Kita akhirnya [akan] bisa menghirup udara bersih melalui hasil putusan dari hakim ini, yang memerintahkan para tergugat untuk serius mengendalikan pencemaran udara. Itu yang kita kampanyekan dari awal,  bahwa pemerintah tidak punya data, tidak punya alat ukur, tidak ada upaya riset dampak kesehatan yang dijadikan dasar untuk bahwa penanganan polusi udara ini jadi prioritas,” kata Bondan kepada VICE.

Bondan berharap, tergugat menerima putusan ini. “Jangan sampai pihak tergugat melakukan banding. Karena sebenarnya ini sudah terbukti bahwa [mereka] tidak melakukan tugasnya.”

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati mengatakan kepada VICE, putusan ini mestinya direspons pemerintah dengan mengevaluasi penyebab polusi udara. “Dampak putusan ini tentu harus ada pengetatan standar BMU [baku mutu udara] secara nasional, yang berarti perlu ada inventarisasi dan evaluasi seluruh penyebab pencemaran udara, dan melakukan langkah-langkah nyata menghilangkan/mengurangi penyebab pencemaran udara tersebut, seperti PLTU batu bara, sistem transportasi yang berbasis kendaraan pribadi, dan lain-lain agar baku mutu udara ambien yang bisa menjamin hak warga atas udara yang bersih bisa dipenuhi.”

“Kalau tergugat tidak memenuhi, maka ini hal patut disayangkan karena yang diminta penggugat sebagai warga hanyalah hak dasar, yang dijamin konstitusi, bukan hal yang muluk-muluk. Jika para tergugat tidak mau memenuhi, patut dipertanyakan kepatuhan para tergugat pada konstitusi negara Republik Indonesia,” tambah Nur Hidayati.

Usai keputusan ini, Koalisi siap sedia membantu usaha pemerintah memperbaiki kualitas udara. “Dan perlu kami tegaskan kembali bahwa tim advokasi Koalisi Ibukota sangat terbuka untuk turut serta dalam perbaikan kualitas udara di Jakarta, serta Banten dan Jawa Barat. Kami juga akan mengawal agar pemerintah betul-betul menuntaskan kewajibannya,” ujar Ayu.

Sebelum gugatan ini dilayangkan, Pemprov DKI Jakarta sudah disorot karena tidak punya cukup alat ukur kualitas udara dan tidak ada sistem laporan real time yang bisa diakses masyarakat. Di awal beroperasinya IQAir di Indonesia, pantauan kualitas udara Jakarta berkali-kali bikin gempar. Kualitas udara Jakarta di jam-jam tertentu berkali-kali jadi nomor satu terburuk sedunia, setelah pandemi sekalipun.

Menurut laporan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), di antara sumber pencemaran udara di Jakarta adalah Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Suralaya yang beroperasi di Banten. Masifnya polutan dari industri ini ditunjukkan dengan tetap tingginya kadar PM 2,5 selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.

Begitu gugatan masuk, Pemprov DKI Jakarta sempat menunjukkan gestur positif dengan menyebut akan beli 10 alat pengukur kualitas udara baru. Sempat ada laporan bahwa alat itu mulai dipasang, namun tak bisa dikonfirmasi apakah jumlahnya memang 10.

Terbatasnya jumlah alat pernah memicu kontroversi karena laporan kualitas udara dari Pemprov DKI Jakarta dan AirVisual berbeda. Menurut pihak AirVisual, perbedaan itu karena Pemprov hanya memakai satu alat milik Kementerian LHK, sedangkan AirVisual menggunakan delapan alat. Selain itu Pemprov juga tak mengukur kadar PM 2,5 seperti dilakukan AirVisual. “Tidak ada yang salah, hanya berbeda cara pengukuran dan data,” terang Director of Air Quality Monitoring IQAir Yann Boquillod, 2019 lalu. 

Putusan ini jelas kabar melegakan bagi penggugat dan masyarakat peduli kualitas udara. Sejak awal persidangan sudah berjalan lambat sehingga diprotes penggugat, salah satunya karena tergugat sering tak hadir.

Khusus sidang putusan yang ditunda delapan kali, Hakim Ketua Saifuddin Zuhri sendiri sampai ditegur Ketua PN Jakarta Pusat. Majelis hakim juga dilaporkan kuasa hukum penggugat ke Komisi Yudisial atas tuduhan melanggar kode etik.