“Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat Paripurna, pada 6 Desember 2022.
“Setuju!’ jawab peserta, dikutip dari CNN Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pengesahan ini menggantikan KUHP sebelumnya, yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Setelah ketok palu, KUHP akan diserahkan kepada pemerintah untuk ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Akan ada pemberian nomor untuk masuk ke dalam lembar negara. Kemudian masa transisi undang-undang baru ini akan berjalan selama tiga tahun.
Sejak mulai dibahas satu dekade lalu, RKUHP sudah sering mendapat penolakan masyarakat. Bahkan demonstrasi mahasiswa lintas kota pada 2019 salah satu pemicunya adalah pasal-pasal problematis di RKUHP. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui draf akhir RKUHP tidak bisa memuaskan semua pihak.
“Perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya [tetap tidak setuju], nanti saya mohon gugat saja di MK,” ujar Yasonna. Pemerintah menganggap KUHP baru ini aturan pidana yang akhirnya memuat nilai-nilai “khas Indonesia”, bukan lagi peninggalan Belanda.
Sehari sebelum pengesahan, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar aksi di depan gedung DPR RI. Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referandum, mengatakan selain masih banyak pasal bermasalah, pengesahan berjalan tidak transparan. Draft akhir baru bisa dibuka dua hari sebelum pengesahan. Pengesahan RKUHP juga dianggap tidak partisipatif. DPR RI dan pemerintah hanya menyosialisasikan, yang berarti hanya berjalan searah.
Setelah pengesahan, Citra dan unsur masyarakat lainnya masih berfokus pada aksi protes untuk menolak pasal-pasal yang bermasalah. “Kami masih percaya dengan kekuatan masyarakat untuk menyatakan ketidaksepakatannya, bisa berdampak [besar] sebetulnya,” kata Citra kepada VICE.
Dia belum bisa menjawab apakah akan menempuh jalur Mahkamah Konstitusi (MK) ataupun tidak. Hal ini lantaran di MK pun, situasinya sulit untuk kembali memberikan kepercayaan pada hal-hal seperti ini. “Kami akhirnya fokus melancarkan aksi protes di berbagai wilayah,” ujarnya.
Citra masih optimis gelombang penolakan yang semakin besar bisa berdampak. Pemerintah dan DPR pun perlu menghargai dan mempertimbangkan aksi protes dari masyarakat. Sebelumnya, pernah ada undang-undang atau aturan yang sudah disahkan, namun lantaran aksi protes berjalan masif, akhirnya ada pembatalan. Sehingga masih ada peluang agar pasal bermasalah di KUHP bisa dibahas ulang.
Peneliti di The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan sejumlah masalah di KUHP baru akan diperbaiki melalui semua cara lain. Pasal yang bermasalah ini bisa dilawan selama masa transisi.
Meski dalam pengesahan masih banyak pasal bermasalah, Maidina menganggap peran dan kerja keras masyarakat sipil dalam mengawal RKUHP juga memiliki dampak yang tidak sedikit.
“Banyak kemajuan RKUHP yang jelas didorong masyarakat, publik kita semua!!! Masyarakat perannya ga kecil di RKUHP ini,” tulis Maidina dalam cuitan di twitternya. “Masyarakat punya [situs semacam] Reformasi KUHP, semua draft dibuka ke publik, catatan rapat selalu dibuat masyarakat. Yang mana ini harusnya kerja Pemerintah dan DPR!.”
Sebagai gambaran, berikut beberapa pasal yang masih dianggap bermasalah oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat
Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu.
Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
2. Pasal terkait pidana mati
Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.
Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional.
Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.
- Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.
4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara
Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.
5. Penghinaan terhadap pengadilan
Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa.
Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.
6. Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan
Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.
7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE
Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.
Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.
8. Larangan unjuk rasa
Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.
Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat
Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.
Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunya merupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.
10. Memidana korban kekerasan seksual
Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
11. Meringankan ancaman bagi koruptor
Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.
12. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat
Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.
Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.