Di Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta pekan lalu, berlangsung kuliah singkat sejarah Tiongkok bab program Lompatan Jauh ke Depan di era Mao Tse Tung. Pemicunya adalah ide DPRD setempat yang ingin menguji coba program jaring perangkap burung pipit. Unggas pemakan padi ini tengah dituding sebabkan gagal panen di kabupaten tersebut.
Menurut Wakil Ketua DPRD Sleman Arif Kurniawan, usulan program dari DPRD tersebut muncul dari keluhan petani. Mereka kemudian merencanakan pengadaan jaring perangkap emprit, nama lokal untuk burung pipit, buat menekan kerusakan panen, dengan anggaran sebesar Rp120-140 juta. Program ini bakal diuji coba di Sleman Barat.
“[Akan dilakukan uji coba di] Sleman Barat, karena memang satu, serangan empritnya sangat masif. Kedua, kita uji coba di lahan kecil dulu untuk kemudian selanjutnya akan kita evaluasi efektivitas dan dampaknya bagi kehidupan emprit itu sendiri,” kata Arif dilansir Detik.
Begitu sampai di telinga Ketua Pengurus Yayasan Wahana Gerakan Lestari Indonesia (Wagleri) Hanif Kurniawan, ia segera menolak usulan tersebut karena tidak disertai kajian ilmiah. Menurutnya, burung pipit bukan sekadar hama sebab tidak hanya makan padi, namun juga rumput dan gulma yang mengganggu pertanian.
“Kajian ekologisnya seperti apa kan tidak ada. Apakah kita mau mengulang kebodohan kebijakan Mao Zedong di Tiongkok? Kan gitu. Bagaimana kemudian pembasmian burung pipit itu malah menjadi malapetaka di sana. Ini Jogja loh, dengan beberapa puluh kampusnya, kenapa tidak kemudian mereka dilibatkan untuk kemudian kita jajaki dan memberikan solusi terbaik?” kata Hanif dilansir Suara.
Pembasmian burung pipit di Tiongkok terjadi pada 1958 hingga 1962, bagian dari revolusi komunis dalam rangka program Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward) yang diluncurkan pemimpin Partai Komunis Tiongkok, Mao Tse Tung. Penulis sejarah Kelaparan Besar 1950-an, Yang Jisheng, dalam bukunya Tombstone menggambar program ini sebagai “rencana memodernisasi seluruh ekonomi Tiongkok yang sangat ambisius sampai-sampai berubah menjadi kegilaan.”
Salah satu rencana aksi program ini adalah Kampanye Empat Hama. Bertujuan memperbaiki kesehatan rakyat, empat hama diburu habis-habisan, yakni nyamuk, tikus, lalat (karena menjadi penyebar penyakit), dan burung pipit (karena memakan biji-bijian yang ditanam petani). Perburuan yang melibatkan 3 juta orang tersebut berhasil menghabisi 1 miliar burung pipit di negara tersebut.
Namun yang kemudian terjadi adalah ketidakseimbangan ekologis. Hasilnya, setelah pipit langka, hama belalang justru meledak membuat produksi pertanian semakin turun. Kelangkaan bahan pangan akibat perburuan pipit menjadi salah faktor yang memperparah Wabah Kelaparan (Great Chinese Famine) sepanjang 1958-1962, berperan pada meninggalnya 45 juta penduduk Tiongkok selama kurun tersebut.
Trauma ketidakseimbangan ekologis akibat disingkirkannya salah satu bagian rantai makanan dikhawatirkan peneliti Pusat Peneliti Biologi Pusat Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Haryoko.
“Tentu [dengan pembasmian pipit] keseimbangan ekosistem alaminya akan terganggu. Burung pipit atau bondol merupakan salah satu hewan yang berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Burung ini berperan sebagai konsumen I dalam rantai makanan suatu ekosistem,” kata Tri kepada Kumparan.
Tri memberi beberapa masukan agar panen petani aman tanpa harus membasmi burung pipit. Pertama, dengan melakukan penanaman secara serentak agar burung pipit tidak berkumpul dan menyerang satu wilayah saja. Kedua, memasang alat bantu seperti orang-orangan sawah dan bunyi-bunyian untuk mengusir burung.
Kekhawatiran pegiat konservasi tersebut sudah didengar Arif. Ia berjanji DPRD akan melakukan kajian dengan akademisi guna memastikan penanggulangan hama tidak berseberangan dengan upaya pelestarian lingkungan.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sidomulyo di Sleman, Jumeni, sepakat dengan usulan Tri. Panen serentak ia sebut bisa menekan kerugian panen. “Ya sebenarnya kalau pas nanem padi serempak itu tidak terasa, tapi kalau panen padinya tidak serempak atau hanya spot-spot, itu bisa habis dimakan burung pipit itu,” kata Jumeni kepada Ayo Jogja.
Namun, Jumeni juga menyetujui usulan jaring untuk menangkap burung pipit. “Dijaring pun tidak masalah. Habitat masih ada, kalau dipasang jaring nanti cuma berkurang [jumlahnya] kalau secara alam masih [ada]. Taruhlah ada seribu ekor burung lalu yang terjaring nanti hanya 40 persennya saja,” tambah Jumeni.
Walau jarang menjadi isu nasional, sebenarnya hama pertanian masih jadi problem krusial di sejumlah daerah. Di Sragen, Jawa Tengah, cara petani menghalau hama tikus bolak-balik memakan korban manusia selama bertahun-tahun, padahal dinas pertanian setempat sudah melarang pemakaian alat setrum.
Hama lain seperti keong, wereng, dan jamur juga bikin pusing petani di Aceh, Madiun, dan Tulungagung. Yah, revolusi 4.0 memang terdengar keren, tapi dalam kasus seperti ini, inovasi memakai burung hantu untuk menghalau tikus sepertinya lebih berguna.