Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta No. 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 1 Agustus 2019, rupanya terus mengundang perdebatan.
Sesuai namanya, aturan tersebut memuat langkah-langkah pembersihan udara di wilayah ibu kota, salah satunya dari polusi kendaraan bermotor. Satu aturan yang paling disorot, Anies meminta tak ada lagi mobil dan motor pribadi berumur lebih dari 10 tahun lewat jalanan Jakarta.
“Serta memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dari 10 tahun yang dapat beroperasi di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2025. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta agar menyiapkan rancangan Peraturan Daerah tentang Pembatasan Usia Kendaraan di atas 10 tahun pada tahun 2020,” perintah ingub tersebut.
Selain soal pembatasan usia kendaraan pribadi, turut dijabarkan beberapa kebijakan bertujuan menekan polusi. Misalnya: memperluas wilayah ganjil-genap, mengubah tarif parkir, memungut biaya dari pengguna jalan, menguji emisi kendaraan berkala dan ketat, membangun fasilitas transportasi publik dan pejalan kaki, mengadakan tanaman berdaya serap polutan, membangun gedung dengan prinsip hijau, memasang instalasi solar panel di atap gedung-gedung publik, dan merintis peralihan ke energi terbarukan demi mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Khusus aturan mobil usia di atas 10 tahun harus pensiun mendapat sambutan “meriah” dari warga DKI. Dewantoro Dwiputro, pegawai swasta 29 tahun, menyebut rencana tersebut seperti memaksa masyarakat mengganti mobil secara berkala, padahal tak semua orang bisa beli mobil baru.
Banyak kalangan tetap butuh kendaraan pribadi untuk membantu kegiatan sehari-hari. “Masih ada masyarakat yang punya pola pikiran berbeda, misal yang penting punya kendaraan, meski di atas 10 tahun. Daya beli masyarakat juga kebanyakan mungkin beli yang bekas,” kata Dewantoro kepada CNN Indonesia.
Poin umur kendaraan juga ditolak oleh penggemar dan pemakai mobil tua. Helmi Sarosa, salah satunya. Ia membantah hobinya dianggap sebagai pemicu polusi oleh pemerintah. “Jangan kambing hitamkan kami karena kami hanya bagian kecil yang menyumbang polusi di DKI Jakarta,” kata Helmi kepada Carmudi.
“Coba dilihat saja, ada berapa mobil tua yang dipakai untuk harian? Jumlahnya bisa satu banding ratusan unit di jalan. Oleh karena itu, aturan tersebut kalau bisa ditinjau ulang atau dipertimbangkan kembali. Karena kami biasa keluar hanya di hari libur atau hari besar. Itu kami lakukan untuk sekadar memanaskan mobil dan kumpul bersama pencinta mobil berumur lainnya.”
Wakil Ketua Ikatan Motor Indonesia Rifat Sungkar meminta pemerintah tidak memukul rata mobil berusia di atas 10 tahun sebagai penyumbang polusi. “Jangan generalisasi kata tua, mobil tua itu bisa 10 tahun atau 100 tahun. Terus ada mobil klasik, itu umurnya di atas 25 tahun. Kalau kita berkaca dari negara-negara maju memang ada pembatasan untuk kendaraan 10 tahun. Tapi, kalau kendaraan klasik itu dilindungi spesiesnya di seluruh dunia,” kata Rifat kepada Kompas.
Rifat menjelaskan mobil tua turut berkontribusi menciptakan ekosistem bermanfaat bagi industri otomotif, seperti jasa jual-beli mobil bekas, spare part, dan jasa bengkel. Melakukan pembatasan sama saja merugikan banyak pihak.
Anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak yakin pelarangan mobil tua akan menimbulkan masalah baru, salah satunya semakin marak pembelian mobil-mobil baru. “DKI bakal larang mobil di atas 10 tahun beroperasi, tapi kan pajak pembelian mobil di bawah 1.500 cc nol persen. Otomatis, orang bakal pindah banyak beli mobil baru yang nol persen. Transportasi umum sekarang belum menjangkau semua, Jak Lingko [angkot Jakarta] juga masih minim. Orang akan pindah transportasi publik kalau fasilitas itu sudah lebih nyaman [bukan karena dihambat punya mobil tua],” kata Gilbert dilansir Tribunnews.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengapresiasi instruksi tersebut yang bertepatan dengan sidang perdana gugatan warga tentang polusi udara Jakarta pada 1 Agustus 2019. Namun, ada beberapa hal kunci yang menurutnya perlu segera dilaksanakan selain poin-poin dalam ingub.
Pertama, inventarisasi emisi secara berkala sebagai dasar kajian ilmiah untuk mengetahui sumber pencemaran udara Jakarta demi mengendalikan polusi langsung pada sumbernya. Kedua, menyediakan alat ukur kualitas udara yang memadai dan mudah diakses publik. Ketiga, membuat sistem peringatan agar masyarakat mempersiapkan diri untuk menghadapi kualitas udara buruk.
Diketahui pada Juli 2019, sebanyak 31 warga Jakarta mendaftarkan gugatan atas hak mendapatkan udara bersih ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan ke tujuh pihak: Presiden, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat. Proses persidangan masih berjalan hingga hari ini.