Berita  

Usai Secuil Otaknya Diangkat, Lelaki asal AS Tak Lagi Bisa Merasakan Takut

usai-secuil-otaknya-diangkat,-lelaki-asal-as-tak-lagi-bisa-merasakan-takut

Hingga usia 28 tahun, Jody Smith selalu dihantui ketakutan akan mati tiba-tiba. Ayah dan kakaknya meninggal ketika Jody masih sangat muda, insiden yang membuatnya trauma. Dia juga belakangan didiagnosis mengalami gangguan sistem saraf yang berisiko membahayakan kesehatannya. Intinya, nyaris selama hidup, Jody kerap merasa takut atas banyak hal.

Semua rasa takut itu hilang setelah secuil bagian otaknya diangkat lewat operasi.


Jody, warga Kota New York, Amerika Serikat, menjalani operasi amigdala sebelah kanan pada 2017. Tim dokter mengangkat jaringan saraf dari otaknya yang fungsinya merespons ancaman terhadap tubuh, mengendalikan indra penglihatan dan peraba, serta memicu emosi yang lazimnya disebut sebagai “rasa takut”.

Kini, Jody secara klinis tak bisa merasakan takut, setidaknya di level yang dipicu rangsangan saraf tubuh.

“Ketika saya bilang tidak lagi merasa ‘takut’, maka itu perasaan yang secara unik biasa dialami manusia ketika mengalami atau memikirkan ancaman yang sifatnya nyata,” demikian ujar Jody, saat diwawancarai VICE via email. “Takut ditolak cewek idaman atau atau takut gagal merupakan takut konseptual. Sementara dalam kasus saya, tidak ada lagi rasa takut mengalami cedera atau kematian. Saraf saya tidak lagi bisa memproses rasa takut untuk situasi tersebut.”

Jody juga menyatakan, kini dia jadi terbiasa memikirkan risiko suatu aktivitas “lewat proses logis”, bukan lagi emosional.

jody smith 1
Jody Smith selepas menjalani operasi otak yang membuatnya tidak lagi merasakan takut pada 2017. Foto dari arsip pribadi

Jody baru tahu kalau mengidap epilepsi di usia 26 tahun. Sebelum diagnosis itu, dalam sehari dia bisa mengalami serangan panik lebih dari tiga kali. Jody juga kerap merasa bakal pingsan tanpa alasan. Pernah suatu ketika Jody keluar ruangan dari acara keluarga untuk jalan-jalan cari angin sejenak, tiba-tiba tanpa dia ingat persis kronologinya, tubuhnya merangkak di trotoar seperti orang mabuk yang tak bisa mengontrol diri. Sebelum tahu kalau mengidap epilepsi, dia terbiasa mengandalkan terapi obat, karena mengira mengalami gejala depresi klinis.

Karena serangan panik itu kian memburuk, Jody terpaksa ke dokter, dan mendapatkan vonis yang membuatnya masygul. Tanpa operasi otak, maka gejala epilepsinya bisa lebih sering kambuh dan sangat mungkin membahayakan nyawanya.

“Dokter saat itu bilang kalau saya tidak mengambil risiko operasi, maka otak saya bisa rusak lebih parah dan tentunya, membuat saya mati,” ujar Jody.

Setelah dilakukan analisis mendalam oleh tim spesialis neurologi di New York, kemungkinan bagian otak yang memicu berbagai gejala epilepsi Jody ada di wilayah otak besar, tepatnya di sisi kanan amigdala, serta bagian kanan hippocampus (bagian dari sistem limbik, yaitu pusat kendali reaksi emosional tubuh manusia).

Saat operasi, ternyata hanya secuil bagian amigdala yang diangkat sepenuhnya. Sementara bagian lobus temporal dan hippocampus otaknya oleh tim bedah sekadar “disusun ulang”. Operasi berjalan lancar dan kondisi Jody stabil. Sesudah tiga hari perawatan rutin, Jody diperbolehkan pulang dari RS. Dua minggu kembali ke rumah, dia mulai merasakan perubahan dalam dirinya.

“Saya tiba-tiba tidak lagi merasakan kecemasan berlebih soal konsep mati,” ujarnya.

Tidak lagi merasa takut mungkin dianggap sebagian pembaca sebagai hal positif. Namun, untuk Jody, ada sejumput kerugian yang perlahan dia rasakan setelah tidak lagi bisa merasakan takut. Tepatnya, setahun setelah operasi tersebut.

Insiden yang membuat Jody Smith menyadari kerugian tak bisa merasa takut terjadi di Kota Newark, New Jersey, pada 2018. Dia sedang santai berjalan di trotoar, ketika lima orang lelaki mendekatinya. Seorang perempuan di seberang jalan berteriak memperingatkan Jody agar lari. Dia sadar akan menjadi korban perampokan, tapi tubuhnya sama sekali tidak panik. Jody terus berjalan santai, melihat wajah calon penyerangnya. Lima lelaki itu, yang salah satunya bersenjata, tiba-tiba merasa gentar. Mereka mundur teratur dan membiarkan Jody melanjutkan perjalanan.

“Kayaknya mereka bingung, atau malah takut, melihat si calon korban justru santai merespons ancaman,” kata Jody.

Beberapa bulan setelahnya, dia mengalami insiden lain. Seekor laba-laba menggigit tangannya. Tanpa dinyana, Jody hanya memandangi luka di telapak tangannya.

“Saya sadar, ‘wah tangan saya sakit’, tapi tidak ada reaksi apapun dari tubuh. Saya cuma berpikir, ‘saya digigit laba-laba nih, apa ya yang harus saya lakukan selanjutnya’,” urai Jody.



Karena penasaran dengan ‘kemampuan otaknya’ selepas operasi, Jody terus bereksperimen dengan berbagai pengalaman mendekati maut. Dia sengaja berdiri di tepian jurang atau tebing ketika hiking. Tidak ada lagi adrenalin yang terpacu ketika kakinya hanya selangkah lagi jatuh, tidak ada keringat dingin di telapak tangan. “Saya tentu saja tidak pengin jatuh atau mati, saya masih sadar akan konsekuensi logis tindakan saya [berdiri di tepian jurang]. Hanya rasa takutnya yang hilang sama sekali.”

Jody kehilangan insting dasar manusia, seperti terkesiap, melonjak, menoleh, atau bahkan berkeringat deras, ketika dihadapkan pada situasi yang bisa membahayakan nyawanya.

Ketika akhirnya berkonsultasi dengan tim dokter spesialis saraf yang dulu mengoperasinya mereka sama sekali tidak terkejut. “‘oh, [tidak lagi merasa takut] gejala yang masuk akal, karena kami memang mengangkat amigdala-mu’,” ujar Jody menirukan sang dokter.

jody smith 3
Ini rekaman operasi otak Jody yang membuatnya kehilangan rasa takut. Ada pasien lain yang mengalami hal serupa ketika amigdala mereka dioperasi.

Dr Sanne van Rooij, guru besar bidang psikiatri dan perilaku manusia di Emory University Amerika Serikat, selama lebih dari dua dekade mempelajari fungsi amigdala bagi tubuh manusia. Dia mengakui, kasus Jody sangat mungkin terjadi, dan bukan pertama kalinya dialami manusia setelah operasi otak.

“Saya punya catatan perilaku beberapa pasien epilepsi yang juga kehilangan rasa takut setelah melalui proses operasi seperti dialami Jody,” ujar Rooij kepada VICE.

Van Rooij dan beberapa rekan peneliti mengamati perilaku dua pasien yang didiagnosa mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Karya ilmiah itu terbit pada 2020, dengan kesimpulan bahwa gangguan di amigdala adalah pemicu munculnya stres yang dialami kedua pasien. Ketika bagian amigdala tersebut diangkat lewat operasi, keduanya sudah tidak lagi menunjukkan berbagai gejala PTSD. Namun, memang ada efek samping ketika proses operasi tersebut dilaksanakan. Pasien jadi kehilangan beberapa refleks dasar dan kemampuan untuk fokus.

“Dari pengamatan kami, basolateral amigdala adalah jaringan saraf penting di otak yang memproses kategori ancaman bagi tubuh, dibantu pasokan informasi dari hippocampus,” ujar Van Rooij. “Ketika jaringan saraf tersebut dipotong atau diangkat, maka kemampuan sensorik tubuh mengenali informasi yang masuk kategori ancaman menghilang perlahan-lahan.”

Salah satu kerugian yang langsung terasa ketika amigdala tidak berfungsi normal, adalah ketidakmampuan tubuh orang seperti Jody untuk memasok adrenalin ke otak, sulit fokus pada satu hal, serta melemahkan otot-otot refleksnya.

Kasus lain sejenis yang cukup terkenal adalah Alex Honnold, pendaki tanpa alat bantu yang berhasil menaklukkan puncak El Capitan di Pegunungan Yosemite. Pada 2017, dia mendaki bukit setinggi 2.307 meter di pegunungan tersebut tanpa memakai tali atau harnes sama sekali. Keberanian Honnold terhitung tidak normal, bahkan untuk kriteria pendaki berpengalaman.

Ilmuwan neurosains kemudian melakukan proses MRI ke otak Honnold, dan berkesimpulan bahwa sang pendaki punya kelainan di otak, lantaran bagian amigdalanya kecil sekali, bahkan nyaris tidak ada. Itu sebabnya selama mendaki bukit vertikal tanpa tali, dengan risiko jatuh sewaktu-waktu, tangan dan kaki Honnold tidak pernah gemetar.

Menurut Van Rooij, bagi orang yang tak lagi bisa mengalami takut seperti Jody atau Honnold, maka solusinya adalah harus secara matang memperkirakan situasi. Selama tidak secara sengaja mendatangi situasi berbahaya, maka mereka akan baik-baik saja.

“Di masa modern, perilaku dan ancaman bagi manusia sudah berbeda jauh dibanding di masa prasejarah, ketika kemampuan bertahan hidup manusia purba sangat membutuhkan berbagai rangsangan dan skenario ancaman ke otak,” kata Rooij.

Jody sendiri tidak menganggap kemampuannya sekarang istimewa. Dia justru lebih berhati-hati, karena tidak ingin meremehkan ancaman di sekitar tanpa disadari.

Satu-satunya hal yang dia syukuri setelah tidak lagi bisa merasa takut adalah lebih rileks menghadapi berbagai problema kehidupan. Jody dulu orang yang punya fobia berlebih terhadap benda kotor. Kini dia lebih santai cuci tangan jika memang kotor. Begitu pula soal kematian.

“Setidaknya, saya dulu merasa terbebani karena sangat takut mati. Sekarang, insting-insting yang masih ada di diri saya bisa lebih wajar merespons situasi yang ada,” ujarnya.

jody smith 4
Jody pernah berdiri di tepian jurang dan tak lagi merasa takut setelah operasi otak.

Jika lebih banyak hal positifnya, apakah berarti manusia lebih baik membuang amigdala sebelah kanan dan menghilangkan rasa takut? Menurut Van Rooij, jawabannya adalah “ya” dan “tidak”.

Amigdala perlu dioperasi, jika dan hanya jika, kerjanya selama ini memang mengalami gangguan. Jody atau dua pasien PTSD yang dia teliti mengalami problem kesehatan mental karena sejak awal amigdalanya bermasalah. Tapi, jika kalian punya otak yang normal, mempertahankan saraf yang bisa merangsang rasa takut tetaplah penting agar manusia mawas diri dalam bertindak. Rasa takut, secara konseptual, juga selama ini berperan membuat manusia memiliki harapan dan memikirkan masa depan.

jody smith 5
Jody Smith, kini 32 tahun, berusaha hidup tanpa lagi merasa takut pada kematian.

“Amigdala dibutuhkan tubuh kita untuk melatih berbagai respons gerak di situasi darurat. Jadi orang yang sehat justru membutuhkan rasa takut supaya bisa menyadari kalau ada masalah atau tubuhnya sakit,” kata Van Rooij.

Tapi, kalau memang karena satu dan lain hal bagian dari amigdala kita diangkat, kasus Jody Smith membuktikan bahwa manusia bisa tetap hidup normal tanpa rasa takut. Perasaan takut itu jadi lebih mirip sakit kepala atau nyeri di tubuh. Pada akhirnya, rasa takut adalah hal yang normal, bermanfaat bagi tubuh (manusia sehat), dan sebaiknya kita terima sebagai keniscayaan hidup.

Follow Gavin di Twitter