Semakin hari, kian meningkat risiko yang harus ditanggung oleh para tenaga kesehatan selama pandemi Covid-19. Mereka harus bertaruh nyawa sebagai garda terdepan yang harus merawat para pasien dan seringkali terpaksa berganti peran dirawat, atau yang terburuk, justru meregang nyawa.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sejak Maret 2020 hingga 17 Juli 2021, sebanyak 545 dokter mengembuskan napas terakhir. Sepanjang bulan ini saja, jumlah kematian meningkat dua kali lipat (114) dibandingkan Juni (51). Ini merupakan angka kematian dokter paling tinggi dalam 1,5 tahun terakhir, terutama setelah varian Delta mendominasi penularan kasus di Indonesia.
Ketua Pelaksana Harian Mitigasi Pengurus Besar IDI Dr. Mahesa Paranadipa mengungkap sebagian besar dokter yang meninggal dunia berlokasi di Pulau Jawa.
Lewat diskusi media bertajuk Update kondisi Dokter dan Strategi Upaya Mitigasi Risiko Mencegah Kolapsnya Fasilitas Kesehatan pada hari Minggu (18/7) lalu, Mahesa menyebut ada 110 dokter yang gugur di Jawa Timur, 83 di DKI Jakarta, 81 di Jawa Tengah, 76 di Jawa Barat, dan 38 di Sumatera Utara.
Dari jenis kelamin, mayoritas adalah laki-laki lantaran mereka paling banyak ditugaskan di area isolasi Covid-19. Dokter perempuan juga ada yang bertanggung jawab untuk zona tersebut, tetapi jumlahnya lebih sedikit.
Sedangkan menurut spesialisasi, dokter umum menjadi kelompok paling rentan. Kemudian disusul oleh spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis penyakit dalam, spesialis anak, serta spesialis bedah. Mahesa mengatakan para dokter spesialis tak terlalu diterjunkan untuk menangani pasien Covid-19 mengingat kebanyakan sudah berusia lanjut dan mempunyai penyakit penyerta.
IDI mengingatkan bahwa mereka bukan sekadar bagian dari statistik, melainkan nyawa-nyawa manusia yang hilang karena beban pekerjaan terlalu berat. “Overload beban kerja yang terus-menerus dan dalam waktu lama bisa menyebabkan sindrom burnout, kondisi kelelahan yang dapat menurunkan imunitas teman-teman sejawat dokter dan tenaga kesehatan lainnya,” tutur Mahesa.
Tidak hanya dokter, para perawat pun mendapatkan risiko serupa. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat ada 445 orang yang meninggal dunia per 18 Juli 2021. Penyebabnya sama yaitu kelelahan yang terus-menerus baik dari sisi fisik maupun mental berdampak pada anjloknya daya tahan tubuh yang membuat penularan lebih mudah terjadi, apalagi mengingat lokasi kerja mereka layaknya zona pertempuran antara manusia melawan virus.
Oleh karena itu, organisasi tersebut meminta agar pemerintah lebih memberikan perhatian terhadap kondisi mereka sehingga tidak ada lebih banyak dokter yang berguguran. Selain itu, semua elemen masyarakat pun diminta untuk mengambil bagian dalam penanganan pandemi, dimulai dari tertib mematuhi protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi.
IDI sempat menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo pada Juni lalu mengenai situasi di lapangan yang diprediksi akan berakibat sangat buruk terhadap fasilitas kesehatan (faskes). Waktu itu, IDI sebagai salah satu organisasi yang menaungi tenaga kesehatan (nakes) mengingatkan tanpa pengendalian mobilitas masyarakat oleh pemerintah, sistem kesehatan di Indonesia bisa terancam ambruk.
Di tengah lonjakan kasus harian dan faskes yang kolaps, pemerintah mengambil langkah pengalihfungsian tempat tidur di beberapa rumah sakit.
Keterangan pers yang diterima VICE pada minggu lalu merinci instruksi Kementerian Kesehatan untuk rumah sakit yang melayani pasien Covid-19 agar mengalihfungsikan 40 persen kapasitas sebagai ruang isolasi di zona merah, 30 persen di zona oranye, dan 20 persen di zona kuning. ICU di zona merah ditambah sebanyak 25 persen, di zona oranye 15 persen, dan di zona kuning 10 persen bagi pasien Covid-19.
Meski begitu, jika penambahan ruangan tidak disertai dengan pertimbangan soal sumber daya para nakes, maka risiko bukan hanya ditanggung oleh pasien, melainkan juga para tenaga yang memberikan perawatan. Hal ini pernah disampaikan oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan Abdul Kadir ketika melakukan jumpa pers bulan lalu. “Perkembangan kasus tidak bisa diikuti ketersediaan nakes dan bed,” kata dia.
Agar tidak timpang, pihaknya kejar target untuk penambahan sumber daya manusia (SDM). Meski mengakui bahwa proses perekrutan nakes berjalan singkat, dia membantah pemerintah melakukan upaya seadanya.
“Nakes ini akan kami persiapkan dengan baik dalam waktu yang singkat melalui kegiatan on the job training. Jadi mereka pekerja baru akan kita dampingi, kemudian akan beri bimbingan secara terus-menerus pada saat bekerja sampai nantinya mereka layak untuk bisa bekerja secara mandiri,” jelasnya.
Beberapa hari terakhir muncul pemberitaan tentang perekrutan relawan dari kalangan mahasiswa Ilmu Kedokteran maupun yang belajar tentang kesehatan, salah satunya diserukan oleh Wali Kota Makassar M. Ramdhan Pomanto.
“Kami masih membutuhkan sekitar 500 orang, baik itu sebagai laboran (tenaga laboratorium) atau surveilans untuk bergabung di tim Covid-19 Hunter, serta menerima laporan hasil tracing yang terkonfirmasi setiap harinya,” ujarnya.
Perkara jumlah SDM dan mudahnya para nakes terpapar virus akibat kelelahan menjadi pertimbangan bagi Kementerian Kesehatan untuk memberikan booster atau vaksin dosis ketiga bagi mereka. Penyuntikan dimulai pada Jumat pekan lalu (16/7) terhadap nakes yang bertugas di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan lewat keterangan pers yang diterima VICE bahwa pemberian booster ditujukan untuk lebih melindungi mereka. “Harapan saya segera para nakes diberikan booster yang ketiga untuk bisa melindungi mereka sehingga mereka bisa bekerja dengan lebih tenang,” kata Budi.