Pemerintah Jepang menyelenggarakan upacara kenegaraan saat memakamkan mendiang Shinzo Abe pada 27 September 2022. Mantan perdana menteri yang tewas ditembak saat berpidato itu dimakamkan secara megah di Ibu Kota Tokyo, namun memicu banyak kecaman dari warga. Penduduk Jepang terbelah, ada yang menganggap upacara itu wajar, namun sebagian menganggapnya terlalu memboroskan anggaran.
Untuk pertama kalinya dalam 55 tahun terakhir, pemerintah Jepang menggelar pemakaman kenegaraan.
Di luar area pemakaman, muncul dua kubu. Sebagian adalah warga yang mengantre untuk meletakkan bunga mengenang Abe, sementara diperkirakan ribuan orang menggelar unjuk rasa memprotes acara yang dianggap bermewah-mewahan itu.
Ongkos upacara kenegaraan untuk melepas mendiang Abe dilaporkan mencapai 1,7 miliar Yen (setara Rp185 miliar), mencakup prosesi tembakan salvo 19 prajurit. Protes tidak hanya berlangsung di tengah acara pemakaman. Beberapa politikus partai oposisi menggelar boikot dengan menolak datang. Ada pula seorang lansia berusia 70-an membakar diri untuk memprotes mahalnya biaya pemakaman Abe.
“Saya benar-benar tidak menyangka karena kabinet ini ngotot menggelar upacara pemakaman semewah ini tanpa meminta persetujuan parlemen,” ujar Kaoru Kinoshita, warga Tokyo yang ikut dalam demonstrasi menolak pemakaman megah Abe saat diwawancarai VICE World news. “Saya meyakini setiap rencana membelanjakan uang pajak rakyat harus disampaikan ke wakil kami di parlemen.”
Jajak pendapat yang digelar oleh surat kabar Mainichi Shimbun menunjukkan mayoritas responden menolak upacara kenegaraan yang terlalu mahal. Alasannya, kondisi perekonomian Jepang sedang tidak baik dan seharusnya dana sebesar itu bisa digunakan untuk kebijakan yang lebih mendesak bagi kemaslahatan masyarakat.
Faktor lain yang membuat citra Abe tidak terlalu positif, bahkan setelah dia meninggal, adalah karena dia terbukti memiliki hubungan dengan Gereja Unifikasi. Tetsuya Yamagami, yang menembak Abe saat berpidato di pinggir jalan kota Nara pada Juli lalu, mengaku sebenarnya mengincar petinggi Gereja Unifikasi. Lelaki berusia 41 tahun itu mengaku ingin membunuh Hak Ja Han, istri mendiang pendiri Gereja Unifikasi asal Korea Selatan. Tetsuya sudah lama membenci gereja yang telah membuat ibunya bangkrut. Namun, sulit baginya untuk membalas dendam langsung ke petinggi gereja, sehingga Yamagami melampiaskannya kepada Abe, yang ia yakini memiliki hubungan dengan gereja.
Awal September ini, Partai Liberal Demokratik Jepang, yang menaungi Abe maupun Perdana Menteri Jepang saat ini, Fumio Kishida, mengakui bahwa 179 anggotanya di parlemen, dari total 379 orang, pernah berinteraksi dengan gereja Unifikasi. Hal ini memicu kecaman masyarakat. Bahkan popularitas Kishida anjlok hingga titik terendah sejak menjabat merujuk data Nikkei, karena sang PM mengakui pernah menghadiri undangan Gereja Unifikasi.
Tadao Miyagi, penduduk Tokyo berusia 68 tahun, menganggap pemerintah tidak selayaknya menggelar upacara kenegaraan untuk mendiang politikus yang punya hubungan dengan aliran keagamaan yang merugikan masyarakat. Gereja unifikasi terkenal sering menjerat anggotanya agar menyetorkan dana besar dengan dalih meningkatkan keimanan.
“Gereja itu adalah kelompok keagamaan yang buruk citranya,” ujar Miyagi saat diwawancarai VICE. “Jika pemerintahan Kishida ngotot menggelar upacara megah saat menguburkan Abe, maka seharusnya minta saja duitnya ke gereja unifikasi, jangan pakai uang pembayar pajak.”
PM Kishida sendiri sudah meminta maaf secara terbuka pada masyarakat, karena anggota partai liberal demokratik banyak yang memiliki hubungan serta menerima donasi dari gereja unifikasi. Meski banyak penolakan, acara pemakaman berlangsung lancar, dihadiri oleh lebih dari 190 tamu penting berbagai negara, mencakup PM India Narendra Modi, PM Australia Anthony Albanese, serta Wapres Amerika Serikat Kamala Harris.
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.