Seorang lelaki warga negara Irak, yang diadili di Jerman karena status kewarganegaraan istrinya, dijatuhi vonis penjara seumur hidup pada sidang 30 November 2021. Dia terbukti melakukan pembantaian sistematis terhadap warga minoritas Yazidi, selama menjadi anggota organisasi teroris Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).
Lelaki 29 tahun bernama Taha al-Jumailly itu dijerat dengan pasal-pasal yang selama ini jarang dikenakan pada teroris, yakni kejahatan kemanusiaan, genosida, serta kejahatan perang. Pengadilan Kota Frankfurt menjadi yang pertama menghukum anggota ISIS atas tindakan mereka membantai warga penganut agama minoritas di Irak.
Mayoritas anggota ISIS lazimnya dikenai pasal seputar terorisme, tapi tidak pernah mencakup tindakan genosida. Jumailly menjadi teroris ISIS yang pertama terbukti berupaya melakukan pembersihan etnis Yazidi. Sedikit informasi, orang Yazidi, biasanya tinggal di perbukitan wilayah utara Kota Mosul, Irak, tidak menganut agama Islam, melainkan agama monoteistik yang lebih purba dari Yahudi. Namun karena iman yang berbeda itulah mereka jadi sasaran militan ISIS untuk disiksa dan dibunuh. Banyak pula perempuan Yazidi yang kemudian jadi budak seks para teroris khilafah.
Jumailly ditahan di perbatasan Yunani tiga tahun lalu, bersama istrinya Jennifer Wenisch yang berkebangsaan Jerman. Petugas perbatasan Yunani mendapat info bila Jumailly dan istrinya adalah anggota ISIS yang pura-pura jadi imigran, untuk kemudian menyusup ke Eropa. Setelah ditangkap, keduanya diesktradisi ke Jerman dan akhirnya diadili. Wenisch adalah perempuan Jerman yang teradikalisasi ISIS dan akhirnya berangkat ke Irak pada 2014 untuk membantu berdirinya kekhalifahan Islamiyah.
Wenisch, sang istri, sudah lebih dulu dikirim ke penjara pada Oktober 2021. Pengadilan Frankfurt mendapat bukti kuat bila Wenisch membunuh bocah perempuan Yazidi berusia 5 tahun di Kota Fallujah, Irak, pada 2015. Hakim menjatuhkan vonis 10 tahun penjara pada Wenisch.
Jumailly, menurut jaksa penuntut, kerap melakukan penyiksaan sadis pada gadis-gadis Yazidi. Salah satu metodenya adalah mengikat bocah ke kasur, yang kemudian dijemur di tengah terik gurun. Suhu siang hari di gurun bisa mencapai 50 derajat celcius.
Nadia Murad, perempuan Yazidi peraih Nobel Perdamaian 2018, berterima kasih pada pengadilan di Jerman karena berani melakukan terobosan hukuman untuk anggota ISIS yang selama ini diyakini sudah melakukan genosida.
“Vonis [di Frankfurt] adalah kemenangan bagi semua penyintas genosida di Irak dan Suriah, penyintas kekerasan seksual, serta seluruh anggota komunitas Yazidi,” ujar Murad.
Ada ribuan orang Yazidi yang ditahan dan disiksa militan ISIS selama mereka menduduki Irak pada 2014 hingga 2018. ISIS diketahui pernah menggelar operasi khusus ke pedesaan di kawasan Sinjar, secara spesifik untuk mengumpulkan warga Yazidi. Para perempuan dari penganut agama minoritas itu kemudian diperkosa ataupun diperjualbelikan setara budak, karena militan ISIS menganggap halal bagi mereka menyetubuhi orang kafir. Sementara laki-laki Yazidi yang tertangkap mayoritas dieksekusi mati.
Amal Clooney, pengacara HAM berbasis di London, mengapresiasi keputusan pengadilan Jerman memakai pasal genosida. Amal sekian tahun terakhir aktif mendampingi orang Yazidi yang berusaha menggugat balik mantan anggota ISIS yang diadili di berbagai negara Eropa.
Keputusan Pengadilan Frankfurt ini bisa jadi preseden untuk proses tuntutan di sidang-sidang mendatang.
“Inilah momen yang sudah ditunggu-tunggu seluruh orang Yazidi. Akhirnya mereka bisa meyakini kalau yang dialami tujuh tahun lalu adalah genosida. Tidak ada keraguan lagi. ISIS bersalah atas upaya genosida terhadap para penganut Yazidi,” tandas Amal.