Pengembangan lokasi wisata di Taman Nasional Komodo menjadi sorotan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO). Melalui dokumen yang diunggah di situs resmi UNESCO, pemerintah Indonesia diingatkan tentang ancaman yang mungkin menimpa Outstanding Universal Value (OUV) atau aset dengan nilai luar biasa di kawasan tersebut. Dalam hal ini, salah satunya yaitu spesies komodo.
Sebabnya adalah Environmental Impact Assessment (EIA) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sudah diserahkan Indonesia kepada Uni Internasional Untuk Konservasi Alam (IUCN) masih dianggap kurang memadai.
“Kami mendorong negara anggota untuk menangguhkan seluruh proyek infrastruktur pariwisata di dan sekitar properti yang mempunyai potensi berdampak terhadap OUV sampai EIA yang sudah direvisi diserahkan dan dikaji kembali oleh IUCN,” tegas Komite Warisan Dunia PBB.
Seperti diketahui, pemerintah pusat mendorong pembangunan Integrated Tourism Master Plan (ITMP) Labuan Bajo. Titik-titik strategis yang termasuk di dalamnya adalah Taman Nasional Komodo, Pulau Flores dan Rinca yang berada di Nusa Tenggara Timur.
“Pulau Flores ini kita dorong sebagai salah satu destinasi wisata tingkat premium karena punya keunggulan komodo. Saya kira di dunia tidak ada yang punya kecuali di NTT ini,” kata Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada pertengahan tahun lalu, seperti dikutip dari laman resmi lembaga.
Pemerintah Indonesia menargetkan pembangunan selesai sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang rencananya akan digelar di Labuan Bajo pada 2022. Tetapi, kritik bermunculan setelah pada tahun lalu muncul foto memperlihatkan seekor komodo mengadang sebuah truk di tengah proses konstruksi.
Publik khawatir satwa langka dan khas Indonesia itu akan punah akibat kecerobohan pemerintah, khususnya usai muncul komentar tentang pembangunan taman mirip ‘Jurassic Park’ oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan. Merujuk data 2015 sampai 2019, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ada 2.430 sampai 3.022 ekor komodo yang hidup di kepulauan NTT.
Greenpeace, lewat keterangan pers yang diterima VICE, mengingatkan pembangunan tempat wisata tidak bisa didasarkan pada kepentingan pemilik modal yang bersifat eksploitatif sebab justru akan sangat merugikan alam. Begitu lingkungan rusak, perekonomian pun tidak bisa bertahan.
“Pengembangan bisnis pariwisata yang merusak ekosistem seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, perlu mendapatkan perhatian serius,” kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace di Asia Tenggara Tata Mustasya.
UNESCO beranggapan serupa. Apalagi pembangunan di Pulau Padar yang lokasinya berdekatan dengan Taman Nasional Komodo dilakukan tanpa memberitahu Komite Warisan Dunia. Pada 9 Maret 2020, surat pun dilayangkan kepada pemerintah Indonesia untuk meminta informasi lebih lengkap mengenai ITMP.
Pada Oktober 2020, Pusat Warisan Dunia UNESCO mengirim surat ke Jakarta yang isinya meminta pemerintah agar “tidak melanjutkan proyek infrastruktur pariwisata apa pun yang bisa berdampak terhadap OUV di kawasan sebelum ada kajian ulang EIA oleh IUCN”.
Indonesia, pada momen yang sama, menyerahkan EIA pembangunan Pulau Rinca. Hanya saja, karena dianggap masih tidak sesuai pedoman, Indonesia diminta memperbaikinya.
Beberapa isu yang jadi perhatian UNESCO adalah soal berkurangnya luas area habitat alami hingga sepertiga, target peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, dan isu pembangunan tanpa AMDAL yang dimungkinkan oleh UU Cipta Kerja. Dua kali surat dilayangkan masing-masing pada Januari dan Maret 2021, tetapi pemerintah belum juga memberikan tanggapan.
“Upaya yang sedang berlangsung untuk mengembangkan sebuah ITMP sudah dimengerti, tetapi masih belum jelas sejauh mana ITMP mempertimbangkan status Warisan Dunia dan nilai-nilai properti atau seberapa banyak properti yang akan tercakup di dalamnya,” tulis UNESCO dalam laporannya.
Pulau Komodo mendapatkan label sebagai Situs Warisan Dunia pada 1991. Untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan dan ancaman kepada komodo, UNESCO merekomendasikan Komite Warisan Dunia untuk meminta akses pengawasan bersama atas lokasi-lokasi ITMP di Nusa Tenggara Timur.
Indonesia diminta agar menyampaikan laporan terbaru mengenai pembangunan ITMP kepada Komite Warisan Dunia paling lambat pada 1 Februari 2022.
Jodi Mahardi, juru bicara kementerian yang dikomandoi Luhut, mengatakan pemerintah sudah tahu soal permintaan UNESCO untuk menangguhkan pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Hanya saja, dia tidak menegaskan apakah pemerintah akan memenuhi permintaan itu.
“Saat ini pemerintah akan tetap fokus pada upaya meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Manggarai Barat dan upaya kita jaga lingkungan,” ucap Jodi. “Semua pihak kami sambut baik untuk terlibat konkret dalam upaya ini.”