Rangkaian proses karantina untuk Warga Negara Indonesia (WNI) sepulang dari luar negeri tengah mendapat sorotan negatif, terutama yang menyangkut RSDC Wisma Atlet Kemayoran dan Rusun Pasar Rumput di Jakarta. Dalam kasus yang viral awal pekan ini, seorang pengguna Instagram melaporkan perilaku merugikan dari anggota TNI yang berjaga di Wisma Atlet, lantaran mencorat-coret paspor dua kawannya, mahasiswi yang pulang dari studi di Inggris, seperti dilaporkan Kompas TV.
Lewat tangkapan layar percakapan WhatsApp yang viral, pelapor menyatakan ada tiga mahasiswi menempuh pendidikan di University of Sussex, Inggris, paspornya ditulisi nomor ponsel oleh personel TNI yang menurutnya “ganjen + ngerusak paspor.”
Postingan tersebut sekaligus mencantumkan bukti foto paspor yang ditulisi nomor ponsel oleh petugas di Wisma Atlet. Instansi pemberi beasiswa, Dikti, serta akun Puspen TNI turut di-tag oleh akun pelapor. “Saya pikir [menuliskan nomor ponsel] jelas tidak boleh, karena passport adalah dokumen resmi negara,” demikian imbuh pengunggah postingan di Instagram Story tersebut.
Saat dikonfirmasi terpisah, Komando Daerah Militer Jayakarta (Kodam Jaya), yang diperbantukan mengelola RSDC Wisma Atlet, mengakui anggotanya melakukan tindakan tercela terhadap WNI yang sedang karantina. Kepala Penerangan Kodam Jaya Letkol Cpm Dwi Indra Wirawan, saat dikonfirmasi iNews, menilai tindakan personel TNI itu “melanggar prosedur”, karena petugas seharusnya sekadar mengumpulkan paspor WNI yang menjalani karantina di Wisma Atlet untuk pendataan administratif.
“Enggak boleh seperti itu harusnya,” tandas Letkol Indra.
Tindakan personel TNI itu mengundang kecaman luas di medsos, mengingat sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 8 Tahun 2014, paspor akan langsung dinyatakan rusak bila dicoret atau tercoret. Netizen turut mengaitkan insiden ini dengan fenomena perilaku ganjen dan norak berlebihan aparat berseragam ketika berusaha melakukan PDKT.
Dalam konfirmasi terpisah oleh Detik.com, kasus ini telah dimediasi dan menurut TNI berujung kesepakatan damai. Mahasiswi yang paspornya dicoret tidak memperpanjang masalah, sementara tentara yang menjadi pelaku diklaim bersedia mengganti dan mengurus proses administrasi pembuatan paspor baru untuk korban. Letkol Indra berjanji meski kasus corat-coret paspor ini berakhir damai, pihaknya tetap menjantuhkan sanksi internal tambahan.
“Korban sepakat untuk tidak memperpanjang permasalahan, namun terhadap pelaku tetap akan diberikan sanksi hukuman,” tandasnya.
Wujud sanksi internal terhadap pelaku tidak dijabarkan lebih lanjut oleh Kodam Jaya, namun Indra menjamin mekanisme pengelolaan paspor WNI yang sedang karantina akan diawasi lebih ketat. “Sangat disayangkan kejadian ini sampai terjadi, kami akan evaluasi agar tidak terulang lagi,” ujar Letkol Indra.
Selain kasus pencoretan paspor, proses karantina WNI dalam waktu bersamaan juga disorot negatif karena penumpukan antrean masuk ke Wisma Atlet Kemayoran. Pada 20 Desember 2021, muncul video menunjukkan ratusan buruh migran terpaksa menunggu berjam-jam di Bandara Soekarno-Hatta, sampai banyak yang tidur di lantai, sebelum akhirnya bisa diangkut kendaraan menuju lokasi karantina. Ada juga video lain menunjukkan buruh migran terpaksa menunggu 12 jam di dalam bus DAMRI, sebelum bisa masuk Wisma Atlet.
Saat dikonfirmasi Kompas.com mengenai penumpukan WNI tersebut, Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Kogabwilhan) Kolonel Marinir Aris Mudian, selaku tim pengelola Wisma Atlet, menyatakan antrean masuk sebetulnya hal biasa. “Kalau ngantre biasa [terjadi] di dalam hal registrasi ya. Dalam keadaan normal,” ujarnya.
Adapun merujuk rapat koordinasi Menko Maritim dan Investasi, Menteri Kesehatan, TNI, dan Satgas Penanganan Covid-19, pemicu antrean akhir pekan lalu karena Wisma Atlet Kemayoran sedang mengalami lockdown setelah ditemukan petugas tertular varian Omicron. Sebagai solusi, pemerintah membuka Rusun Nagrak, Jakarta Utara, serta Rusun Pasar Rumput, Jakarta Pusat, menjadi tempat karantina alternatif.
Tak hanya penumpukan WNI, laporan adanya pungutan liar (pungli) yang menimpa peserta karantina di lokasi-lokasi karantina turut bermunculan di medsos. Beberapa modus yang dilaporkan netizen adalah petugas pengelola karantina menawarkan jasa mendaftarkan IMEI bagi WNI yang membawa ponsel dibeli dari luar negeri. Biaya makanan dan minuman di kantin tiga kali lebih mahal dari harga pasaran. Ada pula praktik travel liar, mematok biaya hingga jutaan rupiah untuk mengantarkan WNI pulang dari Wisma Atlet ke rumah masing-masing, yang dibekingi aparat. Berbagai kasus itu terutama dialami oleh buruh migran, dan kini diadvokasi oleh LSM Migrant Care.
“Migrant Care banyak mendapat aduan terkait teman-teman pekerja migran yang harus antre mengular untuk karantina di Wisma Atlet. Bahkan mereka banyak yang dipalak untuk bayar sekian untuk bisa tanpa karantina, itu juga kita dampingi,” ujar Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah saat dikonfirmasi Kompas.com.
Migrant Care menilai berbagai kasus itu menunjukkan problem tata kelola serta koordinasi lemah antara Satgas Covid-19 dengan kementerian atau lembaga terkait seperti Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), serta TNI yang bertugas di lapangan. Adanya berbagai jenis pemerasan terhadap TKI yang menjalani isolasi mandiri di Wisma Atlet juga diakui terjadi oleh Ketua Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani.
Pada November 2021, polisi sudah menangkap satu pelaku pemerasan buruh migran yang sedang karantina Wisma Atlet Kemayoran. Namun insiden itu diklaim hanya ulah sopir travel liar, yang tidak terkait dengan petugas resmi di Wisma Atlet.
Di luar perkara hiruk pikuk Wisma Atlet dan rusun penampungan, kebijakan pemerintah membuat pembedaan kriteria peserta karantina turut dikritik. Sejauh ini, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menegaskan bahwa fasilitas karantina terpusat dengan biaya yang ditanggung pemerintah saat kembali ke Tanah Air hanya untuk buruh migran, pelajar/mahasiswa yang telah menamatkan studi di luar negeri, atau aparat sipil negara dari penugasan luar negeri. Selebihnya, WNI di luar kriteria tersebut diminta menginap di hotel yang telah ditentukan untuk menjalani karantina dengan biaya sendiri.