Berita  

Trik Mengubah Pola Pikir Ini Bisa Bikin Kalian Enggak Stres Saat Situasi Tak Menentu

trik-mengubah-pola-pikir-ini-bisa-bikin-kalian-enggak-stres-saat-situasi-tak-menentu

Setiap orang pasti mengalami stres ketika dihadapkan pada situasi yang tak terduga atau tuntutan tinggi. Namun, tak semua orang mampu mengelolanya dengan baik dan malah membiarkannya berlarut-larut. Beberapa orang mungkin akan putus asa di tengah kondisi ini, padahal sebenarnya masih ada cara untuk menghadapi tantangan tanpa merasa tertekan berlebihan.

Tim peneliti gabungan di Amerika Serikat telah membuktikan stres dapat diatasi secara efektif dengan mengubah pola pikir kita tentang stres itu sendiri. Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Nature, mereka memberi sesi pelatihan online 30 menit tentang pentingnya memahami respons tubuh terhadap stres, seperti jantung berdebar. Para peneliti dari Universitas Texas di Austin, Universitas Stanford, Universitas Rochester dan Google Empathy Lab menemukan, setiap sesinya punya manfaat signifikan terhadap kesehatan mental dan respons fisiologis orang yang mengikuti pelatihan.


Peserta yang diikutsertakan dalam latihan online masih berstatus pelajar, namun para peneliti yakin hal yang sama juga dapat diterapkan di dunia kerja hingga untuk mengatasi masalah percintaan.

“Kami berusaha mengubah cara anak remaja melihat situasi menegangkan, serta respons mereka terhadap hal-hal yang membuat stres,” peneliti David Yeager memberi tahu The Guardian. “Kami ingin mereka menyadari ada yang bisa mereka lakukan jika tubuh mulai merasa stres saat menghadapi kesulitan.”

Disebut sebagai “pola pikir sinergis”, tekniknya menggabungkan dua pendekatan lain terhadap stres. Pertama ada “pola pikir berkembang”, yang menjadikan pemicu stres sebagai hal yang dapat dikendalikan. Dalam pendekatan ini, orang dapat mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Contohnya, ujian sekolah bisa memicu stres, tapi pelajar dapat mengerjakan tesnya dengan lancar apabila mereka sudah belajar sebelumnya.

Kemudian ada “stress-can-be-enhancing mindset”, atau memanfaatkan respons psikofisiologis untuk meningkatkan performa. Para peserta dilatih menyikapi reaksi tubuh saat tegang, seperti keringat dingin, jantung berdebar dan rasa gugup misalnya, sebagai cara yang berpotensi untuk mendapatkan hasil lebih baik dari suatu aktivitas.

“Kedua pola pikir ini bukan bagian yang terpisah, melainkan elemen yang saling terkait dan melengkapi,” tulis para peneliti.

Dengan menanamkan pola pikir sinergis pada remaja, mereka dilatih mengelola stres secara langsung. Tujuannya agar mereka tidak terdistraksi oleh respons yang muncul.

Lebih dari 4.000 pelajar menyelesaikan modul pelatihan pola pikir sinergis yang dilaksanakan secara daring selama setengah jam. Peserta mengikuti enam eksperimen terkontrol double-blind secara acak, yang semua pemicu stresnya berfokus pada konteks pendidikan (seperti mengerjakan kuis berjangka waktu dan menyampaikan pidato).

166 pelajar pada satu percobaan diberi sesi pelatihan atau sesi berbeda tentang otak sebagai efek plasebo. Setelah itu, mereka diminta menceritakan kelebihan dan kelemahan diri di depan para penguji tanpa persiapan apa pun. Penguji sengaja membuat ekspresi atau melakukan tindakan yang dapat membuat peserta gugup saat tampil, seperti mengerutkan dahi, menyilangkan tangan dan menghela napas. Pelajar lain menunjukkan respons stres lebih rendah setelah menyaksikan teman mereka berpidato, berdasarkan detak jantung dan tindakan fisiologis lainnya. Dengan kata lain, mereka tak segugup sebelumnya.

Dalam eksperimen lain, peserta wajib mengisi survei yang mengukur intensitas stres harian dan harga diri mereka, seperti “seberapa bagus atau buruk suasana hatimu hari ini?” Menurut peneliti, penilaian diri yang negatif bisa menjadi tanda awal gangguan kecemasan dan depresi, serta gejala utama depresi klinis.

Tingkat penilaian diri negatif harian mengalami penurunan pada peserta yang menyelesaikan latihan pola pikir sinergis dibandingkan dengan yang tidak. Harga diri mereka juga tidak terpengaruh secara negatif oleh intensitas stres, yang berarti mereka tidak mengutuk diri sendiri ketika sedang stres. Para peneliti pun menarik kesimpulan bahwa dengan menanamkan pola pikir sinergis, peserta dapat terhindar dari efek negatif pemicu stres terhadap kesehatan mental mereka.

Tim peneliti juga melakukan percobaan yang mempelajari efek pelatihan terhadap prestasi akademik peserta beberapa bulan setelahnya. Hasilnya menunjukkan, kemungkinan naik kelas pada pelajar yang mengikuti pelatihan 14,4 persen lebih besar daripada teman-temannya yang tidak mendapat pelatihan.

Eksperimen terakhir dilakukan untuk menilai tingkat kecemasan. Peneliti meminta 341 peserta mengikuti pelatihan pola pikir sinergis atau aktivitas yang dijadikan kontrol, lalu memberikan survei seputar gejala kecemasan umum sekitar tiga bulan kemudian.

“Setelah menerima intervensi pola pikir sinergis (versus kontrol) pada Januari, para peserta yang awalnya memiliki pola pikir negatif menunjukkan tingkat gejala kecemasan umum lebih rendah pada April,” demikian bunyi penelitiannya.

Para peneliti menekankan, berhubung semua eksperimen ini dilakukan pada pelajar dalam lingkup pendidikan, sesi latihannya tidak dirancang untuk mengubah sudut pandang seseorang ketika berhadapan dengan pemicu stres negatif yang tak terkendali, seperti pelecehan atau trauma. Akan tetapi, mereka optimis pola pikir sinergis dapat membantu seseorang mengatasi stres dalam konteks yang lebih umum, seperti saat berurusan dengan masalah di tempat kerja atau percintaan.

“Agar pola pikir sinergis dapat diterapkan secara efektif, kita mungkin perlu menyesuaikan rincian intervensinya dengan pemicu stres yang biasa dihadapi orang-orang dalam pengaturan tersebut.”

Follow Romano Santos di Instagram.