Sudah bukan rahasia bahwa Jakarta, macet, dan polusi merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Kota terbesar di Indonesia ini sering mendapat sorotan negatif, karena dari berbagai survei internasional, dinilai tidak ramah untuk ditinggali. Tetapi bagi banyak pencari nafkah, keruwetan jalanan ibu kota negara terpaksa harus dimaklumi.
Setiap hari, kelas pekerja yang tinggal di kota-kota penyangga Jakarta harus berlomba agar bisa dapat tempat duduk di bus atau kereta. Ongkos yang mereka keluarkan bukan hanya uang, melainkan juga waktu yang bisa sampai berjam-jam habis di jalan. Apalagi ketika musim hujan datang, musuh bersama yang harus dihadapi bertambah satu yaitu banjir.
Butuh sebuah pandemi yang tak terduga untuk mengurangi salah satu persoalan paling mendasar itu. Setidaknya sejak akhir Maret 2020, banyak perusahaan di Jakarta yang memutuskan karyawan-karyawannya boleh menjalani praktik work from home (WFH) alias bekerja dari rumah. Pemerintah juga mengizinkan aparatur sipil negara (ASN) untuk tidak masuk kantor demi menekan penularan Covid-19.
Sejak triwulan kedua 2020, WFH menjadi tren di berbagai sektor dunia usaha Tanah Air. Baik pemberi maupun penerima kerja, terutama di sektor jasa dan industri kreatif, menyadari mereka bisa menyelesaikan tanggung jawab tanpa harus beranjak dari kamar. Efeknya terhadap kondisi jalanan Jabodetabek pun langsung terasa.
Dalam laporannya, TomTom Traffic Index menempatkan Jakarta di peringkat 31 kota paling macet di dunia pada 2020. Perusahaan yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda, itu menyebut terjadi penurunan kemacetan sebesar 17 persen dibandingkan satu tahun sebelumnya.
Secara lebih rinci, Januari 2020 mencatatkan tingkat kemacetan sebesar 55 persen. Sebulan kemudian, angkanya melonjak hingga 61 persen dan menjadikannya sebagai periode kemacetan terparah sepanjang tahun lalu.
Begitu pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 pertama, masyarakat mulai banyak yang membatasi aktivitas sehingga persentasenya menurun sebanyak 17 persen. Pada April, ketika WFH mulai populer, TomTom melaporkan tingkat kemacetan terendah di Jakarta yaitu 11 persen. Selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), jumlah kepadatan kendaraan pun berkurang signifikan.
Efek lainnya adalah kualitas udara. Menurut keterangan Siswanto selaku Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kadar karbondioksida di Jakarta sejak 1 Maret sampai 27 April, turun 9,8 persen dibandingkan pada periode yang sama setahun sebelumnya. Ini juga merupakan tingkat polusi terendah dalam tiga tahun terakhir.
Salah satu yang merasakan manfaat WFH adalah Ria. Profesinya sebagai editor senior di media online membuatnya punya kesempatan untuk bekerja dari rumah. Perempuan yang berdomisili di Bekasi itu mengatakan kepada VICE bahwa sebelum pandemi, penggunaan waktunya tidak efisien karena terlalu lama habis di jalan. Butuh dua kali ganti moda transportasi untuk menuju kantornya yang berlokasi di Jakarta Selatan. Saat kursi bus yang ditumpangi penuh, dia tak punya pilihan lain kecuali berdiri.
“Lumayan ribet banget!” kata Ria. “Kalau masuk jam tujuh [pagi], berangkat dari rumah setengah enam.” Artinya, kurang lebih dia menghabiskan 1,5 jam di perjalanan. Waktu pulang pun tantangannya tidak berkurang karena kantornya berada di kawasan macet. Secara total, dia butuh 2,5 hingga tiga jam untuk pergi dan pulang.
“Itu wasting time banget! Mana capek, udah dari pagi-pagi nyampe kantor capek, pulangnya juga capek. Sampai kantor enggak bisa langsung [kerja] kan. Tarik nafas dulu, terus baru bisa kerja,” ungkapnya.
Ini yang membuatnya tidak menyukai work from office (WFO). Apalagi, sekarang dia bisa lebih produktif bekerja sambil merawat ibunya yang tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Kalau gue lebih menikmati WFH. Kayak gini orang tua tiba-tiba sakit, bisa kerja dari rumah. Kalau WFO kan benar-benar tergantung tempat. Kita terikat tempat, tapi tidak membuat orang produktif juga,” ujar Ria.
Pakar Human Resources (HR) Samuel Ray sendiri menjelaskan kepada VICE bahwa beberapa sektor perkantoran di Jakarta akan semakin terbiasa mengadopsi WFH sebagai cara kerja baru. Kemudian, ada kemungkinan bagi perusahaan-perusahaan memfasilitasi munculnya beberapa hub di sejumlah kawasan mengingat Jakarta adalah kota yang sangat luas.
“Jadi, misalnya, nanti ada hub Jakarta Selatan, hub Jakarta Timur, Jakarta Utara, di mana orang-orang bisa ke kantor tanpa harus terikat pada suatu lokasi yang mungkin jauh dari tempat tinggalnya,” kata Samuel.
Karena efisiensi waktu inilah karyawan mampu lebih fokus bekerja. “Dengan adanya waktu ekstra kurang lebih dua jam per hari karena enggak harus commuting itu memberi banyak orang kesempatan bekerja dengan kondisi lebih segar, bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaan dan bersama-sama keluarga.”
Ide soal WFH maupun kerja jarak jauh sebagai cara inovatif untuk mengurangi kemacetan sebenarnya bukan hal baru. Pada 2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menandatangani sebuah undang-undang yang mengizinkan para pegawai lembaga federal untuk bekerja dari rumah.
Tujuannya bukan hanya agar tercapai keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, tetapi juga sebagai bagian dari pengurangan tingkat kemacetan. Ini lantaran ada kerugian ekonomi yang timbul akibat lamanya waktu yang diperlukan seseorang untuk berangkat dan pulang kerja.
Sebuah penelitian pada 2018 menemukan indikasi perekonomian Amerika Serikat merugi US$87 miliar karena kemacetan. Warga di Kota Boston, contohnya, menghabiskan waktu setara enam hari dan delapan jam per tahun di jalan yang membuat perekonomian setempat rugi US$4,1 miliar. Sementara menurut riset TomTom, kemacetan Jakarta pada 2019 membuat orang kehilangan sebanyak tujuh hari dan enam jam di jalan.
Seiring dengan masih belum jelasnya kapan pandemi Covid-19 berakhir, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga menilai sudah semestinya kerja dari rumah menjadi pilihan banyak perusahaan, apalagi jika jenis sektornya memungkinkan format ini untuk diterapkan.
“WFH harus diterapkan di kota-kota besar secara massal untuk membatasi pergerakan masyarakat,” tuturnya ketika dihubungi VICE. “Perkantoran menerapkan WFO maksimal 50 persen, bahkan 25 persen jika terjadi peningkatan kasus Covid.”
Bahkan, menurut Nirwono, WFH bisa menjadi solusi jangka panjang yang diadopsi kota-kota besar untuk mengurangi polusi dan kemacetan.
“Dengan membatasi pergerakan mobilitas warga maka akan berpengaruh terhadap penggunaan kendaraan pribadi atau umum yang akan mengurangi kemacetan lalu lintas, dan mengurangi polusi pada akhirnya,” ucapnya. “Ini hikmah dari adanya pandemi dan perubahan perkotaan ke depan.”