Publik Amerika Serikat sedang amat berduka akibat tragedi penembakan massal yang terjad di Sekolah Dasar Robb, Kota Uvalde, Negara Bagian Texas, pada 24 Mei 2022. Penembakan tersebut menewaskan 19 pelajar SD serta dua guru dewasa tewas. Pelaku, bernama Salvador Ramos, tewas ditembak aparat yang datang belakangan ke lokasi sekolah. Pemuda 18 tahun itu ditengarai memiliki berbagai masalah psikologis. Sebelum membantai anak-anak bersenjatakan senapan serbu AR-15 dan pistol, Ramos membunuh neneknya lebih dulu.
Tragedi ini belakangan memicu kecaman, karena beredar rekaman video dari orang tua murid di lokasi, menunjukkan polisi lokal sebetulnya sudah datang ketika pelaku belum lama beraksi. Tapi beberapa aparat itu tidak berani masuk dengan alasan belum ada bantuan tim SWAT, serta melarang ortu yang ingin menyelamatkan anak mereka masuk lingkungan sekolah.
Ada jeda panjang dari pukul 11.30 siang, ketika penembakan di SD Robb mulai terjadi, sampai akhirnya Salvador Ramos ditembak polisi penjaga perbatasan yang datang belakangan.
Tragedi di Uvalde ini menjadi insiden penembakan massal sekolah dasar paling mematikan di AS, setelah terakhir kali kasus serupa menimpa SD di Kota Sandy Hook satu dekade lalu. Amerika Serikat berulang kali mengalami masalah penembakan massal, akibat longgarnya bisnis penjualan senjata. Sipil tanpa catatan kejahatan bisa dengan mudah membeli senapan serbu AR-15, yang di negara maju lain masuk kategori senjata khusus militer.
Juru bicara Kepolisian Texas, Victor Escalon, dalam jumpa pers pada 26 Mei, dicecar pertanyaan oleh wartawan. Instansinya diminta menjelaskan kenapa polisi di lapangan amat lambat bergerak sepanjang hampir dua jam situasi penyerangan SD Robb oleh pelaku. Tragisnya, yang akhirnya berinsiatif melumpuhkan pelaku justru anggota polisi perbatasan, yang wilayah kerjanya berjarak nyaris satu jam dari Kota Uvalde.
“Kami tidak bisa menjawabnya untuk sementara ini,” kata Escalon di hadapan awak media. Sikap polisi ini mengundang kemarahan publik. Ada laporan bahwa sikap plin-plan aparat di lapangan justru membantu pelaku menemukan bocah-bocah lain dalam kelas untuk ditembaki.
Escalon mengakui, pelaku menyandera satu ruangan berisi murid kelas 4 dan menembaki mereka tanpa ampun. Dia berdalih, polisi di lapangan berhasil menyudutkan Ramos di ruangan tersebut, sembari menunggu tenaga bantuan aparat lain yang datang satu jam kemudian. Keterangan polisi terkait kronologi kejadian terus berubah-ubah di hadapan media, mengundang kemarahan publik yang lebih luas.
Sebanyak 14 murid SD tewas di tempat, sisanya meninggal setelah sempat dilarikan ke RS. Kondisi jenazah beberapa murid itu amat mengenaskan, sehingga beberapa ortu mereka harus mengirim sampel DNA untuk identifikasi lebih lanjut.
Salah satu orang tua murid, saat diwawancarai the Wall Street Journal mengaku melihat polisi hanya berdiam di pintu masuk sekolah selama penembakan masih berlangsung. Dia memohon agar diizinkan masuk menyelamatkan putrinya. Ketika permintaan itu tak ditanggapi dan dia berteriak, beberapa polisi memborgolnya dengan alasan menghalangi “kerja petugas.” Saksi lain menyatakan seorang ayah yang ingin memastikan anaknya selamat di SD Robb dibekuk polisi dan disemprot dengan gas merica.
Penembakan tragis di Uvalde seperti biasa memicu perdebatan netizen AS mengenai pentingnya pengendalian penjualan senjata api. Presiden Joe Biden juga bersumpah akan mengambil kebijakan drastis agar tak ada lagi tragedi penembakan massal menimpa sekolah. Namun politikus konservatif dari Partai Republikan ngotot menolak upaya pengetatan izin penjualan senjata api. Kepemilikan senjata dianggap sakral, karena masuk dalam konstitusi Negeri Paman Sam. Pengamat menilai kematian anak-anak SD dalam tragedi mengerikan ini tidak akan mengubah kebijakan AS soal senjata. Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara maju yang tidak sedang dalam perang, rutin mengalami insiden penembakan massal.