Oleh : Sofyan Mohammad
LIPUTAN4.COM- Kabupaten Semarang, Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima. Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam. Metode dakwah ini dapat disebut dengan akulturasi budaya yang dilengkapi dengan kreasi dakwah Islamiyah.
Kebudayaan lama pra Islam yang tidak sesuai dengan syariah ajaran Islam oleh para Ulama terdahulu di kreasi agar sesuai dengan syariah. Secara subtansi lebih jauh memang tidak berbenturan dengan ajaran Islam namun dalam sudut pandang fiqih syariah tentu berbeda. Para Ulama terdahulu dengan penuh kebijaksanaan tentu telah mempertimbangkan ragam sudut pandang ini hingga menemukan jembatan yang bisa menyatukan spektrum sudut pandang. Salah satu diantaranya adalah kreasi budaya sebagai pintu masuk dakwah Islamiyah. Hingga kini hasil kreasi dan akulturasi budaya ini masih lestari sampai dengan sekarang.
Meskipun ada pihak pihak tertentu menafikan fakta ini dengan dalih metode dakwah zaman dulu sudah saatnya dimurnikan seutuhnya dalam khazanah syariah Islam. Kelompok kelompok inilah yang selanjutnya sangat mudah menunjukan telunjuk tentang “diksi” musyrik, bi’dah, taqlik, churofat bahkan kafir. Cara cara ini dalam konteks kebangsaan (yang berakar dari berbagai budaya dan adat istiadat yang hetoregen) justru dipandang sebagai upaya untuk memaksakan kehendak dalam selimut agama. Cara cara yang dilakukan oleh oknum oknum tersebut dipandang sebagai metode yang tidak bijaksana karena justru akan sering menciptakan kegaduhan yang dapat merusak harmonisasi dan toleransi dalam kehidupan sehari hari masyarakat. Agama Islam diketahui sebagai Agama yang Rohmatan Lil Alamien yang dalam prosesnya harus menerapkan praktik dakwah yang santun penuh kasih sayang bukan justru memaksakan kehendak dengan menelan mentah mentah setiap pengetahuan yang di dapat.
Tradisi nyadaran contoh kebijaksanaan dakwah sehingga saat ini dapat dimaknai sebagai salah satu warisan kreasi budaya karya para ulama terdahulu yang menjadi jembatan penyatuan tradisi lama pra Islam dengan ajaran Islam secara syari. Ritual nyadran juga dilengkapi dengan pembacaan kalam Ilahi seperti pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.
Pada pokoknya nyadran dapat dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan (transedental). Istilah nyadran sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni “Sradha”. Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur. Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, beliau menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang Ibunda Tribhuwana Tunggadewi.
Dalam kontek kreasi Dakwah Islamiyah maka masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosa kata Ruwah merujuk pada kata Arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal.
Mengutip sumber Wikipedia, Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara, terutama masyarakat Jawa. Nyadran berakar dari kata srada dalam bahasa Sanskerta artinya keyakinan. Kemudian nyadran bermakna tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan.
Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ru wahan adalah dengan menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.
Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan liar. Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam.
Dalam perkembangan terkini tradisi nyadran bukan hanya milik warga muslim saja meskipun doa yang dilantunkan mayoritas adalah doa kaum muslim. Namun pada kenyataannya saudara kita yang non muslim juga ikut merayakan tradisi nyadran paling tidak digunakan untuk momentum pulang kampung atau untuk membersihkan makam leluhurnya di perkeburan. Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosa kata Ruwah merujuk pada kata Arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal.
Tradisi Nyadran juga lestari di Dusun Nglarangan, Desa Muncar, Kec. Susukan, Kab. Semaranga, Jawa Tengah. Nyadran di Dusun ini berlangsung seperti tradisi dukuh dukuh lainya di Jawa. Setiap bulan Ruwah atau syakban menyambut bulan Romadon maka masyarakat dukuh ini seperti memiliki kesadaran untuk melaksanakan tradisi nyadran. Sebab nyadran sudah menjadi tradisi rutinan. Tanpa ada koordinasi dengan melibatkan pamong aparatur pemerintah Desa setempat, H – 10 menjelang bulan Puasa rata rata tiap rumah di dukuh Nglarangan menggelar acara punggahan atau ruwahan yaitu membuat masakan nasi tumpeng aneka lauk dengan sambel gudangan, nasi golong giling (nasi tumpeng berbentuk bola melinkar/ bunder) sebesar kepalan tangan orang dewasa. Jumlahnya 9 buah yang ditata melingkari tumpeng nasi yang berbentuk mengkerucut. Selain itu juga ditata makanan ingkung daging ayam jantan, tahu, tempe, rempeyek ikan, telur godog maupun goreng. Cemilan apem, pisang kepok dan berbagai jajanan pasar. Tumpengan atau ambengan ini ditata secara apik diatas tampah (nampan terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk melingkar) yang merangsang selera untuk dimakan.
Setelah aneka masakan ambengan ini jadi, selanjutnya setelah bakdho azar si tuan rumah akan mengundang tetangga dekat (magersari) agar hadir dalam acara punggahan tersebut yang berlangsung setelah bakdho magrib. Setalah berkumpul dilanjutkan secara bersama sama melantunkan bacaan Al-Quran, tahmid, sholawat dan doa tahlil yang ditujukan kepada arwah para leluhur. Ketika doa selesai dilantunkan oleh Kyai maka pucuk tumpeng dipotong, itulah tanda seluruh makanan siap disantap secara berjamaah dengan menggunakan tangan (dipuluk) dengan disediakan air kobokan atau air yang ditaruh dibaskom untuk cuci tangan sebelum mengambil makanan. Menyantap makanan dengan menggunakan daun pisang tidak menggunakan disajikan diatas piring. Bagi orang orang desa atau para santri terbiasa makan nasi ambengan secara berjamaah dengan cara dipuluk karena justru akan menimbulkan sensasi makan yang menyenangkan. Makan bersama sama atas makanan yang sudah didoakan secara berjamaah sungguh merupakan sensasi nikmat luar biasa.
Selain dibuat sendiri sendiri dirumah penduduk dukuh nglarangan juga ada yang melakukan secara berkelompok berapa rumah magersari sehingga yang masak dan menyiapkan bahan masakan dilakukan secara bersama sama atau patungan selanjutnya selepas bakdho maghrib makanan akan dimakan di pendopo atau teras salah satu rumah warga atau kalau kondisi terang bulan acara punggahan akan dilakukan di perempatan jalan dengan cara menggelar tikar ditengah tengah jalan.
Di dukuh nglarangan acara nyadran akan dilakukan setelah warga menggelar pudunan baik secara sendiri atau secara berkelompok. Acara nyadaran berlangsung setidaknya H-7 sebelum bulan puasa, diawali dengan cara bersih bersih makam. Prosesi adat ini biasanya dikoordinir pamong/ perangkat desa melalui ketua RT/RW setempat dilanjutkan kepada setiap kepala keluarga. Pada hari yang sudah ditentukan para warga pada pagi hari dengan membawa peralatan kebersihan seperti cangkul, sabit, kapak, sapu dll berbondong bondong membersihkan area makam dan pusara para ahli kuburnya masing masing. Acara ini biasanya berlangsung sampai siang hari hingga makam pekuburan dirasa sudah bersih dari rerumputan liar dan kumpulan sampah daun daun kering. Pada hari berikutnya dilakukan nyadran kirim doa.
Di dukuh Nglarangan nyadran ini menjadi acara yang cukup ditunggu tunggu hingga para penduduk yang diluar kota juga sering pulang kampung hanya untuk ikut bagian dalam prosesi adat nyadran ini. Pada pagi hari warga berbondong bondong ke makam dengan membawa nasi berkat, lauk klubanan, bakmi, sayur sambal ati, kentang tahu, tempe dan berbagai macam jajan pasar maupun buah buahan.
Pada acara nyadaran di pekuburan ini berlangsung cukup formal. Setalah sambutan dari Perangkat Desa/ bekel/ kadus. Pembacaan ayat ayat suci Al-Quran Quran, Tahlil dan doa yang dipimpin oleh seorang Kyai setempat. Biasanya juga dilengkapi dengan tausiyah oleh seorang Kyai. Sebelum acara selesai maka nasi berkat ambengan akan disantap secara bersama sama. Dengan menggunakan daun pisang yang dipincuk. Makan dengan cara dipuluk tangan tanpa menggunakan sendok. Jika nasi atau makanan tidak habis maka diantara para penduduk akan menukar tiap makanan sesuai dengan keinginannya selanjutnya dibawa pulang. Nasi inilah yang kemudian dipandang sebagai makanan penuh barokah hingga oleh lidah orang Jawa disebut sego berkat.
Tradisi nyadran, ruwahan atau punggahan yang berlangsung di Dukuh Nglarangan, Desa Muncar, Kec. Susukan Kab. Semarang adalah satu contoh tentang adanya kebudayaan lokal yang memiliki dimensi kemanfaatan dalam harmonisasi kehidupan sosial. Adat ini adalah warisan kebudayaan luhur yang harus dilestarikan. Agar kehidupan harmoni dalam hubunganya dengan Tuhan, dengan alam semesta dan kehidupan sosial antar sesama.
Kesadaran melestarikan tradisi bagi masyarakat dukuh Nglarangan Desa Muncar adalah karena subtansinya masyarakat menyadari jik kebudayaan memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa. Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan. Keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia.
Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal yang ada dalam masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara, bagi warga dukuh Ngkarangan, Desa Muncar salah satu diantaranya tetap mempertahankan tradisi nyadran, ruwahan maupun punggahan. Tradisi ini terus disematkan pada setiap generasi agar tetap lestari agar tercipta generasi yang luhur karena tidak tercerabut dari akar kebudayaanya.
Dalam beberapa kesempatan tradisi di Dukuh Nglarangan, Desa Muncar, Kec. Susukan, Kab. Semarang yang masyarakatnya bersahaja karena memiliki kesadaran tentang pelestarian kearifan lokal, maka perlu rupanya setiap event lokal tersebut dikemas dalam bentuk festival agar bisa menjadi bahan edukasi bagai masyarakat luas tentang asyik dan kereeenya mempertahankan tradisi lokal.
Nah… Pokdawis Desa Wisata Muncar saat ini tengah merumuskan konsep festival itu. Kita tunggu saja ya (Coming soon)
———————————————-
* Esai ditulis terinspirasi dari proses nyadran di Makam Sasono Langgeng Kyai Larang di Dukuh Ngklarangan, Ds. Muncar, Kec. Susukan, Kab. Semarang. 20/03/22.
# Part 2 akan bertutur tentang Babad Dukuh Nglarangan dan warisan adiluhung yang masih lestari di Dukuh Nglarangan.
———————————————-
**@ Penulis adalah pemerhati budaya sehari hari tinggal di pelosok Kabupaten Semarang.
Berita dengan Judul: Tradisi Nyadran Dukuh NGlarangan Desa Muncar Potret Kebudayaan Yang Luhur pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Jarkoni