Berita  

Tips Agar Hubungan Tetap Sehat Saat Kondisi Mental sedang Tidak Baik

tips-agar-hubungan-tetap-sehat-saat-kondisi-mental-sedang-tidak-baik

Ada anggapan kondisi mental kita harus baik-baik saja sebelum memulai komitmen dengan orang lain, karena hubungan yang dibangun saat suasana batin sedang tidak stabil berisiko akan berakhir berantakan. Namun, setiap orang punya masalahnya masing-masing, dan tak selamanya kita berada di atas.

Apakah benar tidak ada jalan bagi kita untuk pacaran saat kejiwaan sedang rapuh? Bagaimana jika kita sudah punya pasangan? Kapan waktu terbaik memberi tahu mereka kalau kita tidak baik-baik saja? Sebaiknya kita harus bagaimana ketika pasangan sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya?


Di artikel VICE kali ini, kolumnis Megan Barton-Hanson berbagi saran agar hubungan tetap sehat sementara kamu sedang berusaha yang terbaik untuk dirimu sendiri.

Sabar dan pahami perasaan pasangan

Situasi buruk tak terelakkan dalam hidup. Kita semua pernah mengalami kesulitan, dan merasa down karena berbagai alasan. Karena itulah, menjadi orang suportif adalah hal paling sederhana yang bisa kamu lakukan untuk pasangan. Kamu bisa belajar memahami apa yang dialami oleh pasangan. Kamu kemudian dapat meningkatkan stabilitas dan rutinitas dalam hubungan, serta mendorong mereka berkonsultasi dengan terapis jika memang perlu. Kamu juga bisa mengajaknya melakukan aktivitas yang bagus untuk mental, seperti meditasi.

Jangan sekali-kali kamu menyepelekan konflik batin mereka dengan ucapan seperti, “Ah biasa itu, paling besok juga sudah baikan. Gak usah terlalu dipikirin lah”. Perkataan semacam ini hanya akan membuat perasaan pasangan semakin buruk, karena kamu terkesan tidak peduli dengan apa yang sedang mereka hadapi. Hubungan akan lebih sehat jika satu sama lain saling mendukung dan menghargai.

Tak ada kewajiban untuk buka-bukaan saat awal kenalan

Kondisi kejiwaan hanya dapat dikelola, bukan sesuatu yang bisa hilang sepenuhnya. Saat membicarakan kesehatan mental, sayangnya masih ada stigma di sekitarnya. Kamu menjadi khawatir gebetan akan berubah pikiran tentangmu setelah mereka mengenal kamu lebih dalam, sehingga kamu merasakan dorongan untuk menceritakan semuanya dari awal kenalan. Akan tetapi, sebenarnya itu bukanlah langkah yang baik. Mereka mungkin akan merasa canggung atau bingung harus bagaimana menanggapi informasi tersebut. Selain itu, apa pun yang kamu hadapi bukanlah cerminan dari sifat dan kepribadianmu sesungguhnya. Kita semua belajar menghadapinya dengan cara masing-masing.

‘I can fix him/her’ tidak berlaku di dunia nyata

Masalah hanya bisa diselesaikan jika kita bersedia membicarakannya, dan itu termasuk kesehatan mental. Saat ada orang yang berkeluh kesah, kamu mungkin tergerak memberikan saran atau membantu mereka menemukan jalan keluar. Namun, kamu perlu tahu bahwa ada kalanya kita cukup mendengarkan mereka. Jadilah pendengar yang baik dan tidak menghakimi. Kamu hanya perlu meminjamkan telinga, dan berikan mereka ruang untuk memproses perasaannya sendiri. Baru kasih saran jika memang diminta.

Kenali tanda-tanda kamu pacaran untuk mengalihkan pikiran

Hampir semua orang pernah mencari distraksi atas emosi negatif yang dirasakan, salah satunya dengan berpacaran meski aslinya mereka tidak siap secara mental. Percayalah, hubungannya akan toksik dan merugikan satu sama lain.

Selain itu, jangan pacaran dengan orang yang menuntut perhatianmu sepanjang waktu karena mereka tahu kamu pasti akan memberikannya. Jangan juga berpacaran hanya karena rasa suka sesaat tanpa mempertimbangkan apakah mereka orang yang baik untukmu. Carilah pasangan yang mengutamakan kesejahteraan mereka, dan tidak menjadikan kesehatan mental sebagai alasan untuk bersikap seenaknya.

Jujur terhadap perasaan sendiri

Terlalu blak-blakan memang tidak baik, tapi bukan berarti kamu mesti memendam perasaan. Jika gebetan atau pacar barumu menanyakan kabarmu, tidak ada salahnya jujur tentang hal-hal yang mengganggu pikiranmu. Membalas “agak bete hari ini, tapi aku sedang mencoba mengatasinya” pun sudah cukup.

Manusia pada dasarnya tidak mau dicap sebagai beban oleh orang lain, sehingga terkadang kita sungkan untuk jujur tentang perasaan. Namun, kita perlu memahami kebahagiaan tidak datang setiap waktu. Kita juga akan merasa lelah jika berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja. Bagiku, orang yang hebat adalah mereka yang berani mengungkapkan perasaan dan siap membicarakan apa yang mengusik pikiran mereka.

Mengulurkan tangan saat dibutuhkan

Bantuan dan pengertian orang lain, sekecil apa pun itu, sangat berarti pada saat kita kesulitan menjalani hari. Ada di antara kita yang rasanya sulit sekali bangkit dari tempat tidur atau tidak semangat beres-beres rumah ketika suasana hati sedang buruk. Oleh karena itu, jika kamu memperhatikan pasangan bersikap tidak seperti biasanya, kamu bisa membiarkannya sendiri dulu. Jangan paksa mereka melakukan ini-itu, atau bahkan mengeluarkan kata-kata seperti: “Jam segini kok masih tiduran aja, sih? Ayo bangun, jangan malas!”

Kamu juga bisa membantu meringankan beban pasangan hari itu, seperti menyiapkan makanan untuknya atau sekadar mengambilkan minum. Tapi ingat, lakukan sewajarnya saja. Jangan sampai ujung-ujungnya pasangan malah memanfaatkan kebaikanmu.

Jangan meremehkan diri sendiri

Hanya karena perasaan kamu buruk, bukan berarti kamu juga orang yang tidak baik. Selama kamu tidak memanfaatkan kondisimu sebagai alasan untuk bersikap semena-mena kepada orang lain, dan kamu juga tidak mencari pacar hanya karena butuh perhatian, tidak ada salahnya bagimu menjalin hubungan dengan seseorang. Lagi pula, bagaimana kamu bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik jika terlalu menutup diri?

Yang terpenting adalah kamu dan pasangan sama-sama mendukung di kala suka dan duka. Kamu berhak dicintai meski hatimu sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, sehingga mustahil bagi kita untuk menjadi sosok yang benar-benar ideal. Kamu tidak “rusak”. Kamu hanya menjalani hidup.