Ilmuwan telah menunjukkan mikroba yang hidup di saluran pencernaan tikus dapat meningkatkan efek kokain yang dirasakan oleh hewan tersebut. Temuan ini memberi titik terang mengenai peran mikrobioma usus “yang kurang dipahami” terkait kecanduan narkoba pada binatang dan manusia.
Dalam percobaannya, tim peneliti, yang dipimpin ahli saraf Santiago Cuesta dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat University of Wisconsin, mengidentifikasi suntikan kokain menciptakan perputaran umpan balik yang menimbulkan tanda-tanda ketagihan pada tikus, seperti membutuhkan lebih banyak dosis.
Penyalahgunaan narkoba telah menjadi masalah kesehatan serius di seluruh dunia karena merenggut banyak sekali nyawa setiap harinya. Karena itulah berbagai penelitian berusaha mencari tahu proses kerja tubuh yang dapat menyebabkan seseorang kecanduan. Dan kini, peneliti mengungkap efek kompleks narkoba pada mikrobioma usus, yang merupakan kumpulan organisme kecil yang hidup di saluran pencernaan kita.
Menurut studi yang diterbitkan dalam Cell Host & Microbe, setelah tikus disuntikkan kokain, para peneliti melihat adanya pertumbuhan mikroba pemakan glisin—senyawa kimia yang berperan penting bagi fungsi otak—hingga “mengurangi jumlah glisin dari inang” yang kemudian “memunculkan perilaku mirip kecanduan pada tikus.”
“Lebih dari 27 juta orang di Amerika Serikat mengalami masalah penyalahgunaan narkoba, yang menyebabkan kerugian $740 miliar (Rp11,5 kuadriliun) per tahun terkait kejahatan, hilangnya produktivitas kerja dan perawatan kesehatan,” tulis Cuesta dan rekan-rekan penelitinya. “Sayangnya, sampai sekarang belum ditemukan target terapi atau perawatan berbasis bukti yang dapat menangani ketergantungan obat-obatan terlarang. Sangat dibutuhkan ide inovatif dan pendekatan yang lebih integratif.”
“Komposisi mikroba dapat memodulasi dengan kuat profil metabolisme inang dan kerentanan terhadap penyakit,” para peneliti melanjutkan. “Di studi ini, kami menunjukkan bagaimana pergeseran komposisi mikroba spesifik dalam usus memodulasi perubahan perilaku, sistem penerimaan hadiah dan neuroplastik yang disebabkan oleh paparan obat psikostimulan yang berulang.”
Tim Cuesta memperhatikan suntikan kokain mengaktifkan protein yang merangsang pertumbuhan mikroba γ-proteobacteria dalam usus tikus. Bakteri ini berkembang biak dengan memakan pasokan glisin dalam jumlah besar, hingga akhirnya menyebabkan penipisan senyawa kimia tersebut dalam otak tikus. Penipisan ini meningkatkan efek kokain pada tikus, membuat tikus lebih rentan mengalami kecanduan.
Untuk menyelidikinya lebih lanjut, para peneliti menjalankan eksperimen dengan bakteri yang dimodifikasi secara genetik untuk tidak memakan glisin, serta melakukan serangkaian pengujian yang meningkatkan produksi glisin dalam usus tikus. Kedua strategi ini mampu mengatasi penipisan glisin dalam tubuh tikus yang disuntikkan kokain. Sebagai hasilnya, hewan tersebut memiliki respons perilaku yang jauh lebih ringan.
Temuan ini menunjukkan pasokan glisin di usus memiliki dampak yang kuat pada efek dan kecanduan obat, yang menambah pemahaman kita tentang bagaimana sistem pencernaan memengaruhi respons kita terhadap zat pembentuk kebiasaan.
“Baru-baru ini, banyak penelitian menunjukkan komposisi mikrobiota usus, serta mikroba usus tertentu, dapat menciptakan perubahan perilaku sosial, komunikatif, perilaku terkait stres dan kognitif inang,” ujar para peneliti. “Namun, meski psikostimulan seperti kokain telah diketahui dapat mengubah komposisi mikrobiota usus dan penipisan mikrobiota memengaruhi respons kokain, belum diketahui seperti apa mekanisme molekuler di balik interaksi ini.”
“Kami menunjukkan, manipulasi proses bakteri spesifik dapat membalikkan perubahan metabolisme inang yang diinduksi mikroba, dan meningkatkan respons terhadap kokain,” para peneliti menyimpulkan. “Lebih luas lagi, temuan kami menunjukkan bakteri usus dapat berfungsi sebagai node pensinyalan yang berpotensi direkayasa” yang “memengaruhi target perilaku dan molekuler yang terpengaruh selama terjadinya penyakit kejiwaan, meningkatkan pemahaman kita tentang kondisi mental ini dan menggeser paradigma yang berpusat pada otak ke arah yang lebih sistemik dan holistik dalam penelitian dan pengobatan neuropsikiatri.”