Berita  

Tiga Nelayan Aceh yang Bantu Angkut Pengungsi Rohingya Divonis 5 Tahun Penjara

tiga-nelayan-aceh-yang-bantu-angkut-pengungsi-rohingya-divonis-5-tahun-penjara

Tiga warga Aceh yang berprofesi sebagai nelayan divonis hukuman penjara selama lima tahun dan denda sebanyak Rp500 juta, subsider satu bulan kurungan, karena terbukti bersalah membawa puluhan pengungsi Rohingya.

Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara, pada Senin (14/6) lalu, majelis hakim menyatakan ketiganya—yaitu Faizal Afrizal, Abdul Aziz, dan Faizal Afrizal (atau dipanggil Raja)—telah melanggar Pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Juncto Pasal 55 KUHP.


Pasal itu menegaskan bahwa perbuatan untuk mencari untung, baik secara langsung maupun tidak, dengan membawa orang atau kelompok yang tak mempunyai hak legal untuk masuk atau keluar wilayah Indonesia tergolong sebagai tindak pidana penyelundupan manusia.

Dalam hal ini, hakim menyebut bahwa ketiga terdakwa bukan sepenuhnya tulus menolong para pengungsi Rohingya, melainkan menyelundupkan mereka masuk ke Indonesia dan menerima bayaran untuk aksi tersebut.

Peristiwanya bermula pada 24 Juni 2020, ketika ada 99 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut. Kemudian, mereka dibawa oleh tiga nelayan Aceh ke daratan dalam kondisi sudah kritis usai berhari-hari menaiki kapal. Mereka berangkat dari Bangladesh di mana ratusan ribu warga etnis Rohingya mengungsi akibat dipersekusi oleh pemerintah serta militer Myanmar.

Peristiwa itu ramai diberitakan di berbagai media nasional. Menurut keterangan pejabat kepolisian setempat, tiga nelayan yang kemudian diidentifikasi sebagai Faizal, Abdul Aziz dan Raja itu kebetulan melintas di dekat area kapal para pengungsi yang hampir tenggelam di perairan Pantai Seunoddon, Aceh Utara. 

“Selanjutnya anak buah kapal, Faisal dan dua rekannya, membantu mengevakuasi warga negara asing [pengungsi Rohingya],” kata pejabat tersebut.

Tetapi, kapal mereka pun mengalami kerusakan di tengah perjalanan. Polisi dan TNI turun tangan untuk membawa tiga warga Aceh dan puluhan pengungsi Rohingya tersebut ke daratan. 

Rupanya, cerita tidak berhenti di situ. Polda Aceh menduga ada unsur pidana dalam peristiwa tersebut. Pada akhir Oktober 2020, kepolisian mengumumkan seorang pengungsi Rohingya yang tinggal di Medan, Sumatera Barat, 2011 sebagai aktor utama dalam sindikat penyelundupan manusia.

Pengungsi bernama Shahad Deen itu merekrut warga lokal untuk merancang penjemputan 99 pengungsi Rohingya tersebut. Shahad, Faisal, Abdul Aziz dan Raja pun diseret ke meja hijau. Pada Februari 2021, jaksa mengumumkan menuntut mereka dengan Pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Barang bukti yang ditemukan polisi adalah dua buku rekening bank, dua handphone, GPS MAP-585 berwarna hitam, kapal nomor lambung KM Nelayan 2017-811 (10 GT), dan selembar surat sewa-menyewa kapal dari Koperasi Samudra Indah yang berlokasi di Aceh Utara.

Lewat putusan dakwaan yang dibacakan oleh hakim pada awal pekan ini, mereka disebut terbukti sebagai bagian dari kelompok itu. Selama proses persidangan terungkap bahwa pada 16 Juni 2020 Faisal dihubungi oleh Anwar dan Adi Jawa yang masih buron. Keduanya bersedia memberikan bayaran sebesar Rp5 juta kepada Faisal jika dia mau menjadi nahkoda kapal yang akan menjemput para pengungsi Rohingya. 

Selain itu, ada uang Rp3 juta untuk seorang Anak Buah Kapal (ABK). Faisal kemudian mematok bayaran Rp1,6 juta per pengungsi Rohingya yang akan dijemput. Lokasi penjemputan sendiri berada di tengah laut. Sedangkan harga kapal yang disewa untuk mengangkut mereka adalah sebesar Rp10 juta dan baru dibayarkan setengahnya.

Mereka berangkat dari Aceh pada 21 Juni. Setelah lebih dari 24 jam di perjalanan, kapal yang disewa dan kini sudah ditumpangi para pengungsi Rohingya itu rusak. Pertolongan pun tiba, salah satunya oleh pemerintah setempat. Pada 23 Juni, kapal itu berhasil ditarik ke perairan Lancok.  Sementara itu, para pengungsi Rohingya dibawa ke Lhokseumawe.

Kabid Humas Polda Aceh Kombes Ery Apriono berkata Faisal dan dua rekannya adalah bagian dari jaringan besar dan berskala internasional yang menyelundupkan pengungsi Rohingya. Ini lantaran orang-orang yang terlibat bukan hanya warga lokal, tetapi juga orang asing. 

Per Desember tahun lalu, Polda Aceh melacak dan menemukan bahwa Adi Jawa dan seorang pengungsi Rohingya yang ikut dalam sindikat ini kabur ke Malaysia. Keduanya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Koordinasi dengan Kepolisian Diraja Malaysia dilakukan untuk menangkap mereka.

“Dua terduga pelaku penyelundupan imigran Rohingya yang masuk DPO kini sudah kabur ke luar negeri [yaitu] Malaysia,” tutur Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh Kombes Sony Sanjaya.