“Saya mulai rekam ya, Mas” jadi kalimat pertama saya kepada komedian Anang Batas untuk memulai wawancara seputar band legendaris yang dia dirikan bersama kawan-kawan.
“Boleh. Nada dasarnya apa?” sahut Anang. Saya tertawa, dia nyengir. Saya paham benar sedang berhadapan dengan pembawa acara sekaligus pelawak kondang yang di Yogyakarta digelari “raja pelesetan”. Tapi percakapan ini akan khusus menempatkannya sebagai salah satu pendiri Sastro Moeni, band parodi legendaris yang sampai hari ini masih turun-temurun diwariskan oleh dan kepada mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Buat pembaca yang enggak familier dengan nama Sastro Moeni, mereka adalah band spesialis pelesetan lagu yang digawangi para mahasiswa. Salah satu gubahan paling terkenal band ini adalah parodi “Sweet Child O’Mine”. Intronya disambung ke lagu “Poco-Poco” (bisa didengar di tautan ini), lalu diplesetkan lagi ke berbagailagu semacam soundtrack anime “Saint Seiya”, “Sobat” milik Padi, dan “Satria Baja Hitam”. Untuk tetap lestari, band ini menggunakan sistem regenerasi. Personel Sasmoen, demikian nama band ini biasa disingkat, yang sudah mau lulus kuliah diganti dengan adik tingkatnya.
Anang Batas salah satu pendiri Sastro Moeni. Darinya saya tahu, ternyata generasi pertama band ini menjadikan pelesetan lagu sebagai selingan semata. Anang yang kadang main perkusi kadang bas adalah otak di balik eksperimen ini. Ia jadi personel yang kerap mengganti lagu di tengah-tengah atau memainkan lagu dengan lirik dari lagu lain. Ia melakukannya tanpa memikirkan ingin jadi band parodi. Yang penting mereka menikmatinya.
“Hampir semua penampilan kita dulu enggak pernah full parodi. [Palingan] satu-dua lagu lah. Itu pun lagu serius, tapi tengahnya aku belokin dikit, lalu balik lagi. Soalnya, kita enggak mau ngerusak dari sisi musikalitas.”
Anang membentuk Sastro Moeni bersama Menyung, Agung Gondrong, Elit, Gogon Totok, Uut, dan Budi Ngen atau Bungen pada September 1988. Gerombolan ini mulanya tanpa nama, sekadar delapan mahasiswa yang mewakili kampus untuk pentas di acara Kemah Budaya Indonesia-Australia di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Country dan blues jadi aliran musiknya, jauh dari niat parodi-parodian. Anang menyebutnya formasi ini “Sastro Moeni versi akustik”, mengacu pada alat yang mereka pakai.
Alkisah, selesai pentas di Cibubur, mereka diantar terlalu cepat oleh panitia ke Stasiun Gambir. Bosan menunggu kereta, band baru ini berinisiatif gegenjrengan dan nyanyi-nyanyi di stasiun. Kegiatan tersebut melahirkan nama awal band ini: Sastro Gambir.
“Lalu, kalau enggak salah Desember 1988 di acara Gama Fair, atau Maret 1989 di acara Pasar Seni Sastra, kami mengisi reguler di Sastro Warung, tempat teman-teman [mahasiswa] Sastra [UGM] jualan makan dan minum. Nah, kami mengisi live music-nya. Di sana kami ganti nama jadi Sastro Moeni.”
Semakin banyaknya permintaan panggung, generasi pertama ini merasa perlu membuat “Sastro Moeni versi elektrik” dengan personel lebih sedikit. Tapi asas bermusik mereka tetap untuk senang-senang. Kata Anang, Angkatan pertama ini enggak terpikir untuk bikin band turun-temurun. Kebetulan saja waktu itu ada mahasiswa junior yang mau melanjutkan. “Kalau memberikan efek baik buat teman-teman, ya silakan. Awal dulu kan kami buat senang-senang aja.”
Cara senang-senang ini terbukti awet sampai lebih dari tiga dekade, melewati estafet 17 generasi selama lebih dari 32 tahun.
Bapi, gitaris Sastro Moeni yang kini memegang tongkat estafet di angkatan ke-17, mula-mula menjadi kru yang membantu angkatan ke-16.
“Kenapa ngekru dulu? Biar sehat sih regenerasinya. Ini kan band kampus ya, kalau mau menjiwai band ini kan harusnya ngikutin dari akarnya dulu, dari bawah. Mulai dari nyiapin air putih doang, diajari cara gulung kabel yang benar, baru ngelawak di panggung,” kata Bapi. Angkatan ke-17 mulai “bertugas” sejak awal 2019 dan kini sedang dalam proses regenerasi angkatan ke-18.
Cara ini juga dialami Faisal Amin, gitaris Sastro Moeni angkatan ke-15, sebelum ia ditahbiskan sebagai personel. Pada 2013, Ia menapaki karier sebagai pembawa botol minum kakak-kakak tingkatnya kala manggung sampai akhirnya didapuk menggantikan Bre, gitaris angkatan ke-14.
“Aku jadi personel angkatan 15 pertama yang bergabung. Gara-gara itu, aku jadi punya keleluasaan untuk memilih atau menyetujui rekomendasi kakak angkatanku mengenai calon personel yang akan melanjutkan Sastro Moeni bareng aku,” cerita Faisal.
Namun, tiap generasi punya cara sendiri untuk melestarikan band. Sastro Moeni angkatan ke-11 misalnya, melakukan rekrutmen terbuka untuk mencari pengisi posisi masing-masing instrumen. Valentino Baswara atau Babas, basis angkatan ke-12, bercerita bahwa pada awalnya enggak tertarik ikutan seleksi. Ia berubah pikiran kala kakak angkatannya meminta secara langsung.
“Mungkin karena belum nemu kandidat yang tepat untuk mengisi posisi basis, aku kayak ‘didaftarin’, pokoknya tiba-tiba disuruh berangkat seleksi,” kenang Babas.
Untuk ukuran band parodi, Babas mengaku kaget karena seleksinya enggak berkaitan sama sekali dengan lucu-lucuan alias murni musikalitas. Ia masih ingat saat diminta mengimbangi permainan drum Adit, drumer Sastro Moeni angkatan ke-10 yang kerap dilabeli “angkatan tersukses” oleh beberapa pihak. Sama seperti Faisal, Babas juga jadi personel Sastro Moeni pertama dari angkatannya yang bergabung.
“Pertama kali manggung ya bareng angkatan 11. Misal ada panggung dengan set list 8-10 lagu, aku disuruh main setengahnya.”
Satu hal sama yang saya dengar dari para personel Sastro Moeni lintas generasi adalah cara mereka menerima segala jenis tawaran manggung, entah panggung besar di stadion atau panggung rakyat di kampung terdekat. “Jenis job apa aja diambil, asal kosong jadwalnya,” cerita Anang. “Pernah kami manggung di tempat yang enggak ada sound system-nya karena [panitia] mengira kami bawa sound system sendiri.”
Saat dimintai mengingat panggung “aneh” di angkatannya, Faisal menceritakan sebuah acara pembagian sembako di Magelang, Jawa Tengah. “Yang nonton ibu-ibu di kampung sama anak pondok pesantren. Jadi waktu ibu-ibu antri ambil sembako bawa kupon, Sasmoen [singkatan Sastro Moeni] main. Pada heran semua, ngeliatin [kami] aneh gitu, seakan ngomong, ‘Iki wong ngopo toh?’ [Ini orang pada ngapain sih?],” kenang Faisal.
Babas tak bisa melupakan gimana angkatan ke-12 menerima tiga panggung tujuh belasan dalam satu malam. “Semalem manggung tiga kali, muter-muter kampung dalam kota,” kenang Babas. “Ada lagi [panggung absurd], tempatnya di Bantul. Kami manggung di pendopo gitu, semi-outdoor. Penonton penuh di sekelilingnya. Pas lagu keempat, penonton rusuh. Polisi mendadak naik dan ngasih tembakan peringatan. Bayangin lah, ini bukan konser punk atau rock gitu, ini band parodi loh. Akhirnya berhenti [manggung] kita, enggak diterusin.”
Sejalan dengan misi senang-senang, segala penghasilan yang diterima Sastro Moeni dari manggung dikumpulkan kepada satu orang, biasanya manajer, posisi yang juga mengalami regenerasi. Babas menceritakan, uang itu selain untuk makan-makan bareng, juga disimpan untuk “merawat” keluarga Sasmoen yang membutuhkan. “Misal, kita butuh buat maintenance alat, ganti senar, atau kehabisan duit untuk bayar kuliah. Kayak gitu-gitu lah,” kata Babas.
Anang turut menyumbang cerita soal gimana uang hasil manggung mereka gunakan. Misalnya ada job luar kota, uang penampilan biasanya digunakan band untuk memberangkatkan kawan-kawan Sastro Moeni. “Kalau kita berangkat luar kota, teman-teman yang ikut bisa 40-50 orang. Ya bareng-bareng aja, milik bersama gitu,” cerita Anang.
Ragam pengakuan kampus
Meski Sastro Moeni dilanjutkan turun-temurun, band ini selamanya indie alias bukan unit kegiatan mahasiswa resmi UGM. Tapi Anang ingat, mereka dekat dengan rektor UGM di zamannya, Koesnadi Hardjasoemantri.
“Kita tuh kayak anak emas Almarhum. Kalau putri beliau baru pulang ke Jogja, itu pasti stafnya datang ke kami, mengundang makan malam sekaligus bawa alat musik. Kami main satu-dua lagu lalu ikut makan, dikasih uang saku.”
Kedekatan ini enggak berlanjut ke generasi selanjutnya. Babas mengakui memang ada satu-dua dosen yang apresiatif dan suka meluangkan waktu nonton Sasmoen manggung. Tapi, ia juga kerap disindir dosen karena aktivitas band dianggap mengganggu kuliah.
“Aku belum bisa ngatur waktu, jadi kuliahku berantakan. Dosen menyindir dan bilang gara-gara Sasmoen jadi enggak pernah kuliah. Padahal ya bukan salah Sasmoen, itu kan salahku sendiri.”
Hubungan Sasmoen dengan kampus semakin ekstrem di masa Faisal. Mereka jadi salah satu corong mahasiswa mengkritik kebijakan kampus. Akun media sosial Sasmoen menampung kritik untuk rektor UGM kala itu yang sekarang kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menggunakan meme atau poster. Setiap panggung adalah ajang menyuarakan tuntutan mahasiswa yang saat itu panas: regulasi Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mencekik dan rencana kampus memindahkan Bonbin, kantin legendaris di FIB UGM.
Khusus Bonbin, lokasi ini bukan sekadar tempat makan-minum. Selama puluhan tahun di sana mahasiswa UGM melakukan apa saja yang mustahil terjadi kelas: dari berbuat konyol hingga merancang gerakan bawah tanah melawan rezim, sekadar pacaran hingga menggelar diskusi teoretis yang sengit. Banyak alumni yang di kemudian hari menjadi sosok beken merasa mereka lebih seperti sarjana lulusan Bonbin daripada sarjana UGM.
Demo menentang UKT dan relokasi Bonbin memicu friksi lebih besar antara mahasiswa dan rektorat. Mahasiswa dan Sasmoen marah karena Dwikorita menyamarkan demonstrasi mahasiswa di rektorat sebagai “Simulasi unjuk rasa sebagai bagian dari pendidikan”. Ucapan itu dikatakan sang rektor saat bicara pada radio kampus, Swaragama.
“Kami bikin parodi Dwikorita, aku edit macem-macem. Misalnya, bikin Dwikorita ngerokok, Dwikorita jadi personel Sasmoen. Itu aku yang ngedit pakai PicsArt di ponsel,” cerita Faisal. Konten tersebut menyebar luas di lingkungan UGM, membuat Sastro Moeni mengalami serangan virtual. Datang ancaman: apabila meme itu tidak diturunkan, mereka akan dilaporkan.
“Kami merasa Sastro Moeni mesti bersuara, karena Sastro Moeni kan artinya ‘Suara Sastra’. Kok kita diam aja? Momen-momen itu membuat kami merasa perlu bantu menyuarakan dan bermanfaat buat pergerakan. Waktu itu aku enggak ada takut-takutnya karena banyak teman. Merasa paling bermanfaat [untuk pergerakan] ya di situ,” cerita Faisal.
Mencari regenerasi
Gilang, basis angkatan ke-17, mengeluhkan lesunya minat musik mahasiswa baru. Ia merasa hal ini diperparah oleh pembangunan gedung baru di FIB yang membuat setiap jurusan memiliki lantai sendiri-sendiri. Mahasiswa antar-jurusan kini jarang bersinggungan dan saling kenal. Belum lagi pandemi yang membuat rencana angkatannya berantakan sekaligus kesulitan mencari penerus. Tak ada panggung, tak ada rekrutmen kru yang bisa lanjut diangkat meneruskan Sasmoen.
Posisi band parodi di masa sekarang juga jadi perhatian. “Menurut beberapa dari kami, dan angkatan atas, band parodi udah enggak relevan,” ucap Handop, gitaris angkatan ke-17. “Kami dikasih saran untuk mulai bikin lagu parodi yang lebih terkonsep, misalnya membicarakan isu tertentu secara sarkas.”
Kesulitan mencari penerus tidak datang secara tiba-tiba. Babas mengakui sudah mengalami kesulitan mencari pengganti sejak di masanya, hampir 15 tahun lalu. Menurut Babas ini karena perubahan kurikulum yang memadatkan mata kuliah sehingga pembelajaran jadi lebih berat. Ini jadi faktor penting mengapa minat bermusik di kampus berkurang.
“Hanya dalam tempo dua tahun, 2007-2009, prosesku mencari pengganti enggak semudah angkatan atasku. Pas awal bikin rekrutmen terbuka, sepi. Akhirnya, aku mulai scouting sendiri, nemu pengganti, dan minta secara pribadi untuk meneruskan. Dari situ, dia aku ajakin manggung, terus ada sesi pribadi latihan berdua, bener-bener aku persiapin,” cerita Babas.
Kesulitan mencari penerus dari tahun ke tahun membuat obrolan soal pembubaran Sastro Moeni tidak terelakkan. Saat ditanyai apakah rela kalau Sastro Moeni beneran bubar, Anang menjawab santai. “Ya rela aja. Jangan dipaksain, kondisi zaman belum tentu sama. Adik-adik angkatan sekarang tak perlu khawatir akan punya beban dan tanggung jawab. Meneruskan tidak segampang membuat. Jangan lalu jadi mellow romantis yang justru menghambat semua.”
Sebagai generasi yang saat ini pegang obor, Gilang sendiri menceritakan pengalamannya mendapat “izin” pembubaran Sasmoen dari para senior. “[Mereka bilang] mereka bikin Sastro Moeni untuk senang-senang. Kalau kami udah enggak senang ya bubar pun enggak apa-apa. Tapi tetap aja [berat buat kami]. Kalau kami yang jadi pembawa obor paling akhir, kami yang dicatat sejarah.”