Aku merasakan kegembiraan yang luar biasa ketika pertama kali mendatangi bandar judi. Tapi sejam kemudian, aku rugi £60 (Rp1,17 juta). Meskipun malu karena kalah, aku tak bisa melupakan sensasi yang muncul ketika memasang taruhan. Sejak itu, aku terus mencari kesempatan berjudi untuk memuaskan gairah.
Aku berasal dari keluarga kelas menengah dan tak pernah hidup kekurangan. Namun, semuanya berubah sejak aku ketagihan berjudi. Utang secara perlahan mulai menggunung. Aku bisa saja memenangkan banyak uang, tapi rasanya tak pernah puas.
Kuda adalah sumber utama taruhanku. Setiap pagi, aku memulai hari dengan bertaruh kuda mana yang akan menang balapan individu, lalu memasang akumulator (alias nilai odds tinggi dengan kemenangan besar), sering kali dengan harapan bisa mendapatkan kembali jumlah yang telah dikeluarkan. Dalam banyak kesempatan, aku menguras isi kantong untuk satu slip taruhan — aku terobsesi untuk menang, tak peduli uang simpanan habis sebelum gajian.
Aku akan mengambil pinjaman begitu dompet menipis, dan baru membayarnya saat gajian. Mengajukan pinjaman ini gampang, jadi aku mulai ngutang lebih banyak dari nominal awal yaitu £100 (setara Rp2 juta). Kadang-kadang aku bisa mengambil pinjaman beberapa kali dalam sehari, mulai dari £100 hingga melebihi £500 (Rp9,7 juta). Aku berusaha meminjam uang semaksimal mungkin. Saking seringnya berutang, aku sampai lupa total yang harus dibayar dan menunggu sampai saldo rekening terpotong otomatis. Aku langsung berutang lagi dengan jumlah yang sama atau lebih kalau bisa.
Jauh di lubuk hatiku, aku tahu ada yang salah dengan diriku, tapi aku tak pernah menyadari seberapa parah ketergantunganku pada judi. Saat mengambil pinjaman, aku bahkan tidak peduli dengan bunga yang terlalu tinggi — bisa melebihi 1.000 persen APR. Aku bekerja tanpa henti untuk melunasi utang. Ada kalanya aku menang, tapi itu hanya membuatku bertaruh lebih banyak. Aku tidak pernah puas dengan jumlahnya. Aku selalu menginginkan yang lebih besar.
Aku beberapa kali menang taruhan dengan jumlah gede. Aku bisa saja memakai uang itu untuk jalan-jalan atau DP rumah. Masalahnya, yang ada di pikiranku cuma taruhan, taruhan, dan taruhan. Aku mengecek jadwal taruhan setiap hari, entah itu balap kuda, pertandingan bola atau tenis. Ketergantungan pada judi yang kualami sudah mencapai titik mempertaruhkan aspek terkecil dari pertandingan bola, seperti berapa banyak tendangan sudut yang dilakukan kedua tim.
Aku bertaruh pada permainan servis tunggal di tenis, lalu menambah jumlah taruhan di permainan selanjutnya untuk mengganti kerugian. Di satu kesempatan, aku bertaruh £200 (setara Rp4 juta) bahwa Roger Federer akan menang, tapi dia kalah. Aku lalu memasang jumlah yang sama dan bertaruh lawannya menang, tapi Federer malah mengalahkannya. Aku terus mencari cara untuk menutup kerugian. Aku mendatangi bandar judi sampai lupa waktu dan telat pergi ke acara sosial.
Ketika keluarga mengetahui kondisi keuanganku yang berantakan, kami menghitung berapa besar utang yang kumiliki pada perusahaan pinjaman dan kartu kredit. Totalnya sekitar £30.000 (Rp585 juta). Saat itu umurku 31, dan aku telah berjudi sejak usia 25. Rasa malu yang muncul setelah ketahuan keluarga membuatku sedikit tersadar. Akan tetapi, meski aku mulai membayar utang sedikit demi sedikit, aku terus main taruhan dan berbohong kepada mereka.
Apa yang akhirnya membuatku berhenti? Rasa malu semakin membebani diriku. Aku tak kuasa melihat ekspresi kecewa pada wajah anggota keluarga — aku ingin hidup normal lagi. Aku telah mempertaruhkan segalanya demi judi, dan tak ada lagi kesempatan bagiku untuk berubah. Aku harus melakukannya saat itu juga. Keesokan paginya, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.
Hal pertama yang kulakukan yaitu menghubungi badan amal Stepchange yang menawarkan pengelolaan utang. Aku berkonsultasi dengan penasihat, dan dia menjabarkan rencana pelunasan yang realistis. Setelah itu, aku buka-bukaan kepada para debitur tentang kondisiku yang sebenarnya. Sebagian besar memakluminya. Aku memberi tahu mereka semua sedang mempertimbangkan kebangkrutan sebagai pilihan yang layak.
Setelah berminggu-minggu menghubungi pemberi utang, aku merundingkan tingkat bunga pelunasan semua utang (sekitar 75 persen dari uang yang dipinjam). Ini cukup meringankan beban.
Setelah mencapai kesepakatan, aku mulai mengatur anggaran bulanan. Ini memprioritaskan kebutuhan penting, seperti biaya sewa, uang makan, tagihan telepon dan asuransi mobil, yang selama ini aku abaikan. Akhirnya aku merasa seperti telah membuat kemajuan.
Di masa-masa kelamku sebagai tukang judi, aku memilih tidur di mobil dan tidak makan supaya punya uang untuk taruhan. Menciptakan semacam rutinitas dalam hidup memiliki dampak yang sangat positif. Kalian harus siap mengorbankan sesuatu sampai kondisi keuangan stabil lagi. Langganan Netflix, nge-gym dan sebagainya perlu dibatalkan terlebih dulu jika memungkinkan, atau setidaknya mengurangi beban langganan agar kalian bisa bernapas lega.
Aku jadi tahu apa saja yang harus dibayar setiap bulan setelah mengatur anggaran. Setelah aku terbiasa dengan semuanya, itu menjadi peringatan seberapa kacau hidupku selama ini. Di saat-saat itu jugalah aku menerima tawaran bekerja di Portugal. Gajinya memang lebih kecil, tapi biaya hidup di sana lebih murah. Aku juga sudah disediakan apartemen. Setelah mempertimbangkan ini semua, aku memutuskan untuk merantau ke sana.
Aku mulai membayar utang di usia 31, dan resmi terbebas dari jeratan utang empat tahun kemudian. Aku membayar utang terakhir pada Oktober 2020, saat aku sudah beranjak 35 tahun. Sebagian besar gaji habis untuk melunasi utang. Aku juga menjual barang-barang pribadi secara online untuk mempercepat pelunasannya. Aku tak pernah menyangka bisa hidup tanpa utang.
Ini momen yang sangat membanggakan untukku. Kalian harus paham tidak ada cara mudah melunasi utang. Kalian wajib mendiskusikannya dengan pemberi utang, tak peduli seberapa canggung pembicaraan itu. Ada yang perlu dikorbankan untuk mendapatkan keamanan finansial. Akan tetapi, semuanya dimulai dari keputusanmu untuk melunasi utang. Akan ada masa-masa sulit yang dihadapi, tapi perencanaan dan pengendalian diri yang cermat serta keinginan untuk hidup lebih baik akan mengarah pada masa depan yang lebih stabil secara finansial.
Perasaanku campur aduk setiap mengenang masa-masa itu. Aku benar-benar malu dan menyesal telah menyia-nyiakan hidup di balik meja judi dan aplikasi taruhan selama tujuh tahun lebih. Banyak yang telah kulewati karena terlalu sibuk berjudi. Tapi sekarang, aku bisa bernapas lega. Kini mimpi untuk punya rumah sendiri semakin dekat untuk menjadi kenyataan.