Yosef Tjahjadjaja adalah terpidana kasus pembobolan Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada 2006. Setelah 15 tahun buron, ia berhasil ditangkap tim gabungan kepolisian dan kejaksaan, Selasa (13/7) pekan ini. Yosef diringkus di sebuah rumah sakit di Pondok Bambu, Jakarta Timur, saat tengah dikarantina akibat terinfeksi Covid-19. Kisahnya menambah daftar buronan yang tertangkap karena pandemi.
Kisah Yosef sekilas mirip skenario film. Jika saja 15 tahun pelariannya ia pakai untuk bertobat, Yosef bisa dikenang sebagai penjahat kerah putih tersukses masa kini, mengalahkan Harun Masiku. Keberadaan Yosef selama lebih dari satu dekade sempat tak terendus aparat. Namanya baru terdeteksi ketika Polda Jawa Barat mengusut kasus penipuan yang melibatkan tiga tersangka. Dua orang sudah tertangkap, satu lagi yang masih dicari diduga adalah DPO Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
“Ternyata benar orang yang diduga pelaku tindak pidana penipuan tersebut merupakan buronan yang masuk dalam DPO Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat,” terang Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Selasa (13/7), dilansir RRI.
Dua instansi ini lalu membentuk tim bersama Kejaksaan Agung guna memburu si buron. Yosef tampaknya tahu sedang dicari, ia mengganti identitasnya menjadi Yosef Tanujaya. Pelariannya baru terhenti ketika terinfeksi Covid-19 dan harus dirawat di RS. Ia tak bisa ke mana-mana karena terpaksa menjalani karantina.
Seharusnya ia sudah dipenjara sejak 2006. Dua tahun sebelumnya, Yosef Tjahjadjaja, kadang juga ditulis Joseph Tjahjadjaja atau Yosef Tjahdjaja, diputus bersalah oleh PN Jakarta Pusat atas tindak pidana penipuan yang merugikan Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, senilai Rp110 miliar.
Aksi pembobolan bank ini ia lakukan dengan bersekongkol bersama sepuluh orang lain. Salah satunya kepala cabang Bank Mandiri bersangkutan, Charto Sunardi.
Kejahatan itu bermula ketika Yosef dan partner in crime dalam arti sebenarnya, Agus Budio Santoso yang merupakan presiden direktur perusahaan investasi PT Rifan Financindo Sekuritas, diminta Bank Mandiri Mampang Prapatan menjadi arranger alias mencari dana yang bisa didepositokan di bank tersebut. Keduanya lalu memakai dana Rp200 miliar milik PT Jamsostek yang dikelola PT Rifan untuk ditempatkan di sana.
Masih atas bantuan Yosef dan Agus, Kepala Bank Mandiri Cabang Mampang Prapatan Charto Sunardi menjadikan dana deposito itu jaminan kredit untuk diberikan kepada aktor baru, PT Dwinogo Manunggaling Roso, perusahaan yang bergerak di banyak bidang, dari makanan sampai impor mobil. Kredit yang dicairkan Charto untuk PT Dwinogo sebesar Rp120 miliar. Tak cuma itu, ia juga membagi komisi Rp6,4 miliar untuk Yosef, serta bagian 7,5 persen dari kredit untuk Agus.
Kredit ini segera menjadi masalah. Charto melangkahi prosedur untuk meminta persetujuan Jamsostek atas deposito yang dijadikan jaminan. Selain itu, kredit yang diberikan malah ditransfer ke rekening personal delapan orang dari PT Dwinogo. Uang itu tak dipakai sesuai kesepakatan kredit, yakni untuk membangun rumah sakit jantung, melainkan digunakan memperkaya diri.
Sepuluh pelaku diseret polisi ke PN Jakarta Pusat, sementara satu pelaku bernama Dudi Laksmana meninggal dunia. Total sepuluh pelaku itu adalah Alexander J. Parengkuan, Ahmad Riyadi, Aryo Santigi Budiharto, Harianto Brahali, Koko Sandoza, Andre Nugraha Achmad, dan Yakub Arupalaka dari PT Dwinogo; Yosef Tjahjadjaja; si kepala cabang Charto Sunardi; dan Agus Budio Santoso dari PT Rifan. Kesemuanya didakwa melanggar UU 31/1999 tentang Tipikor Pasal 2 atas kesalahan memperkaya diri sembari merugikan keuangan negara. Ancaman hukuman maksimalnya 20 tahun penjara.
Yosef semula dituntut 17 tahun penjara, namun hakim PN Jakarta Pusat memberi vonis lebih rendah, 11 tahun, pada 26 Juli 2004. Sepanjang 2004-2006, Yosef mengajukan banding dan kasasi. Perjuangannya berakhir pada 2006 ketika Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan negeri. Sejak itu, perjuangannya berubah menjadi melarikan diri.
“Memang, saat saya tangani perkara tersebut, saya telah mengalihkan status penahanan terpidana dari tahanan Rutan Salemba menjadi tahanan kota dengan alasan kemanusiaan karena sakit. Sehingga ketika perkaranya banding dan kasasi, terpidana tidak lagi berada di dalam tahanan,” Ferry Juan, kuasa hukum Yosef, mengatakan kepada Akurat, tahun lalu.
2004 adalah tahun pembobolan bank di Indonesia
Di tahun terbongkarnya kasus Yosef Tjahjadjaja, aparat juga disibukkan kasus-kasus pembobolan bank lain. Hartono Tjahjadjaja dan Yudi Kartolo juga melancarkan pembobolan ke Bank BNI di tahun yang sama. Tidak tanggung-tanggung, kas tiga kantor cabang dikuras bersamaan, yaitu BRI Cabang Segitiga Senen, BRI Cabang Pembantu Pasar Tanah Abang, dan BRI Cabang Pembantu Bogor Surya Kencana terbongkar.
Proses menggondol dana Rp190,55 miliar milik nasabah BRI ini berjalan lancar karena dibantu kepala dari ketiga kantor cabang itu. Mereka adalah Deden Gumilar, Agus Riyanto, dan Asep Tarwan. Modus yang dipakai persis kasus Bank Mandiri: memakai dana nasabah lain tanpa persetujuan untuk dijadikan jaminan kredit bagi pihak lain. Kredit tersebut dikucurkan untuk perusahaan fiktif PT Delta Makmur Ekspresindo dan PT Pantja Prakasa milik pelaku Hartono dan Yudi. Sial bagi Jamsostek, dalam kasus pembobolan BRI Bogor, dana mereka lagi-lagi jadi bancakan.
Hartono yang dibela oleh pengacara Ferry Juan, sama seperti Yosef, divonis 15 tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat, atau lebih rendah lima tahun dari tuntutan jaksa. Cerita selanjutnya seperti copy bagi kasus Yosef: Hartono dan Yudi mengajukan banding dan kasasi, kalah pada 2005, kemudian melarikan diri.
Hartono Tjahjadjaja baru tertangkap pada 2008, sementara Yudi pada 2015. Hartono kini mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Pembobolan lain di tahun itu menimpa Bank International Indonesia (BII, sekarang Maybank). Kepala BII Cabang Pembantu Senen, Jakarta Pusat, Wahyu Hartanto bekerja sama dengan Direktur Utama Yayasan Dana Pensiun PT Pupuk Sriwijaya (Dapensri) Bunyamin Ibrahim mencuri dana pensiun Pusri itu sebanyak Rp31 miliar. Uang tersebut kemudian dibagikan pula ke 15 pihak lain, salah satunya, surprise surprise, adalah Hartono Tjahjadjaja. Arsip berita mengenai kasus ini tak lengkap. Tak banyak diketahui bagaimana akhir cerita pembobolan BII tersebut.
Aksi maling kas bank yang paling fantastis tahun itu adalah mahakarya Maria Pauline Lumowa dan Adrian Herling Waworuntu. Korbannya Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bersama 14 orang lain termasuk si kepala cabang BNI tersebut, Edy Santoso, Maria plus Adrian berhasil mencairkan kredit fiktif senilai Rp1,7 triliun.
Akibat aksi mereka, Adrian dan Edy dihukum seumur hidup oleh PN Jakarta Selatan pada 2005. Sementara Maria berhasil kabur sebelum vonis dijatuhkan. Baru pada 2019 Maria tertangkap oleh Interpol saat sedang berada di Serbia. Kisah ekstradisinya ke Indonesia pernah ditulis VICE di sini.
Sisi lain dari kasus-kasus pembobolan bank tahun itu adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2010. BPK mendapati bahwa miliaran harta rampasan dari terpidana kejahatan kerah putih lenyap ketika berada di tangan Kejaksaan Agung. Tidak ada kabar lanjutan temuan ini.
Mengapa para pelaku pembobolan bank seperti Maria dan Yosef bisa kabur sampai bertahun-tahun? Mungkin mereka memang licin dalam merancang lokasi persembunyian. Namun pada 2020, direktur LSM Government Against Corruption and Discrimination Andar Situmorang pernah melayangkan tuduhan serius. Ia menyebut Yosef Tjahjadjaja tak kunjung tertangkap karena rutin memberi suap kepada petinggi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Tuduhan itu lalu dibantah Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Pusat Ashari Syam. “Kalau jaksa sekarang ini saya kira enggak berani macam-macam gitu. … Kalau sekarang ini kita betul-betul menjaga diri,” ujar Ashari dikutip Sinar Keadilan, tahun lalu.
Pandemi Covid tanpa disangka, akhirnya berhasil membuat buronan di berbagai negara tertangkap. Di Tiongkok dan Inggris, sejumlah buronan diidentifikasi aparat berkat lockdown. Di dalam negeri, di luar kasus high profile Yosef, seorang ASN di Serang yang buron usai mengorupsi dana desa juga tertangkap karena pandemi. Menurut laporan Bantenhits, mulanya pelaku sempat lari ke Jakarta dan bekerja sebagai sopir taksi. Situasi pandemi membuatnya pulang kampung dan berakhir ditangkap.
Blessing in disguise memang. Tapi sejauh ini pandemi belum cukup sakti memaksa koruptor kelas berat macam Harun Masiku atau suami-istri Sjamsul dan Itjih Nursalim yang masih buron kembali habitat asli mereka dalam bui.